Fb. In. Tw.

Tontonan Sahur

Entah sejak ramadan kapan, kita terbiasa menyaksikan tayangan televisi saat santap sahur. Sembari menatap makanan yang kadang kurang berselera itu, bersama keluarga atau teman, kita makan sahur dengan sedikit terkantuk-kantuk. Menjejalkan makanan ditemani acara-acara yang ditayangkan televisi secara langsung. Entah sejak kapan kebiasaan menonton seakan menjadi bagian dari makan sahur di bulan ramadan.

Saat sahur cukup banyak pilihan acara di televisi. Seperti; bincang-bincang dengan artis yang lebih dominan kuis daripada perbincangannya, komedi yang disajikan secara acak dan menghambur begitu saja yang tetap diselingi banyak kuis, atau bincang-bincang bersama seorang ulama atau ustadz membahas segala pelik persoalan hidup keseharian. Untuk yang disebut terakhir sedikit jumlahnya dan sepi peminat.

Acara-acara itu dimulai pukul dua dinihari hingga imsak tiba. Rata-rata berdurasi dua setengah jam. Acara yang secara maraton dipenuhi segala lelucon mulai dari hina-menghina secara fisik hingga pukul-pukulan. Saling menjahili satu sama lain. Lelucon yang berpusar pada kesengasaraan lawan main. Dengan begitu penonton diharapkan terhibur lalu tertawa tersaruk-saruk. Hilang kantuk, lapar terbit. Berharap penonton semangat bersantap sahur, semangat menjalankan puasa sehari penuh.

Pilihan untuk menghadirkan ragam lawakan dalam setiap acara sahur adalah pilihan taktis. Pilihan mudah nan sederhana. Berandai-andai penonton menyukainya. Dan memang mungkin penonton segala kalangan menyukainya. Dengan tertawa, secara tidak sadar penonton dituntut untuk tidak berpindah chanel, meski durasi iklan hampir menyamai acara itu sendiri. Penonton akan setia dalam menunggu. Bersiap menerima lawakan yang makin membuat terpingkal-pingkal.

Di sisi lain, pengisi acara bekerja keras. Para komedian silih berganti mengeluarkan jurus-jurus andalan. Mulai dari lelucon paling halus, sedikit menghina, hingga jahil secara fisik. Mereka mesti mengeluarkan segala kemampuan dalam melawak, setiap hari sebulan penuh. Mereka berusaha keras secara profesional untuk menghibur penonton. Tidak peduli mereka mesti make up sejak dini hari, kurang tidur, dikejar-kejar durasi iklan untuk makan sahur mereka sendiri. Keberlangsungan acara ditentukan oleh para komedian ini. Agar penonton tidak berpaling ke TV sebelah. Agar para komedian ini bisa ber-Lebaran dengan bekal yang lebih dari cukup.

Soal lain apakah tayangan seperti ini mendidik atau tidak. Tergantung orangtua bagaimana menyiasatinya. Soal lain apakah tayangan seperti ini bermutu atau tidak. Urusan Anda bagaimana cara mengambil hikmahnya. Dan juga soal lain apakah acara semacam ini merusak kesucian bulan ramadan. Sebab bukankah di bulan ini kita diharuskan untuk menahan haus dan lapar. Tidak akan menjadi persoalan jika kita mesti juga menahan tawa, bukan?

Dan jika Anda menyangka acara model ini ditinggalkan penonton maka Anda terlalu berbaik sangka.

Di daerah, di pelosok kampung-kampung acara ini penuh peminat. Di perkotaan, di pelosok gang-gang sempit acara model ini memiliki penggemar setia. Bahkan di kios dan warung-warung makan, acara semacam ini menjadi menu wajib sebagai daya tarik pengunjung untuk singgah dan berlama-lama. Sebuah fenomena, sebuah fenomena di bulan penuh berkah ini.

Entah sejak kapan acara televisi semacam ini merundung kita dan seakan menjadi bagian dari makan sahur itu sendiri.[]

 

 

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register