Mengenang Penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy (1962 – 2015)
“Kuiikuti cahaya-cahaya yang datang menjemputku,
merenungi sunyi pertapaanku.
Dalam jiwaku yang khusyuk
dan mabuk kilau syahadatmu”
(Ahmad Syubbanuddin Alwy, Katarsis)
Untuk pertama kalinya saya mengenal karya penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy ketika membaca puisi panjangnya di Majalah Sastra Horison berjudul Cirebon, 630 tahun kemudian. Saya kala itu masih berumur 16 tahun dan masih tinggal di asrama pesantren. Lazimnya pesantren yang mempunyai perpustakaan mini, saya pun kerap kali menghabiskan waktu pada sore hari di perpustakaan. Seingat saya, tumpukan majalah sastra Horison cukup banyak di perpustakaan milik pesantren Al-Falah II Nagreg yang ruang-ruang bacaannya disekat oleh satir, sebuah pemisah dari papan untuk santri putra dan putri yang ingin membaca buku, jurnal maupun majalah.
Perkenalan dengan puisi Alwy, saat itu, masihlah sebatas saja. Tidak mencoba mendalami makna yang terkandung di dalam puisi-puisi penyair kelahiran Cirebon pada 26 Agustus 1962 ini. Setelah itu, puisi dan sosok Alwy sendiri hilang bersama waktu seiring bertambahnya umur saya. Namun, perkenalan intuitif itu membekas secara pribadi. Sampai pada pertengahan tahun 2012, akhirnya untuk pertama kalinya, saya bertemu dengan sosoknya. Ternyata, pribadinya tidak seserius dan sejelimet puisi-puisinya. Alwy pribadi yang hangat, humoris, kocak, royal, dan sangat improvisasi. Cara dan nada bicaranya sangat berapi-api, penuh semangat dan sangat provakatif. Apalagi ketika Alwy sedang menasehati para penyair muda yang kerap ia temui. “Bro, jadi penyair itu harus serius, bro, kalau enggak serius lebih baik jangan jadi penyair,” ujar Alwy pada suatu siang di Cimanggis, Depok.
Saya memang tidak begitu sering bertemu dengan Alwy. Hanya sesekali. Itu pun kalau ia sedang berkunjung ke rumah penyair Agus R. Sarjono maupun menginap di kantor redaksi Jurnal Sajak di Cimanggis. Kebetulan, Alwy juga bagian dari redaktur Jurnal Sajak bersama penyair Acep Zamzam Noor. Alwy selalu menyempatkan mengontak saya. Dia tidak pernah SMS, tapi menelepon. Karena jarak rumah saya dan kantor Jurnal Sajak yang berdekatan, saya pun selalu menghampirinya.
Pernah suatu waktu, pada pertengahan 2013, Alwy ingin jalan-jalan ke Mal Golden Truly, sebuah mal tua di kawasan Jakarta Pusat yang terletak di Jl. Gunung Sahari No 59. Saya, Om Arif, Irsyad Muhammad dan satu orang supir pun menyetujui kemauan Alwy tersebut. Tentu dengan satu syarat mutlak. Jangan terlalu banyak improvisasi. Karena kalau Alwy sudah kambuh improvisasinya di Jakarta Kota, semisal mengubah rencana awal. Saya bisa membayangkan, macetnya seperti apa. Belum lagi ditambah panasnya udara kota. Tanyalah ke Om Arif dan penyair muda Zulkifli Songyanan, seberapa hebatnya Alwy dalam urusan improvisasi.
Selama perjalanan dari Depok sampai Jakarta, Alwy terus bicara tentang keseriusannya ingin membawa martabat kepenyairan Jawa Barat dalam pentas sastra internasional. “Kita penyair Jabar harus ikut ambil bagian,” kata Alwy sambil merokok tiada henti. “Mas Agus, Kang Soni Farid, sama Kang Acep, sudah membuktikan itu lewat puisi-puisi yang mereka tulis,” tambahnya. Saya hanya mengangguk-ngangguk tanda setuju. “Tia Setiadi penyair asal Subang, saya dengar juga, dia dapat penghargaan dari Mastera,” Mas Alwy melanjutkan. Setelahnya dia tidur, sambil ngorok.
***
Di Mal Golden Truly, Alwy langsung masuk ke lantai 2, saya mengikutinya dengan cepat, Om Arif menghilang ke arah kantin karena lapar, Irsyad sibuk ke bagian rak pakaian dalam wanita, entah untuk apa. Alwy langsung mencari pakaian-pakaian bermerek Polo. Merek Polo adalah pakaian favorit Alwy selama ini, “penyair serius itu harus serius juga, bro, dalam berpakaian,” katanya berulang-ulang kali, sambil melihat-lihat jenis baju polo. Namun, desain baju polo yang Alwy inginkan tidak ada stoknya. Ia pun sedikit cemberut.
