
Puisi Asep Suhendar
Bilah
Antara udara panas dan riuh senyum yang mampat di pelupuk umur hari-hari
Ada selembar rindu yang hilang di antara lipatan padang rumput
Di mana para manusia terbiasa berlibur setelah menghabiskan mabuk
Di hari raya kebahagiaannya
Musim mengering, kerontang dengan doa dan kenangan atas hujan
Yang asamnya likat di Sandrina, tepat di tengah pupil kecintaannya
Pada bulan yang lebam
Dihajar padang sabana yang menghinanya dari bawah jendela
Bilah wajahmu menyerta lahirnya biji pinus menjadi kitab suci
Yang membuat siklus ayat-ayat perdamaian menyibukkan diri
Membangun rumah ibadah tempat kita menyembah
Dan bercinta dengan penuh ikhlas
Tanpa tanya
Tanpa kata
Kau menjelma manusia yang senantiasa perawan akar-akar auranya
Pada angin, kau melantik diri sebagai pengatur hujan
Rongga 2015-2016
Semai
Biji sikka membelah diri sebagai rindu
Padamu yang baru saja meninggalkan wajah
Tanpa buluh dan lilin pelindung
Membiar air bergolak memecah perisai semai
Agar kecambah pada esok hari terlahir
Sebagai pembaca hati dan doa yang dilantun
Sore yang meminta jatah pelangi pada sandyakala
Bakal puisi ia cipta sebagai pengasuh
Pada hari-hari yang papa dengan nyanyianmu
Kau lupa dengan kutukan pada sebelah lisanmu
Di mana bunga emas kau tuduh sebagai lidah
Yang menyaru seperti Iblis yang menawar bangkai
Untuk dijadi lawang pada pintu pemujaan
Doa kau patahkan dengan amin dan jemprak
Tangan kau lipat merupa altar
Membasuh darah dari baji yang terluka
Karena berharap pada musim
Yang lalai dengan janji
Tentang angin yang subur
Menebar benih wajah lungkrahmu
Yang senantiasa pancaroba
Sampora 2015-2016
Adab
Sang raqim begitu setia menghantar para tuan
Bukan sebagai hamba yang lemah dengan iman dan canda
Melainkan sebagai rekan dalam peperangan
Melawan pebaiat nasib
Yang menyembah api sebagai budak abadi
Di pelataran istana pasir
Pantai yang rapuh,
Bibir yang melupa kodrat
Di mulut gua
Terkesiap, berhibernasi sebagai putri tidur
Menanti ciuman pangeran kebijaksanaan
Yang tahu makna sebuah parafrase
Dan kalimat patah, ditulah sumpah;
“Tak ada cinta selain cinta”
Sang Raqim tidak lupa sebagai diri dan anjing renta
Surga menanti
Buluh mengesiap dan memakan jatah rumput kambing tua
Di kandang tempatnya bercinta
Menanti bangun sebagai hamba
Yang lacur memucuk
Membenihkan gua
Menidurkan diri dalam sembahyang yang panjang
Rongga 2015-2016
Oktaf Satu
Pada akhirnya kau melahir arsitek peradaban
Di pagi ini
Memicing kata pada para perupa hujan
Yang meriuhkan mata kaca-kaca
Pemantul cahaya yang tembikar
Pengenang buih-buih peremah nasib
Pada bait lauhmahfudzh kau sisa arang
Bakal bakar para doa, dosa dan dupa-dupa
Yang sigap menapis sujud
Bakal tukar menakar riam istirjanya
Bukankah riuh kota
telah khatam di lupuk pandangmu?
Sehingga lorong-lorong musykil menjadi saksi
Para penasbih musim
Yang sumir kata
Yang parau lupa
Pada dimensi waktu yang kaca
Bukan salah penarik subuh
Jika doa gagal memungut perkamen malam
Memukat belikat di bulan pucat
Sebagai manik bulir perupa kenang-kenangan
Tetapi kegagalan akalmu
Dalam menafsir kitab mimpi
Di atas sajadah bisu
Aku lupa
Syahadah rindu yang tirus
Sedang,
Rupamu paripurna
Batulayang, 2017
Biodata penulis
Asep Suhendar, anggota ASAS, pernah menjadi ketua divisi kajian dan apresiasi di ASAS. Menulis puisi, esai sastra, dan pendidikan. Bisa dikunjungi di katalitera.blogspot.co.id. Email asepsuhe599@gmail.com.
Sorry, the comment form is closed at this time.
lukman a sya
bagai membaca isi kitab zabur, bolehlah
Rudy Aliruda
keren, kangen kamu, tis…