Menuju Ciseel, Sebuah Catatan Perjalanan
Kami sampai di Leuwicoo pada Sabtu (10/12/2016) petang. Hanya sampai di sini, mobil Suzuki Corsa tahun 1987 milik kang Heri Maja Kelana bisa mengantar kami menuju Ciseel. Sisanya harus kami tempuh dengan menumpang kendaraan roda dua.
Di Ciminyak, kami sempat berhenti untuk menghubungi guru Ubai untuk bertanya di mana mobil bisa diparkir dan dititipkan. Tak ada jawaban. Kang Dian Hardiana menunjuk ke arah bukit di depan kami, “Ciseel ada di antara dua bukit itu.”
“Berapa jaraknya dari sini?” tanya saya.
“Kang Ubai pernah mengukur jalan dari sini ke Ciseel. Katanya sekitar tujuh kiloan lah.”
Selain menghubungi guru Ubai untuk bertanya tentang parkir mobil, kami juga berharap akan ada motor yang sedia menjemput. Karena tak ada jawaban, saya dan kang Dian memutuskan untuk pergi berjalan kaki menuju Cangkeuteuk. Sementara itu, kang Heri dan Anisa Isti menunggu di mobil sampai jemputan tiba.
Mulanya saya sangat bersemangat untuk berjalan kaki. Apalagi dalam bayangan saya, jarak tujuh kilometer tak terlalu jauh. Mengingat suatu hari saya pernah berjalan kaki dari kampus Universitas Pendidikan Indonesia menuju rumah saya di Jalan Cikutra yang kira-kira berjarak sepuluh kilometer. Tapi ternyata itulah kekeliruan pertama saya.
Kami berjalan dengan penuh suka cita meski jalanan kian gelap setelah meninggalkan pemukiman di Leuwicoo. Tanjakan pertama dengan jalan berbatu kami lewati tanpa kesulitan berarti.
“Coba bayangkan kalau naik motor. Ngeri kan jalannya?” ujar kang Dian tanpa memperlambat ritme langkahnya yang cukup cepat. Saya mengangguk sambil membayangkan dibonceng motor melewati jalan yang buruk ini.
Gerimis dan gelap adalah komposisi yang sempurna untuk mengisi suasana horor. Tapi bukan itu yang menimbulkan rasa panik dan khawatir. Terlebih ketika melewati jalan mendaki yang seolah tak ada ujung. Saya harus menghentikan langkah untuk mengatur nafas sebanyak tiga kali. “Ayo, jangan kalah sama anak-anak sini,” ucap kang Dian mencoba menyemangati. Saya bahkan tak dapat membayangkan ada orang yang mampu menempuh jalan ini dengan kakinya sendiri.
“Berapa lama lagi sampai Cangkeuteuk?” teriak saya pada kang Dian yang berdiri jauh di depan. “Setengah jalan lagi lah.” Sepanjang ini baru separuh jalan, umpat saya dalam hati. Sungguh saya ingin memaki sekaligus mengutuk pemerintah daerah atau pusat atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur yang layak bagi masyarakat di daerah. Tapi itu akan sia-sia saja untuk saat ini.
Ratusan atau barangkali ribuan kunang-kunang berkelap-kelip di tengah pematang sawah. Syukurlah jalan mulai menurun dan mendatar. Andai jalan masih mendaki, barangkali kerlip kunang-kunang ditambah nyanyian jangkrik dan katak tak akan menghibur hati saya. Tapi jalan mendatar dan menurun lebih sedikit jumlahnya ketimbang jalan mendaki. Saya harus pandai-pandai mengatur nafas. Celakanya, kami lupa membawa bekal air minum.
“Di Cangkeuteuk, kita bisa minum dan minta diantar motor ke Ciseel,” ucap kang Dian. Saya hanya mengangguk dan tak berani membayangkan segarnya air yang akan melewati kerongkongan yang mulai kering. Sebab itu akan menambah lemas lutut saya. Gerimis masih turun, saya hampir tak mampu membedakan antara keringat dan air gerimis yang membasahi kening.
Kami sampai di Cangkeuteuk dengan harapan akan mendapat air minum. Tapi perkampungan ini telah sepi. Saya melihat arloji menunjukkan pukul 19.30. pantas saja sudah sepi, pikir saya. Tapi rasa haus mengalahkan rasa sungkan. Saya mengetuk salah satu warung yang sudah tutup. Sang pemilik membuka pintu dan tanpa basa-basi saya katakan ingin membeli sebotol air mineral. Pemilik warung yang ramah mengatakan bahwa mereka tak menjual air mineral kemasan, tapi dengan baik hati ia memberi kami air minum. Bahkan, mereka menyuguhi kami kopi.
