Membaca Puitika Gus Noy Sang Arsitek
Napak Tilas adalah serumpun puisi 1999-2016, demikian tajuk yang saya baca dari buku puisi Gus Noy. 87 puisi pilihan selama periode 17 tahun dalam kepenyairan Gus Noy. Gus Noy sendiri yang saya tahu adalah pribadi yang unik. Keseharian dia yang seorang arsitek kemudian juga dikenal sebagai penulis puisi, adakah keterkaitan atau tidak, telah mengundang kepenasaran saya.
Kiranya, ketertarikan Gus Noy pada tema puisi menampakkan keluasan minat pada hidup keseharian dan alam. Misalnya kita dapat lihat cara puisinya berkisah tentang seroja, bintang, alam semesta, waktu, buaya, banjir, tsunami, juga kopi. Tak hanya itu, Gus Noy pula menyentuh tema-tema sekaitan dengan profesi-profesi tertentu semisal paranormal, preman, professor, tenaga kerja di luar negeri, atau penyair.
Di luar itu pun ternyata terselip beberapa nama yang cukup menarik terkait puisinya, semisal Ernest Hemingway, Ernst Neufest, Chung A Thiam, hingga Umbu Landu Paranggi. Arif B. Prasetyo dalam sebuah esainya pernah membahas persoalan adanya “ilusi nama besar” yang mendera sejumlah penyair koh Indonesia. Bagaimana sebuah puisi seperti sedang mengabsen nama-nama besar tokoh dunia itu dan menggotongnya dalam baris-baris puisi, melimpah ruah memenuhi bait demi bait.
Namun saya tak melihat kecenderungan itu dalam puisi-puisi Gus Noy. Nama-nama besar tak ia gotong dalam puisinya untuk terlihat tampak gagah dan keren. Nama-nama yang ia terakan dalam puisinya hadir lebih terasa semacam ode. Coba simak puisi pendeknya berikut ini yang berjudul Ernest Hemingway dan Ernst Neufert bertitimangsa Yogyakarta, 2004: Simpan dulu dongeng-dongeng Ernest Hemingway/ Simak saksama rambu-rambu Neufert/. Puisi pendek sarat makna dan bermain-main pada wilayah pengucapan nama yang mirip namun berbeda, antara Ernest dan Ernst. Siapa tak kenal Ernest Hemingway? Agaknya hampir semua orang pernah mendengar nama sastrawan kahot asal Amerika ini. Tapi Ernst Neufert? Di luar kalangan disiplin arsitektur, tak banyak yang pernah mendengar nama arsitek kahot asal Jerman ini. Puisi seperti menegaskan arus ulang-alik Gus Noy sendiri dalam menyikapi aktivitas antara sastra dan arsitektur.
Juga ada puisinya yang berkisah tentang Chung A Thiam, sebuah puisi bertitimangsa Muntok, 2004, yang menguarkan bau imajinasi kita akan sejarah, timah, dan penjajahan Belanda. Puisi ode yang ditulisnya menyiratkan semangat persahabatan yang kuat dengan sesame penyair semacam Teguh Setiawan Pinang (puisi Bintang Jatuh) dan Thomas Sunlie Alexander (puisi Kota Kemplang).
Sekilas pintas cara ucap puisi Gus Noy cukup ringkas dan lugas namun tangkas, bernuansa lirik terutama dapat kita baca pada puisinya periode 1999 ke 2013. Namun periode 2013, pada puisi “Teluk Balikpapan”, Gus Noy bertutur lebih panjang serupa prosa naratif, atau semacam spokenwords yang bertubi-tubi. Kita simak puisinya: mungkin aku belum benar-benar berenang di teluk ini sehingga belum juga ketemu kata-kata kuat nan jalang nyalang selain minyak dan gas berpipa-pipa melilit pinggul grenma mathilda/kata-kata ombakmu dirompak pembangunan tanpa cetak biru, terumbu puisimu entah ke mana, bakau sajakmu semakin gelisah cemas, mungkin malah telah jinak jenaka menggeniti jablay senja yang bersolek lalu menyelinap di selangkangan remang-remang gedung dan pepohonan romusha setelah sembunyi dari intipan petugas tramtib di taman bekapai yang dilerai dari kilotujuhbelas dan manggarsari/…
Puisi tersebut jika kita baca, terasa bagai rentetan mitralyur metafor urban yang lancer walau hampir jatuh pada kecenderungan yang banal, namun saya kira, puisi Gus Noy masih berada pada batas antara yang banal dan yang jenial.
Agaknya rentang puisi-puisinya dalam periode 17 tahun itu memperlihatkan mobilitas puitika meski tetap berpijak pada kelugasan ucap, mengkin setingkat lebih tinggi dari diari, yang mencatat dan terus mencatat. Mayoritas puisi-puisinya bertitimangsa , Yogyakarta, Bangka Barat, Balikpapan, Kupang, Pulau Sabu hingga Sungailiat. Kota-kota acapkali memang memberikan mileu tertentu dalam penulisan puisi. Namun saya tertarik untuk mengutip kembali puisi satu-satunya dalam buku ini yang ditulis di Bandung bertitimangsa 2002. Sebuah puisi berjudul “Kembali dengan Kata” yang menegaskan peristiwa yang ia catat dan tegaskan sebagai seorang arsitek yang puitis.
Pertama/kudatang dengan segulung gambar/ mengembara di batagor Cisitu Baru/menganga menatap Bumi Ganesha/ menyambut Piala Dunia/ kedua/ kudatang dengan segepok kertas buram/ bergulung-gulung di Padalarang/menyusuri Cisitu Lama dan mengangai Bumi Sangkuriang menjulang/ dilewati nasi goreng naik gerobak malam/ berharap menetap dengan angkot ungu/ ketiga/ kudatang dengan sekotak pensil/ melerai rapido bergaris rumah/ demi liuk goyang garis-garis using/ di tempat yang berkawan lama/ keempat/ aku kembali tanpa kertas kecuali kata/ di Setiabudi yang tak dipercaya Nirwan Arsuka/ sebab kata-kata tak beradiasi nuklir/ biarlah kusimpan saja/ sekeranjang peuyeum/ agar pulang bersama Kartika Sari//
Kiranya, puisi tersebut menutup pembacaan saya pada buku Gus Noy ini, seraya berharap semoga buku puisi ini tidak tersesat di rak buku arsitektur di toko-toko buku dan perpustakaan, melainkan teronggok rapi pada rak sastra.[]
Judul Buku: Napak Tilas, Serumpun Puisi 1999-2016
Penulis: Gus Noy
Penerbit: Abadi Karya, Balikpapan
Cetakan 1: November 2016
Jumlah halaman: 132
ISBN: 978-602-98452-4-2