AARC-MKAA: Magma Bandung
Seperti biasa, kemarin (4/2) komunitas Asian-African Reading Club – Museum Konferensi Asia-Afrika (AARC-MKAA) menggulirkan kembali pembacaan atas buku The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani. Saya sendiri tidak sempat mengikuti tadarusan buku itu dari awal, karena mengapresiasi teater “Universitas Orang-Orang Mati” di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI)[i] sejak pukul 15.30, dan baru tiba di MKAA pukul 18.15. Beruntunglah, di MKAA saya masih sempat mengapresiasi penampilan gitar klasik dari Dian, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, dan mengikuti diskusi AARC yang diisi oleh Mamun Rustina, seorang pemandu wisata Bandung.
Begitu banyaknya daya tarik yang disuguhkan oleh Bandung, membuat Mamun Rustina, menyebut kota ini seperti “magma”. Sebagai seorang pemandu wisata, ia mengakui bahwa Bandung memiliki kekuatan dahsyat yang mampu menarik hati para wisatawan, baik dalam negeri maupun dari luar negeri. “Mulai dari pengolahan bubur sampai kontruksi mesin tempur, ada di Bandung,” katanya. Akan tetapi, wisatawan luar negeri yang berkunjung ke Bandung, terutama yang berkunjung ke dalam Gedung Merdeka, lebih banyak wisatawan yang berasal dari Asia[ii]. Meskipun, daya tarik kota ini sebagai Parijs van Java dan Europe in de Tropen[iii], juga menarik para wisatawan luar negeri non-Asia untuk berwisata di sini.
Sejalan dengan itu, daya tarik Bandung itu pulalah yang membuat para delegasi negara-negara peserta Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, banyak yang melancong di sekitar kota ini di sela-sela kegiatan KAA. Ada yang berbelanja ke Pasar Baru, makan sate di Warung Sate Badrawi (sebelah Masjid Alun-Alun Bandung saat itu), bahkan ada yang membeli lukisan-lukisan di Jalan Braga. Mamun sendiri menceritakan bahwa di Toko Lukisan Tatarah, salah satu toko di Jalan Braga, para delegasi memborong 75 lebih lukisan yang ada di sana. Tema lukisan yang paling banyak di beli adalah lukisan pemandangan, tanah Priangan, dan tari Jaipong. Roeslan Abdulgani sendiri dalam bukunya, lebih banyak menceritakan kegiatan politik dan diskusi ringan di antara delegasi-delegasi di sela-sela kegiatan KAA dibandingkan kegiatan melancong.
“Dari sisi wisata, banyak income yang masuk ke Bandung saat Konferensi Asia-Afrika waktu itu,” kata Mamun. Perekonomian Bandung berputar begitu kencang, mulai dari perekonomian kecil seperti kuliner sampai perekonomian besar seperti hotel-hotel.
Bandung memang tidak bisa dihilangkan dari sejarah. Peristiwa Konferensi Asia-Afrika, menurut Mamun, merupakan pengikat sejarah tahun 1930-an, 1950-an, dan hari ini. Perjalanan sejarah Bandung dari berbagai sisi, termasuk Konferensi Asia-Afrika di dalamnya, membuat Bandung seperti magnet yang kuat bagi wisatawan, “magma dunia” yang menjadikan Bandung dinobatkan berada di urutan ke-21 tujuan wisata dunia.[] Bandung, 5 Februari 2015
Sumber foto: Dokumentasi M Ridha
…………………………………………………………………………..
[i] Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
[ii] Berdasarkan yang diceritakan Mamun, menurut pengakuan beberapa wisatawan non-Asia kepada beliau, sebagian dari mereka memiliki rasa bersalah jika berkunjung ke dalam gedung bersejarah tersebut. Mungkin jejak hitam para pendahulu mereka membuat para wisatawan itu malu dan merasa bersalah, khususnya menyangkut pembelaan KAA terhadap nasib bangsa-bangsa di kedua benua besar itu.
[iii] Mengenai julukan-julukan ini, lihat Kenapa Bandung?