Masih Adakah “Tanya” dalam Aktivitas Dunia Kampus Dewasa Ini?
“With shortness of breath, I’ll explain the infinite
How rare and beautiful it truly is that we exist”
(“Saturn”, Sleeping at Last)
Berikut merupakan penggalan lirik dalam lagu “Saturn” dari Sleeping At Last. Dalam penggalan lirik tersebut muncul interpretasi, dalam hidup manusia yang terbatas di dunia, “aku lirik” akan memberikan penjelasan tentang hal-ihwal yang tak terbatas bahwa betapa indahnya sesuatu yang asing dan menegaskan kita ada.
Lirik tersebut saya kira sarat dengan muatan filosofis, menandakan kegiatan filsafat yang tulus dilakukan seseorang yang pada akhirnya mencapai fase kulminasi dalam sebuah pencarian kebenaran. Dari peristiwa tersebut, muncul pertanyaan, “Bagaimana manusia yang terbatas masa hidupnya di dunia, mampu menjelaskan hal yang tak terbatas? Bagaimana sesuatu yang asing yang bisa dikatakan indah tersebut mampu menegaskan bahwa kita ada sebagai manusia?”
Tanya tentunya menjadi fondasi bagi manusia dalam mengetahui kebenaran. Terutama dalam kegiatan berfilsafat. Namun pada dewasa ini, menyoroti aktivitas akademik di kampus, kembali melahirkan pertanyaan yang lain, “Masih hidupkah kegiatan berfilsafat, khususnya di dunia kampus dan seluruh penghuninya? Atau jangan-jangan, filsafat yang menjadi rahim semua ilmu pengetahuan itu, telah sekarat dan menunggu mati?”
Kutipan tersebut menjadi topik utama dalam diskusi “’Nasib’ Filsafat di Dunia Kampus” dalam rangkaian acara Soemardja Book Fair, Kamis (23/2/17) di Galeri Soemardja Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam diskusi tersebut, Agi Muhammad ditunjuk menjadi moderator, dan Fauz Noor, penulis trilogi novel filsafat Tapak Sabda sebagai narasumber.
Kang Fauz, sapaan akrab narasumber―yang berlatar pendidikan Islam semenjak usia dini―mengatakan, apabila ingin memahami sebuah kebenaran, beliau mengutip ungkapan Imam Al-Ghazali, “Barangsiapa dalam proses pencarian kebenaran yang tulus. Lalu ia mati di tengah jalan, Tuhan akan mencatatnya sebagai seorang yang arif.”
Ia juga menjelaskan, “Indikator seseorang arif/muhsin memiliki kecenderungan berkorban dalam setiap langkahnya menjalani hidup. Seiring berjalannya waktu hasilnya akan terbangun mentalitas yang kuat. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, ‘Adil sejak dalam pikiran, maka adil dalam perbuatan’.
Namun pertanyaannya seberapa tuluskah seseorang dalam pencarian kebenaran ini?” lanjutnya
Dari kutipan tersebut, ia menegaskan, bahwa apabila seseorang telah memiliki pola pikir filsafat yang proporsional, maka jelas ia dapat berlaku adil dalam setiap kegiatannya. “Namun patut digarisbawahi, pola pikir tersebut menjadi alat yang ideal untuk mengkritisi hal-hal teknis yang masih nisbi, dalam konteks agama, yang bersifat fiqhiyah. Hanya hubungan manusia dengan Tuhan saja, dalam istilah Islam, Ibadah Mahdhoh, mutlak tidak bisa dikritisi. Karena hal tersebut hanya dalam ranah batiniyah (akidah).” Jelasnya.
Dari pembahasan Kang Fauz yang disimpulkan oleh moderator, dapat tergambar bahwa permasalahan yang dihadapi di dunia kampus, ketakutan mendasar sebagian besar mahasiswa dewasa ini. Karena keyakinan yang menitikberatkan pada doktrin-doktrin cendekiawan terdahulu, dan larangan-larangan antisipatif dari orang-orang terdekat, baik orang tua maupun para pengajar.
Ia juga mengutip sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, “Berbahagialah orang-orang yang terasing di zamannya. Dalam konteks pembahasan ini, orang-orang yang terasing yang dimaksud yaitu orang-orang memiliki kenikmatan dalam ber-tafakur, dalam kegiatan berfikir filosofis.”
Kang Fauz, yang merupakan salah satu pengajar di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, juga mengajak kepada para hadirin, khususnya teman-teman mahasiswa, “Walaupun ini tidak mudah, Bawalah kesadaran ke manapun melangkah. Ad-din Huwa Al-Aqlu, Agama itu akal. Agama itu menginginkan manusia memahaminya dengan akal. Karena agama untuk manusia bukan manusia untuk agama. Berhadapan dengan agama, pergunakanlah akal.”
Dari pernyataan persuasifnya, lahirlah pertanyaan yang lain, yang kelak menjadi renungan bagi setiap manusia, “Masihkah kita akan tetap menelantarkan keberadaan tanya―akal― dalam diri kita?”[]