Membaca Karikatur Kehidupan dalam Balamba dan Gadis Berambut Bidadari
“Apa yang saya inginkan hanyalah berkata kepada masyarakat dengan jujur. Pandanglah diri kalian dan lihatlah betapa busuk dan muramnya kalian. Hal yang penting adalah bahwa masyarakat perlu menyadari bahwa mereka tidak boleh tidak harus menciptakan kehidupan yang lebih baik dan berbeda. Sepanjang kehidupan itu belum terwujud, saya tidak akan jemu-jemu berkata kepada masyarakat: Please, mengertilah bahwa kehidupan kalian busuk dan muram!” – Anton Chekov.
Saya teringat komentar Anton Chekov terhadap karya-karyanya sendiri setelah membaca cerpen-cerpen Ismail Kusmayadi. Tidak ada niat untuk membandingkan. Hanya saja, kedua cerpenis ini berbicara tentang fenomena kehidupan masyarkat yang seharusnya pernah atau sering dijumpai oleh kita.
Pada dasarnya, karya sastra merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak bisa terlepas dari gejolak kultur sosial-budaya dan kehidupan masyakarat. Termasuk dalam kumpulan cerpen Balamba dan Gadis Berambut Bidadari karya Ismail Kusmayadi.
Tema-tema yang diangkat dalam buku ini meliputi praktik korupsi, perampokan, lokalitas, kehidupan metropolitan, dan lain-lain. Semisal dalam cerpen berjudul “Hikayat Darmaji”.
“Sebagai manusia yang hidup menggelandang di muka bumi ini, Darmaji harus menerima sebuah kenyataan pahit. Ia lupa bahwa dunia ini berputar. Tubuhnya yang sudah terbelah-belahtak lagi dapat dipersatukan. Kesenangan yang selama ini dinikmati oleh setiap aliran darahnya menjadi sebuah kegetiran. Sang janda sudah lama meninggalkannya setelah Darmaji melarat dan keriput. Rambutnya memutih lebih cepat dan tubuhnya tak sekuat dulu.” (2017, hlm. 16).
Cerpen ini berkisah tentang seorang Haji bernama Darmaji seorang pegawai pemerintahan yang memiliki seorang istri dan dua orang anak. Namun hidupnya menjadi muram ketika Darmaji mengenal keserakahan dan janda. Akhirnya Darmaji hidup sendiri dan melarat akibat perbuatannya. Dalam cerpen ini pula terdapat alegori yang sesuai dengan kehidupan Darmaji.
“Seperti halnya sebatang pohon, mula-mula hijau menyegarkan tapi lambat laun mulai kecokelatan dan meranggas kering.” (2017, hlm. 16).
Banyak cerpen yang terkumpul dalam buku ini bernada kecaman atau kekecewaan terhadap pemerintahan atau sosial masyarakat. Penulis berusaha membongkar kesadaran-kesadaran kita terhadap kehidupan. Semisal cerpen “Tik Tok Tik Tok”, yang berkisah tentang Jo yang putus asa dengan kehidupan yang dijalaninya. Atau pada cerpen “Nyanyian Hati Suryo” yang berkisah tentang dua pegawai pemerintahan yang memiliki perbedaan idealisme dalam menyikapi sebuah persoalan.
Gaya penceritaan yang cepat, lugas, dan didaktis, membuat cerpen dan kandungan pesan-pesan moral didalamnya mudah dipahami, semisal dalam cerpen “Perempuan di Balik Kabut”.
“Dia tersenyum lagi. “Saya hanya menawarkan apa yang sebelumnya pernah mereka miliki, namun telah hilang. Ya, hidup di zaman sekarang ini berat, Mbak. Mereka kehilangan sejuknya hijau rumputan karena terlalu bernafsu menaklukkan matahari. Tak sedikit yang berebut kekuasaan, gontok-gontokkan, saling bunuh, ngeri kan? Mengapa mereka tidak pernah menyadari bahwa asal mereka tiada dan akan kembali dalam ketiadaan?” (2017, hlm. 44).
Sementara dalam cerpen “Balamba dan Gadis Berambut Bidadari”, saya menemukan proses penggalian pesan moral dalam cerita-cerita rakyat. Penulis mengangkat kisah dari pulau Sulawesi tentang seorang lelaki bernama Balamba yang pergi ke hutan dan mendiami Gua Wangkaka. Pada cerpen ini saya disadarkan untuk kembali mengingat pesan-pesan leluhur kita. Tidak melupakan sejarah tempat saya hidup, yang terkadang sering saya lupakan dan lalai.
Saya temukan pula kritik terhadap emansipasi wanita dalam cerpen “Perlombaan Kencing Berdiri”. Ada upaya penegasan penulis bahwa laki-laki dan perempuan pada akhirnya memiliki harkat yang berbeda.
Nampaknya pada kumpulan cerpen ini, penulis mengajak kita untuk kembali merenungi setiap fenomena-fenomena kehidupan. Tokoh-tokoh seperti, Jo, Suminah, Balamba, Darmaji, dan lain-lain diciptakan seolah-olah pernah kita ketemui atau bahkan kita sendiri yang pernah menjadi tokoh tersebut. Seolah-olah kita diingatkan kembali kepada karikatur kehidupan yang mau tidak mau harus kita akui bahwa zaman sekarang tidak baik-baik saja.[]
*Pengantar Diskusi yang disampaikan pada Dikusi 10 Buku Presentase #5, 26 Oktober 2017