Fb. In. Tw.

AADC? 2, Kenapa Cinta-Rangga Dua Kali Berciuman?

Para penggemar film Ada Apa dengan Cinta? 2, khususnya remaja, setidaknya dibuat dua kali menahan nafas ketika menonton film arahan sutradara Riri Riza ini. Hal itu lantaran suguhan dua kali  adegan berciuman Cinta dan Rangga, pasangan pemeran utama dalam film tersebut.

Penonton setia Ada Apa dengan Cinta? atau biasa disingkat AADC pasti ingat, pada bagian pertama film ini yang diluncurkan 2002 silam, Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang saat itu masih SMA, hanya berciuman satu kali saja.

Lantas, kenapa dalam film kedua ini mereka harus berciuman dua kali? Setiap adegan dalam film tentu melalui sebuah perhitungan mendalam. Jadi, pasti ada alasan kenapa Neng Cinta dan Bang Rangga ini harus dua kali saling melumat bibir.

Tulisan ini tidak akan mendeskripsikan bagaimana gaya mereka berciuman, terlebih membocorkan kapan mereka berciuman. Anda yang belum menonton film ini, silakan mampir ke bioskop.

Terlepas apapun alasan  sang pembuat cerita, Mira Lesmana dan tim, soal adegan berciuman ini, saya sebagai penonton tertarik menebak-nebaknya. Kesimpulan sederhana saya, adegan berciuman mengindikasikan bahwa film AADC? 2 lebih dewasa daripada pendahulunya.

Kenapa demikian? Agaknya, orang-orang di balik layar tahu benar, para penggemar AADC kini telah beranjak dewasa. Hasilnya, jadilah AADC? 2 film remaja yang dua kali lebih dewasa dari pendahulunya (AADC pertama), juga dari film-film sejenis, seperti “Catatan Akhir Sekolah” atau “Perahu Kertas”.

Sebagai film remaja, tak bijak rasanya kalau harus menghakimi film ini dengan logika-logika film drama yang serius, seperti karya-karya Garin Nugroho. Jadi mari kita perlakukan film ini sebagai film remaja.

Dalam asumsi saya, film remaja pada umumnya memang hiperbolis atau melebih-lebihkan. Terkadang, cerita, dialog atau simbol-simbol yang ditampilkan terasa dipaksakan. Tapi ingat, film remaja memang menyasar segmen penonton usia muda yang membutuhkan pesan-pesan yang lebih jargonis.

Ketika saya melihat AADC? 2 ini sebagai film remaja, saya tak ragu menyimpulkan, ini adalah film remaja yang keren. Ini film alternatif bagi remaja Indonesia hari ini. Bagi Anda yang menganggap adegan berciuman adalah hal negatif, lupakan tentang itu.

Saya akan menunjukan, banyak hal keren dalam film ini yang memberikan pengetahuan sekaligus menginspirasi generasi muda.

Isu Politik
Dalam AADC pertama dulu, isu politik hanya disampaikan secara samar melalui sosok ayah Rangga, seorang intelektual yang entah mengapa mendapat ancaman dan teror dari pihak tertentu. Dalam AADC kedua ini, Anda akan menemukan isu politik diberi ruang lebih besar.

Misalnya, film ini menyisipkan aspirasi politik orang-orang Yogyakarta yang memprotes berbagai upaya privatisasi di kota mereka. Tak tanggung, tulisan “Jogja Ora Didol” (Jogja Tidak Dijual) akan Anda temukan dua kali dalam film ini. (Silakan cari sendiri. Hehe).

Lebih berani, film ini juga menyampaikan isu politik secara verbal melalui dialog Cinta dan Rangga. Rangga menyebut, meski belasan tahun tinggal di Amerika, dia tetap mencintai Indonesia dan tetap menggunakan hak pilihnya.

Cinta menebak, mereka memilih kandidat yang sama dalam pilpres lalu. Pesan ini pun menjadi intrik ketika Rangga bertanya kepada Cinta setengah bergurau “Nyesel, nggak?”. Maksudnya tentu Rangga bertanya kepada Cinta, “nyesel nggak milih yang sekarang?”. Silakan simak dialog yang menggelitik ini.

Seni-Budaya
Jika AADC? pertama hanya mempromosikan dua unsur seni, yakni musik indie dan puisi, AADC kedua menambahkan seni rupa, mulai lukisan, seni instalasi hingga teater boneka. Film AADC? 2 sekaligus juga mempromosikan para seniman-seniman lokal, seperti perupa Eko Nugroho, komunitas Papermoon Puppet Theatre, serta kelompok Jogja Hiphop Foundation.

