Cerita Barbara Hatley Mengenal Seni Pertunjukan Indonesia
Musim panas di pusat kota Melbourne, senja senantiasa datang terlambat. Kamis (9/3/2017), pukul 19.00 waktu setempat, langit masih cerah. Geliat aktivitas belum beringsut. Lazimnya kota besar, semua orang tampak bergegas, ramai hilir mudik. Saya sangat antusias menikmatinya, panorama kesibukan dalam keteraturan.
Namun bukan momen itu yang dinanti. Melainkan pertemuan dengan sosok yang saya kagumi dan saya hormati. Ia adalah Barbara Hatley, seorang pengamat seni pertunjukan Indonesia. Seorang profesor emeritus di Studi Asia di Universitas Tasmania dan dosen tamu kehormatan di Sekolah Bahasa, Budaya dan Linguistik di Universitas Monash. Potret yang selama ini lebih sering saya jumpai lewat tulisan-tulisannya.
Barangkali bagi akademisi seni maupun pegiat seni pertunjukan di Indonesia, Barbara Hatley ialah sebuah nama yang sudah tidak asing lagi. Banyak buku yang telah ditulis dan diterbitkan, di antaranya: “Ketoprak Theatre and Wayang Tradition”, “Performing Contemporary Indonesia: Celebrating Identity, Constructing Community”, “Javanese Performances on an Indonesian Stage: Celebrating Culture, Embracing Change”, “Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru”, dll.
Tepat di Flinder Street Station, stasiun terpadat di Melbourne, saya ditemani Heliana Sinaga akhirnya bertemu dengan sosok yang ditunggu. Pertemuan ini atas permintaan beliau. Sebenarnya, keperluan utamanya adalah membicarakan seputar proses pertunjukan “Cahaya Memintas Malam/The Light Within A Night” yang dipentaskan di La Trobe University Hall (6-8 Maret) dan La Mama Courhouse, Melbourne (15-19 Maret).
Tapi bukan obrolan itu yang dirangkum dalam tulisan ini, melainkan obrolan setelahnya. Momen yang saya gunakan untuk menanyakan hal-ihwal teater terutama perjalanannya mengenal seni pertunjukan di Indonesia.
Berikut ini petikan wawancara saya dengan Barbara Hatley yang dilakukan di sebuah kafe, di tepi Sungai Yarra.
Apa kesibukan Anda sekarang?
Saya masih menulis beberapa artikel dan buku. Terkadang diminta pendapat tentang artikel atau buku yang mau terbit yang ada hubungan dengan kebudayaan Indonesia, juga mengoreksi skripsi. Tapi sekarang saya sudah tidak mengajar lagi, saya sudah pensiun.
Selain itu, saya sekarang ikut les di universitas untuk orang pensiunan. Sebagai murid bukan dosen. Saya mengambil les menulis. Menulis secara bebas, apapun yang dianggap menarik. Misalnya, kalau saya jalan-jalan melihat sesuatu yang menarik, lalu langsung menulis karangan kecil. Setiap minggu di tiap pertemuan, tiap orang lalu membacakan karangannya.
Saya ingin menulis bukan hanya persoalan akademis tapi semacam life history dari beberapa orang. Mungkin nanti saya mau menulis tentang orang yang tingal di Australia yang berhubungan dengan kerja kesenian. Saya juga ikut les menggambar dan menyanyi. Ini untuk menambah pengalaman saja.
Sejak kapan Anda mengamati pertunjukan di Indonesia?
Sejak tahun ‘70-an. Saya pertama kali tinggal di Indonesia tahun 1970 sampai 1972, tepatnya di Malang, Jawa Timur. Saya mulai tertarik pada kesenian panggung karena nonton ludruk. Tiap malam saya sering nonton di gedung kesenian, dekat pasar.
Lalu saya juga baca buku tentang ludruk yang ditulis James L.Peacock (Ritus Modernisasi; Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia). Di situ saya mulai berpikir untuk melakukan penelitian serupa, tentang seni pertunjukan. Sebelumnya, waktu S-1 saya hanya fokus pada sastra tulis. Tapi waktu saya lihat seni panggung, ketoprak atau ludruk, saya pikir ini menarik karena bisa dikaitkan dengan kehidupan sosial, keadaan sehari-hari, dan sebagainya.