Kami bercerita pada pemilik warung bahwa kami adalah rombongan dari Bandung yang akan mengikuti helaran Ciseel Day 6 Taman Baca Multatuli. “Oh pak guru Ubai,” jawabnya. Rupanya guru Ubai dikenal luas oleh masyarakat di luar Ciseel. Pemilik warung berinisiatif mencarikan ojeg yang akan mengantar kami sampai ke Ciseel. Tapi nihil. Jalan yang mendaki, berbatu, dan licin akibat gerimis akan menyulitkan. Terlebih kebanyakan motor di sini berpersneling otomatis.
Tak lama, ada rombongan Pencak Silat dari kampung sebelah lewat di depan kami. Jumlah mereka berempat dan akan berjalan kaki menuju Ciseel. Kami putuskan untuk berjalan bersama mereka. Kami harus segera sampai di Ciseel supaya dapat meminta bantuan untuk menjemput kang Heri dan Anisa Isti yang kami tinggal di Leuwicoo.
Setelah melewati kampung Cangkeuteuk, jalan benar-benar berbatu. Lebarnya pun hanya cukup untuk dilewati satu motor. Kami berjalan berbaris melewati jalan menurun dan mendaki. Sama saja, komposisi mendaki lebih banyak ketimbang menurun. Dan, terdapat jalan mendaki yang sangat panjang, melebih panjangnya tanjakan yang kami lewati sebelumnya.
Teman seperjalanan kami tak mengeluh akan jalanan yang mendaki, malah sesekali mereka mengajak kami bercanda tentang kondisi jalan yang tak pernah baik sejak republik ini merdeka.
Melihat tak ada tanda-tanda kelelahan dari teman seperjalanan ini, saya jadi segan untuk meminta berhenti untuk beristirahat barang sebentar. Kunang-kunang serta nyanyian jangkrik dan katak sudah tak menghibur lagi. Hanya selarik sajak Saijah mulai menyerang pikiran saya: Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Obrolan kang Dian dengan rombongan Pencak Silat sudah tak menarik minat. Saya bungkam dan membiarkan pikiran melayang ke manapun ia ingin pergi demi melupakan letih dan pegal yang sudah menyerang seluruh badan. Sekali lagi saya ingin mengutuk siapa saja yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur untuk masyarakat pedalaman, meski itu adalah hal yang sia-sia.
Rupanya di ujung tanjakan inilah Ciseel berada. Sayup-sayup mulai terdengar suara anak laki-laki yang sedang membaca sajak lewat pelantang suara. Dan, panggung rakyat helaran Ciseel Day 6 pun mulai nampak. Inilah Ciseel yang sebelumnya hanya saya kenal melalui foto, cerita dan tulisan guru Ubai.
Setengah percaya, saya dapat sampai di Ciseel dengan berjalan kaki. Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga dan mental tapi sungguh tak akan sebanding dengan perjalanan Taman Baca Multatuli yang bediri sejak tahun 2010 hingga hari ini.
Benar, seharusnya saya malu karena mengeluh. Padahal Max Havelaar berbahagia saat ditugaskan menjadi asisten residen di Lebak. Ia berbahagia sebab rakyat di sini miskin dan sengsara. Ia bersuka cita sebab dikirim ke tempat yang banyak pekerjaannya. “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam,” ujar Havelaar dalam pidatonya yang terkenal itu.
Guru Ubai menyambut kami dengan bersuka cita. Kang Sarif, ketua RT sekaligus rekan setia guru Ubai dalam membangun dan merawat Taman Baca Multatuli pergi menjemput kang Heri dan Anisa Isti yang kami tinggalkan di Leuwicoo. Dari rumah mertua kang Sarif saya memandang ke arah panggung, di mana anak-anak Ciseel menari dan membacakan berbagai judul puisi.
Membaca telah menjadi aktivitas rutin mereka. Cerita sejarah tentang Lebak yang dituturkan Multatuli sudah tertanam dalam ingatan mereka. Kisah penderitaan rakyat dan tempat asal mereka di masa lalu adalah bekal yang lebih dari cukup untuk menyongsong hari depan. Maka, saya kira tak muluk-muluk amat jika saya membayangkan anak-anak Ciseel akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang maju di masa depan. Seperti Multatuli, mereka juga akan mengangkat pena.
Mertua kang Sarif menawari kami untuk segara makan malam. Arloji menunjukkan pukul 22.00, artinya lebih dari dua jam kami berjalan kaki. Saya kemudian memeriksa celana dan syukurlah saya tidak mengompol, artinya kesehatan saya baik-baik saja. Dan, untuk pertama kalinya dalam satu tahun ini saya makan begitu lahapnya.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
lukman a sya
tulisan yang membuat saya bahagia setelah membacanya. mantap