Dari bagian rak khusus pakaian Polo, Alwy berpindah ke bagian rak khusus celana dalam. “Saya harus beli celana dalam dulu, tapi yang mereknya Nike atau Adidas,” kata Alwy. “Kok beli celana dalam, jauh-jauh ke Trulyy mas?” balas saya. “Harus, bro, penyair serius itu merek celana dalamnya juga harus serius dan jarak belinya juga harus jauh.” Alwy pun langsung membeli celana dalam merek Nike, saya lihat harganya cukup mahal. “Udah yo balik ah,” katanya setelah membayar celana dalam tersebut di kasir. Akhirnya, keluar juga improvisasinya.
***
Keimprovisasian Alwy dalam bertindak, dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa rencana. Membuat satu pandangan tersendiri bagi saya tentang sosok penyair yang selama hidupnya ini, berniat menyelesaikan puisi epiknya tentang Cirebon. Namun, tidak pernah selesai. Sekilas, Alwy adalah pribadi yang penuh canda dan guyon, tapi puisi-puisinya tidak menunjukan karakteristik pribadinya yang lucu. Puisi-puisinya mencerminkan kehebatannya dalam memilih diksi-diksi spiritual, meliuk-meliuk seperti penari, penuh dengan daya kejut menentukan metafor. Sangat sublim. Sangat personal. Seperti sufi yang sedang mengalami Trance. Saya rasa, kesusastraan Jawa Barat patut bangga memiliki sosok penyair yang disebut-sebut sebagai Raja Penyair Nagari Caruban.
Dalam tulisan Agus Noor, yang dimuat dalam majalah Sastra Horison, dalam esai Penyair Indonesia Terkini Antara Formalisme Bahasa dan Mobilitas Kota-Kota, nama Alwy dicatat cukup serius oleh Agus Noor sebagai salah satu penyair generasi 80an terdepan yang corak puisinya sangat sufistik. “Ahmad Syubbanuddin Alwy dalam ‘Bentangan Sunyi’ ada guncangan yang begitu keras yang melanda jalan sufisme, yang membuat siapapun akan tergetar oleh keriuhan yang muncul dalam teks-teks puisi yang ditulis Alwy itu,” tulis Agus Noor. Saya kutip dan tulis utuh puisi Alwy, untuk pertama kalinya dan bisa dinikmati di internet yang berjudul ‘Bentangan Sunyi’ di bawah ini, yang dimaksudkan oleh Agus Noor di atas.
Bentangan Sunyi
Inilah jarak kita; bentangan sunyi —-
debur ombak, gugusan kabut dan keluasan langit
semua bergelombang menyalakan api pada tungku
keimananku. Di sini, di mihrab masjid yang terbuka
ke muaramu, ribuan gerimis mendekapku dalam irama tangis
tetap setiap cahaya datang, kembali membakar doa-doa
dan sujud khusyukku kepadamu. Seperti baris rumpun ilalang
dari belantara hatiku, segera tumbuh menjulang
menutup ungkapan-ungkapan cinta yang membatu
mungkin tinggal wangi sajadah dan simponi airmata
menggenang dalam keremangan malam. Demikian pedih
menerima serpihan-serpihan ayat keabadian
kitab-kitab dari gulungan semesta, mengepung sukmaku
dalam deraian bahasa hujan yang melelahkan
melepas hari-hariku ke segala penjuru pertobatan
Inilah jarak kita: bentangan sunyi —-
suara gema, goresan luka, dan kecemasan waktu
berguguran menuliskan abad-abad panjang di helaian
rambutku. Betapa getar kerinduan menghunuskan sembilu
samudra tasbih, mengasah alunan dzikir serta tarian laut
yang menyala, hingga menyentuh lambaian pucuk-pucuk perdu
dari pematang kehidupanku. Matahari bagai lapis kepompong
mekar di kelam jiwa. Diam-diam mengulurkan ricik kenangan
dalam dadaku. Kubah-kubah bergelora mengirimkan riuh adzan
melukiskan lengkung pagi, juga bianglala sore masa kecil itu
membawaku bertapa di atas keheningan panggilanmu. O, Allah
telah sempurna badai mengajarkan gemuruh langkahku, bergairah
menerima seruan takbir sebagai arah kiblat yang gelisah
kau sematkan percik fajar bersama titik kesadaran di keningku
dan aku, tak bisa mengelak untuk senantiasa memujamu!
