Bourdieu dan Liburan di Minggu Awal Mei
Memperingati dua hari libur nasional yang saling berderet, 5 dan 6 Mei, kita dihadapkan dengan libur panjang. Sebab, dua hari tersebut tepat melengkapi libur akhir pekan. 5 Mei yang jatuh hari kamis, memperingati kenaikan Yesus Kristus dan Isra’ Mi’raj, sementara 6 Mei masih dalam rangka libur Isra’ Mi’raj. Dan kita sama-sama tahu, akhir pekan yang cukup panjang menanti di minggu awal Mei. Lalu apa yang biasanya dilakukan orang-orang?
Pertanyaan di atas memang begitu acak. Saya mungkin bisa berspekulasi, bila kebanyakan orang memilih liburan (kecuali bagi orang-orang yang bekerja di akhir pekan). Atau setidaknya meluangkan waktu untuk bersantai sejenak dari rutinitas yang melelahkan.
Apalagi, telah banyak disediakan berbagai fasilitas dan media demi memenuhi waktu bersantai. Misalnya, kita bisa pergi ke bioskop untuk menyaksikan hal yang awal-awal ini booming, AADC 2. Dan hal yang paling sederhana untuk menghadapi libur panjang awal Mei ini adalah berangkat ke bioskop kesayangan anda, mengantre tiket (atau menukar bukti transaksi tiket yang sudah dipesan) dan menyaksikan pemutaran film bersama orang-orang tersayang.
Jika bioskop kurang begitu menarik, biasanya para petualang akan menghadapi akhir pekan dengan menjelajahi tempat-tempat yang lebih eksentrik. Naik gunung atau sekadar jalan-jalan ke tempat yang jauh dari keramaian kota. Akhir pekan yang panjang telah memberikan penawaran menarik untuk melarikan diri kejemuan-kejemuan pekerjaan.
Saya memilih kata ‘menghadapi’ ketimbang ‘menikmati’ liburan. Sebab kata itu, bagi saya, seakan mewakili suatu keadaan di mana saya akan mendapatkan kenyataan semu sesaat. Dan saya akan mengulanginya terus menerus.
Katakanlah, bahwa saya mahasiswa yang sibuk berorganisasi dan mengerjakan tumpukan tugas menjelang UAS. Atau saja saya pekerja kantoran yang pergi jam setengah 7 pagi dan pulang jam 5 sore, bila tidak lembur. Saya akan memilih untuk mengefektifkan akhir pekan yang panjang tersebut. Bahkan cukup tahu saja bahwa ‘itu libur apa’.
Menghadapi libur panjang merupakan pekerjaan baru bagi orang yang memang bekerja di akhir pekan dan orang yang meluangkan waktu untuk rehat dari rutinitas. Mungkin agak membingungkan, namun bila saya sedikit menyebut nama Bourdieu, sosiolog, antropolog dan filsuf Perancis untuk menjelaskan ‘pekerjaan baru’ tersebut. Menurut Bourdieu selera dibentuk secara sosial dan sekaligus menjadi pembeda status sosial. Selera yang hendak saya refleksikan adalah cara menghadapi akhir pekan. Bourdieu mengungkapkan lebih dalam mengenai selera dalam A Social Critique of the Judgement of Taste translated by Richard Nice (1979).
Bourdieu dan Pilihan Selera
Pierre Felix Bourdieu, atau Pierre Bourdieu merupakan Professor Sosiologi di College de France, Paris. Bukunya Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste merupakan terjemahan dari La Distinction: Critique sociale du jugement. Bourdieu banyak mengadopsi pemikiran Marx mengenai kelas sosial. Bourdieu mengembangkan kerangka teoritisnya berdasarnya strukturalisme. Namun ia menolak analisis strukturalisme yang menghilangkan proses sosial sebagai dinamika kehidupan. Sebagai sosiolog, ia mengupayakan bahwa struktur sosial adalah titik awal bagaimana minat dan selera individu terbentuk.
Jika tadi saya memberi dua contoh kemungkinan acak, ketika orang-orang menghadapi liburan. Maka kemungkinan itu menurut Bourdieu telah dibentuk oleh ‘hal yang begitu kompleks’. Menurutnya, selera seseorang dibentuk hampir di luar kontrol individu. Seperti ada hal yang bergerak di bawah kesadaran, yang mendorong seseorang untuk menghadapinya. Hal tersebut terbagi menjadi habitus, kapital, dan field.
