Bubor Padas, Dari Sultan untuk Masyarakat Sambas
Kabupaten Sambas adalah salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat yang keberadaanya dibelah oleh Sungai Sambas. Di sini juga pernah berdiri keraton Kesultanan Sambas sejak abad ke-14. Selain menyimpan warisan budaya yang masih kuat, keraton Sambas juga mewariskan tradisi kuliner yang menjadi ciri khas masyarakat Sambas, makanan tersebut di kenal dengan sebutan bubor padas.
Proses pewarisan kuliner kesultanan Sambas tersebut tidak berjalan begitu saja, namun didorong oleh sebuah peristiwa penting yang dialami oleh Sultan Sambas di periode lampau. Alkisah, waktu itu sultan menderita sebuah penyakit yang disebabkan oleh berkurangnya nafsu makan. Seluruh makanan khas kerajaan telah dimasak dan disajikan kepada sultan, namun tidak ada satu pun makanan yang berhasil meningkatkan selera makan sultan.
Sampai pada satu waktu, salah satu pembantu istana diminta untuk membuat sebuah masakan yang dapat meningkatkan selera makan sultan. Tanpa dinyana, racikan makanan yang dibuat oleh pembantu tersebut disantap dengan lahap oleh sultan.
Selera makan sultan kembali seperti biasa. Lalu pembantu tersebut dipanggil oleh sultan dalam rangka mengucapkan terimakasih dan menanyakan nama sebuah daun yang terdapat dalam makanan tersebut. Pembantu tersebut tidak tahu nama daun tersebut.
Sebelumnya daun tersebut tumbuh liar di sekitar keraton. Untuk menghargai jasa pembantu tersebut sultan menamakan jenis daun yang ada dalam makanan tersebut dengan nama daun kesum. Sampai sekarang daun Kesum tersebut menjadi ciri khas makanan yang kemudian dikenal dengan sebutan bubor padas khas sambas.
Kata ‘bubor’ dalam bubor padas mengacu pada salah satu jenis makanan yang menjadi konsumsi kebanyakan masyarakat kita di pagi hari, yaitu bubur. Bubor padas ini mempunyai bahan yang sama dengan bubur seperti biasanya, yaitu beras. Hanya saja beras pada bubor padas tidak dihancurkan seperti bubur yang biasa dimakan. Beras pada bubor padas terlebih dahulu disangrai lalu ditumbuk kasar.
Tumbukan beras kasar tersebut lalu dicampur dengan berbagai dedaunan yang banyak terdapat di Sambas, dan tidak lupa daun kesum dimasukan sebagai identitas bubor padas. Setelah berbagai daun tersebut dicampur dengan beras tumbuk, campuran tersebut disajikan dalam mangkuk dan ditaburi oleh ikan teri goreng dan kacang tanah, lalu siap untuk dihidangkan.
Namun, kata ‘padas’ dalam bubor padas tidak mengacu pada kata pedas. Anggapan ini sirna di kepala penulis ketika menyantap bubor padas untuk pertama kali. Kesan yang pertama terasa adalah rasa gurih pada beras tumbuk kasar, disusul oleh rasa asam yang tak terlalu kuat yang berasal dari daun Kesum.
Pada suapan pertama yang gurih berpadu dengan suapan kedua yang asem. Jadilah di mulut terasa gurih asem. Setelah rasa gurih asam berpadu selanjutnya disusul oleh rasa asin dan gurih dari kacang tanah. Akhirnya, rasa gurih, asam, dan asin berpadu di mulut. Bagi penulis sensasi campuran tersebut belum lengkap jika belum ditambah dengan sambel cabe yang pedas. Menambahkan sambel cabe menjadikan rasa bubor padas semakin sempurna.
Beberapa abad setelah kisah Sultan Sambas yang penulis ceritakan di awal tulisan, bubor padas tidak lagi hanya menjadi makanan khas kerajaan. Kini bubor padas telah menjadi makanan khas masyarakat Sambas. Di setiap warung-warung yang sebagian besar sengaja dihadapkan ke Sungai Sambas tersedia hidangan utama berupa bubor padas.
Menikmati bubor padas di sore hari sambil ngobrol sesama kawan menjadi rutinitas harian yang warga Sambas. Bubor padas telah menjadi semacam identitas budaya masyarakat Sambas kekinian. Bahkan, tradisi memakan bubor padas di sisi Sungai Sambas telah menjadi semacam identitas kedua masyarakat sambas setelah tradisi ngopi.[]