Beda Makanan, Beda Pikiran
Sebagai mahluk omnivora, manusia dapat mengonsumsi semua jenis makanan yang tersedia di bumi ini. Hanya karena beberapa alasan, manusia akhirnya memilih beberapa jenis makanan yang dapat dan tidak dapat atau layak dan tidak layak mereka konsumsi.
Alasan pertama adalah aturan agama. Secara umum, orang Yahudi dan muslim dilarang untuk mengonsumsi segala jenis binatang yang tidak berkuku belah dan tidak memamah biak. Hal itu sebenarnya juga berlaku untuk orang Kristen, hanya karena satu ayat dari 1 Timotius 4: 4 yang berbunyi, “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur.” Kebanyakan dari mereka—termasuk saya, menganggap semua yang tersedia di bumi ini dapat kita makan.
Padahal maksud ayat itu sebenarnya bukan untuk meniadakan aturan sebelumnya tentang makanan yang dapat dan tidak dapat dimakan, hanya ayat itu sering dijadikan pembenaran oleh kebanyakan orang Kristen—termasuk saya, untuk terus mengonsumsinya.
Apa sih, kok jadi melantur? Entahlah, saya juga sering bingung kalau sudah berhadapan dengan ayat-ayat itu.
Alasan kedua adalah alasan kesehatan. Saya punya pengalaman buruk dengan ini. Mendiang uwa (kakak bapak) saya “KO” setelah mengonsumsi gule dan sate kambing. Kita semua pasti sudah tahu bahwa daging kambing dan beberapa jenis makanan lainnya sebaiknya dihindari atau malah tidak dikonsumsi sama sekali oleh penderita penyakit tekanan darah tinggi, jika tidak mau bernasib sama seperti uwa saya itu.
Ya, beberapa orang memang tidak lagi dapat menikmati beberapa jenis makanan yang mereka sukai karena faktor kesehatan, sedih sekali mengetahui hal itu. Simpati besar untuk mereka.
Alasan ketiga adalah alergi dan trauma atau fobia. Untuk alasan ini, saya pernah mengalaminya. Saya pernah alergi makan udang. Saat pertama kali mengonsumsi udang, kulit saya gatal-gatal dan bentol-bentol, badan saya meriang. Lalu teman saya memberi obat alergi, sehingga untuk selanjutnya saya terbebas dari derita udang. Sekarang saya tidak perlu lagi mengonsumsi obat alergi setelah berkali-kali menyantap udang.
Untuk mereka yang tidak mengonsumsi jenis makanan tertentu dengan alasan trauma atau fobia, besar kemungkinan hal itu terjadi karena pernah punya pengalaman buruk dengan satu jenis makanan. Misalnya tersedak tulang ikan atau merasa jijik atau takut terhadap bentuk jenis makanan yang ditawarkan kepadanya.
Untuk alasan ketiga ini rasanya dapat diatasi dengan antibiotik dan terapi. Cobalah, itu tidak akan membunuhmu, Kawan!
Kemudian timbullah pertanyaan, “Adakah seseorang membenci beberapa jenis makanan yang tidak dapat dia konsumsi dikarenakan beberapa alasan itu?” Jawabannya tentu saja ada.
Pertanyaan berikutnya, “Adakah yang melakukan upaya untuk meniadakan beberapa jenis makanan tersebut?” Jawabannya mungkin saja ada. Tetapi sebelum upaya itu dilakukan, pikir ulang akibatnya terhadap keseimbangan rantai makanan di bumi ini.
Pertanyaan berikutnya, “Adakah seseorang membenci, menganiaya, atau bahkan membunuh sesama yang dapat mengonsumsi jenis makanan yang dia sendiri tidak dapat mengonsumsinya?” Jawabannya juga mungkin saja, hanya setelah itu akan timbul pertanyaan balik, “Seberapa waraskah pikiran orang itu?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin saja sudah terjadi dan terjawab dalam keseharian kita.
Dan jika ternyata sudah terjadi dan terjawab, saya berani beranggapan manusia-manusia yang melakukannya adalah makhluk yang tidak dapat memahami persoalan yang tengah dihadapi. Dan malah melemparkan persoalan ke pihak atau hal lain, bukan mencari pemecahan dari persoalan itu. Lebih dari itu, mereka sudah menjadi makhluk brutal yang tidak beda dengan binatang paling buas dan kejam.
Hal yang harus kita lakukan adalah menerima kenyataan bahwa kita tidak dapat mengonsumsi semua jenis makanan itu. Tetapi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengenyahkan jenis-jenis makanan yang tidak dapat kita konsumsi.
Beberapa dari kita memang dapat mengonsumsinya. Cukup beritahu teman atau orang yang menawari kita jenis makanan itu bahwa kita tidak dapat mengonsumsinya, mereka pasti mengerti dan memberi alternatif makanan lain.
Kalau mereka tidak mengerti dan tidak memberi alternatif makanan lain, ya, cari jenis makanan lain yang dapat kita makan. Jangan dibuat susah dan meradang. Apalagi sampai berteriak-teriak dan berbuat keji karena merasa tidak dihargai dan dihina.
Manusia sebagai mahluk omnivora yang dapat memakan segala jenis makanan, juga dikaruniai kelebihan lain, yaitu akal untuk berpikir. Dengan karunia tersebut, kita dapat mengolah jenis makanan yang dapat kita makan menjadi aneka makanan yang beradab dan berbudaya untuk kita makan. Selain, dengan karunia tersebut dapat digunakan untuk memecahkan banyak persoalan lain di luar urusan perut.
Seperti halnya jenis makanan, pikiran-pikiran dalam setiap kepala manusia pun beragam. Maka dari itu, beberapa manusia juga ada yang dapat dan tidak dapat memikirkan beberapa persoalan karena berbagai alasan. Seperti halnya soal dapat dan tidak dapat mengonsumsi semua jenis makanan.
Tetapi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membenci, menganiaya, apalagi meniadakan orang-orang yang dapat berpikir hal-hal yang tidak dapat kita pikirkan. Biarlah pikiran-pikiran itu ada dalam setiap kepala manusia.
Jika kalian anggap pikiran-pikiran itu tidak layak untuk dipikirkan, bicarakanlah hal itu baik-baik dengan mereka yang dapat berpikir seperti itu. Mudah-mudahan mereka dapat menerima dan mengerti. Tetapi jika mereka tidak dapat menerima dan mengerti itu, biarlah tetap seperti itu karena memang harus begitu.
Jadi apakah akan terus memaksakan pikiran kita karena beda soal minuman keras sebagai penyebab kekerasan seksual, soal gubernur non muslim, soal presiden, atau soal yang lebih remeh temeh dari itu? Bukankah selalu ada alasan untuk menerima atau tidak menerima pikiran orang lain?
Tabik saya untuk kalian.[]