Habitus secara singkat merupakan seperangkat persepsi dan tindakan pembuatan watak individu. Habitus seseorang terbentuk berdasarkan proses pengajaran dan pengasuhan. Juga dipengaruhi asal-usul keluarga dan kelas sosial.
Lebih jauh lagi, Habitus memiliki dua sisi yang menarik. Satu sisi ia (habitus) merupakan struktur pembentuk tindakan, yang menentukan selera. Lain sisinya, ia menjadi struktur yang dibentuk oleh pilihan selera seseorang. Singkatnya, perbedaan dua sisi habitus adalah sebagai ‘yang membedakan selera’ dan ‘yang menguatkan selera’.
Selain habitus, selera pun dipengaruhi oleh kapital. Kapital yang dimaksud Bourdieu terbagi ke dalam kapital sosial (kerabat, teman, jaringan), kapital budaya (pendidikan, kecerdasan), dan kapital simbolik (jabatan, titel, penghargaan).
Selera juga dipengaruhi oleh field atau ruang sosial. Ruang sosial merupakan tempat sosial seseorang berada. Ruang sosial seseorang terjadi melalui proses interaksi antara habitus dan kapital yang dimiliki individu.
Seandainya saya seseorang pekerja kantoran yang kerap dikejar tenggat waktu dan menggemari film. Saya akan menghadapi akhir pekan yang panjang dengan menonton ke bioskop. Kesibukan pekerjaan akan larut, setidaknya dengan kepuasan saya menonton film. Apalagi, jika seandainya saya punya pengamalan-kenangan manis dengan film yang empatbelas tahun lalu sempat menggemparkan. Mengantre tiket selama berbelas atau berpuluh menit akan menjadi hal yang menarik, bukan hal yang menjengkelkan. Mengantre akan menjadi keseruan baru. Dan itulah pekerjaan baru yang harus saya lakukan.
Libur untuk Siapa?
Saya kira, setelah sedikit mencermati Bourdieu, akhir pekan yang kita hadapi bukan semata-mata seperti oase yang terbentuk secara kebetulan. Melainkan terdapat stuktur yang mengakar, yang menyerang alam bawah sadar, agar kita dapat menyebutkan bahwa oase tersebut benar-benar segar.
Penciptaan fasilitas publik dan berbagai alat penunjangnya menjejali selera kita dengan berbagai penawaran, yang entah mengapa, kita sepakati. Semisal kamera. Apa artinya liburan tanpa kamera? Belum puas dengan itu, kita seolah harus mengunggahnya ke media sosial.
Apa yang terjadi? secara sadar atau tidak sadar, kita memerlukan kuota internet untuk sekadar mengunggah dan mendapatkan lambang hati atau emoticon (sebagai bentuk untuk mendapat perhatian orang lain). Dan sebagai orang yang cukup daif untuk itu semua, saya melakukannya dengan kesadaran yang dipermainkan.
Sebagai contoh kecil masyarakat modern, saya mau tak mau menghadapi akhir pekan dengan bijak. Mengatur jadwal berpergian, ongkos dan risiko lainnya. Pergi ke bioskop saja, saya memerlukan ongkos (walau sekadar biaya parkir dan bensin), biaya beli tiket, beli cemilan atau sekadar makan sesudahnya.
Benar-benar kompleks. Tapi, mungkin memang itulah liburan. Ada kesenangan yang tidak perlu diukur oleh nilai. Lama atau singkatnya waktu, setidaknya telah melarikan diri kita ke ruang yang katanya menyenangkan. Lantas hari libur itu memberikan waktu agar kita mengumpulkan kejenuhan (dan biaya tentunya) untuk kembali menunggu, kapan si tanggal merah itu hadir.
Hari libur dan orang-orang telah seperti saudara jauh, yang akan merindukan satu sama lain. Hari libur yang merindukan orang-orang untuk mengabiskan biaya, dan orang-orang yang merindukan hari libur untuk mendapatkan kesenangan. Maka kalau boleh menyitir dan mengadatasi pertanyaan Rendra, hari libur saudara untuk siapa? Lebih spesifik untuk awal Mei ini, apa hari libur saudara untuk menghargai hari Kenaikan Yesus Krististus dan Isra’ Mi’raj-kah?[]