Beberapa judul puisi yang dihadirkan dalam film ini juga secara khusus dipesan dari Aan Mansyur, seorang penyair muda kenamaan asal Makassar. Dalam salah satu puisinya, penonton remaja juga akan mendengar petikan nama “Pablo Neruda”, salah seorang kanon di kalangan penyair dunia.

Kearifan Lokal
Tidak seperti banyak film-film remaja produksi dalam negeri yang memaksakan latar budaya bergaya Amerika atau Korea,  AADC? 2 tidak gengsi memotret kearifan lokal Yogyakarta. Pemandangan lumrah Kota Jogja, mulai dari pedagang kali lima, warung gudeg, penarik beca hingga sisi kumuh Jogja, ditampilkan apa adanya.

Bahkan, film ini agaknya menghindari ikon-ikon utama Jogja, seperti Candi Prambanan, Tugu Nol Kilometer atau Benteng Vredeburg. Pada satu scene di Jakarta, film ini juga merekam sekilas para pengelana dari Suku Baduy Luar yang sedang berjalan berbaris di antara hiruk-pikuk Ibu Kota.

Gaya Hidup
Seperti lumrahnya film remaja yang selalu menjual tren yang sedang in, AADC? 2 ini juga turut mengampanyekan gaya hidup alternatif, di antaranya adalah budaya minum kopi dan naik gunung.

Dalam film ini, entah bagaimana sejarahnya, di New York sana, Rangga memiliki sebuah kedai kopi bersama seorang teman bulenya. Di Indonesia, Cinta lalu juga mengajak Rangga minum kopi di Klinik Kopi Mas Pepeng. Mas Pepeng ini juga boleh disebut salah satu local hero di Jogja.

Sementara budaya naik gunung ini ditampilkan ketika Rangga mengajak Cinta ke suatu bukit yang tinggi, tempat mereka bisa melihat mentari terbit dari sebuah bangunan yang ikonik. Belakangan, saya mengetahui bangunan itu dikenal sebagai “Gereja Ayam”, berlokasi di Bukit Menoreh, Magelang.

Minum kopi dan naik gunung sebagai dua gaya hidup yang lagi ngetren memang bukan hal baru yang ditampilkan dalam film remaja Indonesia. Budaya minum kopi lebih dahulu booming lewat film Filosofi Kopi, sementara tren naik gunung lebih lekat dengan film 5 Cm.

Tak ketinggalan, film ini juga memtoret satu gaya hidup lain, yakni Yoga. Dalam film ini, diceritakan, tokoh Carmen bergabung dengan kelas Yoga.

Catatan
Sekali lagi, jika saya menilai film ini sebagai film remaja, saya tidak ragu untuk mengacungkan empat jempol yang saya miliki. Meski begitu, saya juga ingin memberikan catatan kritis. Kekurangan film ini bagi saya terasa pada kualitas akting para pemeran, termasuk Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Saya kurang merasakan luapan jiwa dari bahasa tubuh dan dialog-dialog yang mereka bawakan. Ya, tapi kembali lagi, ini toh film remaja. Sejauh ini, Dian dan Nicho toh masih tetap mampu membuat para pemirsa setia AADC, khususnya remaja, termehek-mehek.

Selain itu, film juga ini rasanya tidak akan memunculkan soundtracksoundtrack legendaris, seperti pendahulunya (AADC pertama). Pasalnya, meskipun masih digarap duet Melly Goeslaw dan Anto Hoed, sebagian musik pengiring dicomot dari koleksi lama AADC? pertama.[]

KOMENTAR

Jurnalis-Penulis Lepas. Kini tinggal di Pangandaran.

Comments
  • Halida Khairunnisa

    Serius deh Mas Andi.. kok aku gk nemu tulisan “Jogja Ora Didol” di adegan mana aja sih mas atau menit ke berapa gitu..? Bener deh mas penasaran aku hehe

    29 November 2016
  • Vichi

    sebagai Film remaja yang sastrawi, saya selalu membandingkannya dengan film “before sunrise”. Aĺhasil, secara kualitas AADC belum bisa sebaik itu. Namun, sebagai fiĺm alternatif di Indonesia, AADC sangat reccomended.

    5 Mei 2016
  • Amran

    Enak dibaca. Meski sedang di dalam perjalanan saya selesai membacanya.

    4 Mei 2016

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register