Kematian Huruf
Siapa yang tak kenal Bangsa Fenisia? Ya, wilayah Fenisia berada di Timur Tengah. Sekarang lebih dikenal Lebanon dan Suriah. Bangsa Fenisia telah diakui menemukan abjad, namun tidak menghasilkan karya sastra yang bagus. Huruf-huruf yang ia temukan lebih diarahkan pada perdagangan. Seperti yang banyak orang katakan, bangsa Fenisia lebih mengutamakan perdagangan daripada seni. Sehingga temuan abjad lebih dipakai untuk kepentingan transaksi berdagang.
Memang tak menjadi persoalan apabila dilihat dari sudut pandang perdagangan. Menjadi persoalan adalah bangsa ini tidak menurunkan karya sastra, sehingga bangsa ini kemudian menjadi bangsa yang kehilangan bukti sejarahnya.
Berbeda dengan Indonesia, banyak sekali penulis atau mengaku sebagai penulis. Padahal pada kenyataannya, ia hanyalah seorang tukang meracik kopi (barista). Penulis adalah profesi. Dan, saya belum pernah menemukan seorang dokter menjadi bartender, atau ia melayani tamu di kafe-kafe. Artinya siapa saja dapat menjadi penulis, tentunya setelah menghasilkan buku atau sudah masuk di koran tulisannya. Atau, bahkan dipublikasikan sendiri di blog atau facebook pribadinya.
Konsekuansi kepopularitasan menjadi penulis, tidak kemudian akan mewariskan karya terhadap generasi selanjutnya. Ini persoalan yang terjadi di Indonesia.
Di tangan saya sudah ada buku kumpulan puisi yang berjudul Malaikat Cacat karya Sam Haidy, terbitan Indie Book Corner (2017). Buku ini menghimpun sebanyak 50 puisi dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Puisi-puisi pendek dengan tema beragam menjadi keutuhan buku ini.
Pemilihan tema yang beragam mungkin sangat diperhitungkan oleh Sam Haidy sebagai penulis, namun pengemasan lewat puisi-puisi pendek, seakan ia kebingungan dalam menyelesaikan puisi. Puisi dibiarkan begitu saja mengambang (atau mungkin dibuat menjadi multitafsir), sehingga saya mendapatkan huruf-huruf mati pada puisinya.
Kematian Huruf
Huruf yang disusun menjdi kata, seyogyanya memunculkan makna yang kuat. Seorang penyair adalah seorang yang mempunyai penghayatan lebih dari sekadar pengamat bahasa atau seorang bibliografi. Daya tangkap imajinasi yang dimiliki seorang penyair tidak kemudian mengarah pada makna yang baru (mengejutkan).
Huruf yang berkeliaran di sekelilingnya tidak ditangkap menjadi kata yang penuh amarah dan tendensi. Hanya sekadar pelengkap dalam menyampaikan permasalahan yang dialami oleh seorang penyair. Hasilnya menjadi puisi-puisi yang tak berinduk, puisi yang tak berarah.
Malam
Malam adalah ladang pembantaian abadi
Jiwa-jiwa tandus yang digerus sepi
Yang tak menyisakan apa-apa selain puisi
(2016)
Cara pandang penyair terhadap malam luar biasa, mencekam, tidak terbayangkan oleh saya sebagai seorang pembaca buku ini. Tetapi setelah saya membaca larik kedua dan ketiga, imajinasi tentang malam menjadi biasa kembali. Menjadi malam-malam dilakui oleh seorang penyair dalam proses kreatif. Atau malam-malam anak muda gaul di kafe dan pub dengan segelas kopi dan wine. Tidak terdapat pendobrakan pemikiran kembali pada larik-larik selanjutnya.
Sam, punya potensi yang lebih dari sekedar menyusun huruf menjadi kata dan kata-kata menjadi makna.
True Eyes
You don’t have to be an angel
All you need is someone who can
Always see you best angel
Saya akan melihat puisi-puisi Sam bukan sebagai pembaca, tetapi sebagai pemodal yang memiliki uang banyak untuk membiayai penerbitan buku puisi. Tentu, saya akan menerbitkan puisi-puisi Sam dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk meraih keuntungan yang banyak pula, dengan pertimbangan puisi-puisi Sam adalah puisi-puisi yang manis, romantis. Puisi yang digemari oleh kalangan anak muda pasca film Ada Apa Dengan Cinta? 2.
Sam menulis puisi, M. Aan Mansyur menulis puisi, Tardji menulis puisi, Lorca menulis puisi, tentunya puisi-puisi mereka berbeda. Memiliki kekuatan dan khas berlainan. Dan saya senang membaca puisi. Terutama setelah saya membaca sejarah bangsa Fenisia. Bangsa yang tercerabut dari akarnya setelah menemukan abjad. Bangsa yang tidak mengindahkan seni dan sastra. Hingga akhirnya bangsa tersebut hanya dikenal sebagai bangsa pedagang.
Malaikat Cacat adalah bukti dari banyak bukti bahwa Indonesia banyak memiliki penulis. Penulis-penulis ini kemudian mengabadikan momen yang dialami olehnya. Setidaknya buku-buku puisi menjadi terapi di tengah politik yang kian semakin semrawut.
Sam adalah penulis idola saya, sebagai seorang yang mengidolakan, tentunya saya ingin Sam berkarya lebih baik dari apa yang telah ia capai dalam karyanya selama ini.[]