Orang Indonesia di Gili Trawangan
Pertamakali menginjakkan kaki di kapal kayu di Pelabuhan Bangsal, sebuah pelabuhan kecil tempat kapal menuju Gili Trawangan bersandar, suasana Indonesia mulai terkikis. Sembilan puluh lima persen penumpang adalah orang asing. Selebihnya adalah orang Lombok yang hendak menengok saudara, nahkoda kapal, dan saya beserta istri. Tidak banyak percakapan terdengar, sekalipun terdengar percakapan bukan dalam Bahasa Indonesia, namun dalam Bahasa Inggris. Di kapal itu orang Indonesia terasa mulai jadi minoritas.
Gili Trawangan merupakan pulau terluar di antara tiga pulau kecil yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah Gili Trawangan, selanjutnya adalah Pulau Gili Meno yang berada di tengah dan Gili Air pulau yang berada paling dekat dengan perairan daratan Lombok. Bagi wisatawan mancanegara, tiga pulau tersebut merupakan destinasi penting setelah Bali. Tidak banyak wisatawan lokal yang memasukan tiga Gili dalam daftar destinasi penting. Salah satu indicator sederhananya adalah jumlah wisatawan lokal yang menuliskan pengalamannya ke tiga Gili itu masih berada dalam hitungan jari.
Suasana minoritas itu kembali terasa kuat setelah menginjakan kaki di Gili Trawangan. Mayoritas orang yang berlalu lalang adala orang asing. Sulit untuk menemukan wisatawan lokal berlalu lalang di jalanan. Orang Indonesia hanya di jumpai di kedal-kedai penjual jus buah, penjual souvenir serta agen-agen tiket. Namun keberadaan orang Indonesia tidak sedikitpun mengurangi perasaan menjadi minoritas.
Bahasa pengantar di Gili Trawangan adalah Bahasa Inggris. Penjual jus, souvenir, dan para agen tiket semuanya menggunakan Bahasa inggris. Semua orang terlihat fasih berbahasa Inggris. Bahasa Indonesia hanya sesekali dipakai ketika para pedagang itu bersendagurau dengan sesama pedagang yang seringkali dicampurkan dengan Bahasa lokal orang Lombok.
Selepas dermaga banyak didapati plang menuju tempat pemondokan. Tentu saja bukan Bahasa pemondokan yang digunakan. Sepertinya Bahasa pemondokan sudah lama tergantikan oleh kata Home Stay.
Masuk lebih ke dalam komplek pemukiman, suasana Indonesia sama sekali tidak menguat, justru malah sebaliknya. Sembilan puluh delapan persen di depan setiap rumah ada tulisan home stay. Sepertinya hanya masjid, mushola, toilet, warung makan dan toko saja yang tidak ditempeli tulisan Home Stay.
Untuk dapat menginap di puluhan atau bahkan ratusan home stay tersebut disarankan memesan terlebih dahulu melalui situs-situs penyedia pemesanan hotel. Jika tidak dipastikan wisatawan akan kesulitan mendapatkan home stay. Apalagi jika puncak musim liburan tiba. Hampir tidak tersedia kamar kosong dengan menggunakan sistem sewa langsung ditempat.
Beruntung, penulis menyempatkan diri untuk memesan kamar dari jauh-jauh hari. Ada berbagai banyak pilihan home stay dari mulai harga sekitar dua ratus ribu sampai paling tinggi satu juta untuk satu malam.
Penulis memilih kamar dengan bentuk rumah adat Suku Sasak, suku asli Lombok yang di kiri kanannya terdapat pohon pisang. Dengan pilihan tersebut, penulis berharap bisa menikmati ketenangan dan merasakan suasan lokal yang kuat.
Namun harapan itu segera sirna tatkala memasuki lingkungan seperti yang tertera dalam foto di situs pemesan kamar. Tidak ada orang Indonesia terlihat satupun yang berada di lingkungan tersebut. Di depan resepsionis yang juga dijadikan tempat minum berdiri satu orang yang sibuk meracik minuman dan berkata-kata dengan Bahasa inggris. Dentuman lagu hiphop dalam Bahasa inggris dari sound system yang dipasang memperkuat hilangnya rasa Indonesia di penginapan tersebut.
Namun akhirnya, ada juga orang Indonesia yang muncul. Laki-laki dengan kacamata muncul dari kamar yang dari tadi terbuka. Rupa-rupanya laki-laki tersebut merupakan petugas pembersih kamar di home stay tersebut.
Setelah selesai mengurus administrasi, si pemilik hotel segera memberi kami minuman selamat datang dan kunci kamar. Segelas es jeruk di tengah suasana Gili Trawangan yang asing sepertinya akan menjadi penyejuk bagi kami berdua. Namun lagi-lagi kami keliru, setelah didekat mulut aroma alkohol cukup kuat terasa. Sepertinya es jeruk tersebut ditambahkan semacam rum. Tentu saja minuman itu tidak jadi kami teguk. Kami bergegas mengambil kunci kamar.
Sedikit kekagetan kami sedikit terobati oleh suasana kamar yang nyaman. Angin sepoi-sepoi ditambah dengan aliran dari AC membuat suasana gerah menjadi sedikit lebih dingin. Kami mencoba mengingat perjalanan kami dari mulai menyeberang sampai dengan memasuki home stay ini.
Tidak ada yang salah dengan menjadikan Bahasa inggris sebagai Bahasa pengantar, tidak ada yang salah dengan penggunaan istilah dan kata-kata Bahasa inggris yang digunakan, tidak ada yang salah dengan es jeruk yang di campur dengan rum yang diberikan kepada kami. Kami merasa hal tersebut sebagai konsekuensi logis atas keberadaan wisatawan asing yang jumlahnya hampir seratus persen di Gili Trawangan. Namun di sisi yang lain, kami merasa bahwa kehadiran orang Indonesia di Gili Trawangan tidak memperkuat perasaaan bahwa kami sebenarnya masih berada di Indonesia.
Melihat hal ini kami lantas teringat dengan peribahasa sunda “jati kasilih ku junti”, sebuah peribahasa yang menggambarkan tergantikannya hal, budaya lama oleh budaya baru. Sepertinya di Gili Trawangan kami menemukan contoh nyata penerapan pribahasa itu.[]