AARC-MKAA: Media Massa di Konferensi Bandung
Tadarusan dan diskusi buku The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani, yang diselenggarakan oleh Asian-African Reading Club – Museum Konferensi Asia-Afrika (AARC-MKAA) sudah hampir selesai. Kemarin (11/2), pembacaan atas buku tersebut telah sampai pada bab 18 dalam pemaparan jalan cerita di balik peristiwa Konferensi Asia-Afrika. Bab tersebut adalah bab terakhir yang memaparkan renungan Roeslan atas terselenggaranya konferensi orang-orang kulit berwarna pertama di dunia itu.
Sekilas memang tidak ada yang perlu didiskusikan lagi dari buku tersebut, namun Sekjen AARC, Adew Habsta, merasa masih ada pembahasan yang perlu didiskusikan menyangkut lancarnya penyelenggaraan Konferensi Bandung. Adew Habsta mengatakan bahwa peran media massa, saat peristiwa itu berlangsung, sangat penting dalam memperlancar komunikasi dengan para delegasi negara peserta, maupun untuk mengirimkan informasi selama Konferensi Bandung berlangsung. Oleh karena itu, Adew mengundang seorang ahli media lulusan STIKOM, Iman Abda, untuk memaparkan kisah media massa yang ikut meramaikan peristiwa 1955 itu.
Iman Abda menceritakan bahwa ia pernah bekerja sama dengan Roeslan Abdulgani untuk menulis buku Sejarah Radio Indonesia, yang kemudian menjadi rujukan dalam diskusi AARC saat itu. Ia mengatakan bahwa buku sejarah ini merupakan buku sejarah pertama di dunia yang memaparkan mengenai sejarah dan kaidah yang digunakan dalam penyiaran.
Roeslan menuliskan sebuah kaidah penting dalam bidang penyiaran dalam buku itu, “pada awalnya, tujuan penyiaran adalah untuk kepentingan umum”. Kata-kata ini kemudian menjadi sangat terkenal, karena seorang teoritikus komunikasi kenamaan dunia, Jürgen Habermas, dapat menelurkan teori komunikasi yang dipakai oleh banyak orang di dunia hingga hari ini atas kutipannya terhadap buku Sejarah Radio Indonesia itu. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Roeslan sudah menentukan pondasi penyiaran di Indonesia dengan sangat jelas dan tegas – untuk kepentingan umum.
Nyatanya, saat ini dapat terlihat bahwa penyiaran di Indonesia sendiri justru lebih banyak menghadirkan kepentingan para pemilik media massa dan kepentingan politik segelintir orang. Iman Abda mengatakan bahwa dari 372 stasiun televisi lokal dan nasional di Indonesia, pemiliknya hanya 12 grup media. Itu artinya, ketiga ratus stasiun televisi itu dapat menjadi media propaganda paling efektif bagi kepentingan kapitalis yang hanya segelintir orang itu.
Iman Abda sendiri berkesimpulan bahwa saat sebenarnya kita sedang berhadapan dengan Perang Dunia (PD) kelima. PD pertama dan PD kedua sering kita pelajari dalam buku-buku sejarah, PD ketiga adalah Perang Dingin antara blok barat dan blok timur, PD keempat adalah perang informasi dalam kaitan berkembangannya internet, sedangkan PD kelima adalah perang budaya yang juga sedang melanda negeri ini. Ia menyimpulkan demikian, karena pengertian perang dunia adalah perang yang dapat mempengaruhi hampir seluruh bagian bumi, baik negara besar maupun negara kecil. Jelas bahwa perang-perang itu, mempengaruhi fisik dan psikis bangsa-bangsa yang terlibat di dalamnya.
Sayangnya, di tengah pemaparan yang seru itu, Iman Abda harus segera berangkat ke bandara untuk menjemput istrinya yang baru pulang dari Perancis. Oleh karena itu, dengan segera ia menyampaikan paparan terakhir dalam kesempatan itu. Katanya, peristiwa 1955 menandai dimulainya Perang Dingin dan gerakan non-blok adalah salah satu cara untuk bertahan hidup. Media massa seperti radio dan telegram ikut meramaikan hiruk-pikuk kegiatan KAA, terutama sibuknya para reporter yang menyampaikan berita dari waktu ke waktu.
Pada akhir diskusi, Adew Habsta menyampaikan bahwa AARC akan mengadakan khataman tadarus The Bandung Connection pada hari Minggu (15/2) pukul 16.00 di ruang pamer utama MKAA, bersamaan dengan perayaan ulang tahun Sahabat Museum Konferensi Asia-Afrika (SMKAA) yang diselenggarakan pada 14-16 Februari 2015. Ia harap semangat yang ditularkan oleh The Bandung Connection dapat memberikan inspirasi dan spirit bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.[] Bandung, 12 Februari 2015
Sumber foto: Dokumentasi AARC-MKAA
Sorry, the comment form is closed at this time.
iman
Bung, perlu sedikit klarifikasi atas tulisan di atas. Maaf mungkin pemaparan yg tergesa sehingga tidak jelas. Saya bukan kerja sama pak Roeslan Abdulgani krn secara waktu aja jaraknya jauh tapi pernah menjadikan rujukan tulisan ‘Cak Rus’ di buku ‘Sejarah Radio Indonesia’ untuk saya menulis buku ttg ‘Radio Komunitas Indonesia.’ Buku ‘Cak Rus tsb yg jadi rujukan saya menulis diterbitkan thn 1951 oleh Djawatan Deppen yg ketika itu beliau masih menjabat Sekdjen Deppen.
Semoga tulisan klarifikasi ini bisa memperjelas duduk soal di atas. Nuhun
Pramukti Adhi
Wah, iya kang punten. Mungkin saya juga nulis anecdotal dalam catetan juga agak tergesa, jadi agak bingung. Hatur nuhun klarifkasinya, jadi bahan perbaikan buat ulasan saya selanjutnya. 😀