Cirebon, 1993.
Aku lirik pada puisi Bentangan Sunyi tersebut, sangat kental dengan makna keabadian yang sedu sedan. Impresi-impresinya memancarkan kesunyian yang akut. “Larik di atas pada puisi Alwy, tak pernah sedikitpun berpaling selain kepada Tuhan. Komitmen religius sebagai benteng terakhir. Untuk mempertahankan eksistensi diri di hadapan yang riuh,” tulis Moh. Wan Anwar pada catatan penutup antologi penyair Jawa Barat, Napas Gunung saat membahas puisi Bentangan Sunyi milik Alwy tersebut.
Buku puisi dan antologi puisi bersama yang menyertakan Alwy, memang tidak begitu banyak. Namum, kita masih bisa melihat beberapa puisinya di dalam antologi buku puisi tunggalnya Bentangan Sunyi (FSB, 1996), dan dibeberapa antologi puisi bersama penyair lainnya seperti Mega Mendung (Tim Budaya PR, 1991), Sastrawan Indonesia Angkatan 2000 (Grasindo, 2001), Cermin Alam (1999), Negeri Bayang-Bayang (1996), Antologi Puisi Indonesia (1987), Muktamar (2003), Dari Fansuri Ke Handayani (Majalah Horison, 2001), dan Napas Gunung (DKJ, 2002).
Selama hidupnya, Alwy memang ngotot untuk membuat antologi puisi tunggal berikutnya berjudul Pertapaan Api dan Cirebon, 630 Tahun Kemudian serta Ruwatan Bumi (antologi puisi berbahasa Cirebon), tapi antologi puisi tunggalnya tersebut urung diselesaikan, karena menurut penuturannya butuh referensi dan riset yang lebih mendalam. Khusus untuk puisi berjudul Cirebon, 630 Tahun Kemudian, yang mirip suluk tersebut, Alwy seperti tenggelam dalam serangkaian peristiwa epik masa lalu, dan melalangbuana ke masa depan Cirebon. Namun sayang, puisi masterpiece dari Alwy ini, tak kunjung bisa ia selesaikan.
Sebagai sastrawan yang berlatar belakang dari dua Pondok Pesantren di Cirebon ini, sumbangan Alwy tidak boleh dilupakan begitu saja dalam khazanah kesusastraan pesantren. Alwy pernah mengagas Koalisi Sastrawan Santri Indonesia, yang beberapa kali sering mengadakan acara-acara sastra di Pesantren sekitar Jawa Barat. Karena menurutnya, kaum santri harus ikut ambil bagian dalam gelanggang sastra Indonesia. Ia melihat kaum santri yang mencintai sastra terasa dipinggirkan dan jarang mendapat tempat.
Padahal, menurutnya, banyak sastrawan potensial yang dilahirkan dari pesantren. Karena di pesantren para santri diajarkan beberapa kitab kuning dengan bahasa yang puitis. Contohnya, pada kitab karya Ibnu Malik yang berjudul Alfiyah, yang ditulis dengan sangat sastrawi. Saya pun sempat belajar kitab tersebut yang terdiri dari seribu bait. Para santri wajib menghafal ribuan bait tersebut, sebagai dasar untuk membaca kitab kuning.
Penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy, memang sudah meninggalkan kita semua pada usianya yang ke 53, tanggal 2 November 2015 lalu karena penyakit yang dideritanya. Namun, sumbangsihnya pada peta kesusastraan Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya, tidak boleh dilupakan begitu saja. Alwy, begitu juga dengan puisi-puisinya akan tetap terkenang pada generasi kepenyairan selanjutnya. Khususnya, pada generasi saya di Jawa Barat.
Sangat disayangkan jika Alwy, berserta puisi-puisinya hilang begitu saja tergerus oleh angin zaman. Entah kenapa, di Internet begitu minim sekali, informasi mengenai puisi-puisi Alwy. Saya berharap kelak, ada penerbit yang mau membukukan seluruh karya-karya puisi Ahmad Syubbanuddin Alwy. Biar generasi era millenial seperti sekarang bisa menikmati puisi-puisi terbaiknya.
Saya pun akan tetap mengenang apa-apa yang telah Alwy tulis selama ini. Tulisan sederhana ini mungkin tidak bisa menangkap kepenyairan Alwy secara dalam, tapi inilah salah satu cara saya menghormati penyair yang ingin menjadi pengembara sunyi sesuai baris-baris puisinya Aku kini pengembara/ gemuruh kesunyian/ dan bentangan airmata/ seribu masjid menyeduh jiwaku/ yang merana dengan dzikir-dzikir luka. Semoga bro…[]