Pada 1977-1978, saya kembali ke Jawa Tengah. Itu untuk keperluan penelitian S-3, tentang ketoprak. Pada waktu itu, fokus saya masih pada pertunjukan populer atau rakyat, belum ke teater modern. Disertasi itu saya selesaikan cukup lama, karena waktu itu sudah memiliki dua anak dan juga mengajar di Universitas Monash.
Sesudah itu, saya kemudian bertemu dengan aktor Teater Gandrik, Butet dan Djaduk. Kemudian saya melihat ada hubungan antara teater tradisional dengan modern. Saat itulah saya mulai menulis teater modern. Menulis teater modern dimulai pada pertengahan tahun 80-an, sekitar tahun 1985-1986.
Apa perbedaan teater modern Indonesia pada zaman dulu dan sekarang?
Di teater modern, pada zaman Soeharto (Orde Baru), teater modern seperti punya misi menyampaikan kritik, membicarakan keadaan sosial. Kalau sekarang lebih banyak variasi.
Pada masa Orde Baru bisa dikatakan ada misi bersama untuk mengkritik kebijakan Soeharto. Dan itu juga yang disenangi oleh penonton. Saya masih ingat saat nonton “Kisah Perjuangan Suku Naga” karya WS. Rendra di Istora senayan (sekarang GBK), penontonnya penuh. Ketika ada dialog yang mengkritik Soeharto, semua penonton menyahut dan bersorak.
Setelah Soeharto tumbang, teater modern bukan tidak menarik lagi tapi lebih variatif; mengangkat cerita yang lebih lokal. Meski masih ada yang mengangkat hubungan keadaan sosial.
Sekarang saya terlalu sulit untuk mengikuti semua perubahan teater modern di Indonesia. Kalau dulu relatif lebih mudah mengamati karena seolah ada misi bersama. Dan dulu saya sering ke Indonesia, bertemu dengan seniman-seniman di sana.
Apakah Anda mengamati juga pertunjukan di Australia?
Ya, saya juga sangat tertarik dengan seni pertunjukan di Australia.
Bisa diceritakan apa perbedaan seni pertunjukan Australia dan Indonesia?
Satu hal yang berbeda di Australia saya kira rata-rata di Australia seni pertunjukan hanya untuk kegiatan kesenian saja. Tidak ada semacam misi sosial yang perlu disampaikan. Meski terkadang ada juga yang menyampaikan misi sosial. Di Australia rata-rata kesenian berfungsi sebagai kegiatan untuk kepuasaan pribadi. Membicarakan persoalan keluarga, identitas pribadi, serta pengalaman individu.
Kalau di Indonesia rata-rata ada perhatian terhadap masalah yang terjadi di masyarakat. Teater semacam cermin atau refleksi kehidupan. Kalaupun mengangkat lakon dari Eropa biasanya disesuaikan dengan kondisi sosialnya.
Kapan terakhir menonton pertunjukan di Indonesia?
Maret tahun lalu (2016). Terakhir saya mencoba nonton (monolog) “Tan Malaka” (produksi Mainteater) di Bandung. Saya sengaja datang ke sana, tapi gagal karena hari pertama dibatalkan. Hari kedua saya mendapat kabar bahwa pertunjukan dapat digelar tapi saya tidak dapat nonton karena terlambat mendapat informasi.
Mungkin oktober 2015, saya mengikuti pertunjukan Teater Garasi waktu mereka bekerja sama dengan seniman Jerman, Rimini Protokol, “100% Jogya”. Saya menulis tentang itu, dan ada di salah satu bab buku saya yang belum terbit.
Pertunjukan Indonesia apa yang paling berkesan bagi Anda sampai sekarang?
Apapun?
Ya, apapun.
Kalau Ketoprak, lakon favorit saya adalah Aryo Penangsang. Waktu itu dimainkan oleh Pak Sis (Siswondo Harjosuwito), dan dimainkan dengan cara yang lain antara grup dari pusat keraton dan grup dari pesisir.
Kalau pertunjukan teater modern yang paling berkesan?
Saya terkesan dengan pertunjukan WS.Rendra, “Kisah Perjuangan Suku Naga” dan “Sekda”. Saya juga suka mengikuti pertunjukan Teater Gandrik karena cerita-ceritanya lucu dan juga Teater Garasi.
Terima kasih, Bu. Menyenangkan bisa bertemu.
Ya, sama-sama.
Di sela-sela obrolan, beliau juga mengungkapkan harapannya bahwa ke depan semakin banyak seniman Australia berkerja sama dengan seniman teater dari Indonesia, seperti kolaborasi yang dilakukan Teater Satu dan Mainteater saat ini.[]