Fb. In. Tw.

Menghindari Kekerasan

Saya berusaha keras menghindari televisi. Meski usaha keras itu kerap kalah oleh siaran langsung pertandingan sepakbola yang menayangkan Persib Bandung dan Liverpool FC bertanding. Seperti kini, meski tak punya televisi, saya tetap rela untuk menyaksikan pertandingan dua klub kesayangan secara streaming di internet menggunakan laptop Fujitsu saya.

Alasan saya menghindari televisi cukup sederhana, saya sudah tak tahan dengan kekerasan yang ditampilkan oleh sejumlah stasiun televisi, meskipun itu dalam bentuk berita. Hampir setiap stasiun televisi senang mengulang-ngulang berita yang sama hingga beberapa kali, apalagi jika berita itu dianggap mengandung unsur yang mengundang empati.

Misal, kericuhan di Jakarta yang melibatkan oknum sopir taksi Bluebird dengan pengendara Go-Jek pada 22 Maret 2016 lalu. Dari siang hari sampai malam, saya yakin, kericuhan imbas dari aksi massa sopir taksi itu berkali-kali ditayangkan kepada Anda sekalian yang memiliki dan menyalakan televisi.

Nah, berapa kali imaji visual kekerasan itu tampil lalu terekam dalam memori Anda? Saya sendiri, yang sempat melihat gambar seorang pengendara Go-Jek—yang terjatuh di aspal, diterjang seseorang berbaju merah, dan dikelilingi orang-orang berseragam sopir taksi yang seperti akan menyerangnya juga—masih ingat dengan jelas tanpa harus melihat fotonya lagi di internet.

Itu baru gambar statis, tanpa gerak dan tanpa suara. Tapi dampaknya masih terasa mengerikan bagi saya sampai saat ini. Seperti itukah manusia hari ini menyelesaikan persoalan hidup?

Bukan tak mungkin, kebiasaan menyaksikan berita kekerasan dapat menyebabkan seseorang berprilaku seturut apa yang biasa disaksikannya. Karena memori kekerasan yang terekam dalam otak dapat muncul kembali, lantas secara impulsif mendorong seseorang melakukan kekerasan lain.

Begitulah, bukankah kita sendiri selalu begitu heran, dengan orang-orang yang tergabung dalam sebuah ormas yang mengatasnamakan agama, tetapi selalu bertindak dengan jalan kekerasan yang tak disarankan agama mana pun. Mereka seolah tak mampu lagi mengendalikan keimanan dalam diri mereka untuk tak berbuat kekerasan.

Sehari setelah aksi massa sopir taksi di Jakarta, pada 23 Maret 2016 di Bandung, sekelompok orang yang tergabung dalam forum yang mengatasnamakan umat Islam mendatangi Mainteater, sebuah kelompok teater yang akan mementaskan monolog. Mereka mendatangi lokasi pentas bukan untuk menonton tapi memaksa pementasan monoloh dibatalkan.

Penyebabnya, Mainteater hendak mementaskan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” di auditorium IFI Bandung. Forum tersebut mengancam akan mendatangkan lebih banyak massa mereka dan membubarkan paksa jika pentas tetap dilaksanakan. Lantaran pementasan yang menampilkan biografi Tan Malaka itu dianggap menyebarkan paham komunis.

Demi alasan keamanan, pihak IFI Bandung yang gedungnya menjadi tempat pementasan terpaksa membatalkan pementasan pada hari Rabu itu. Pembatalan itu dilakukan untuk menghindari kekerasan yang mungkin saja terjadi jika ancaman forum itu sungguh-sungguh.

Beruntung, keesokan harinya pentas Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” dapat dilaksanakan, karena ada jaminan keamanan dari Wali Kota Bandung. Pentas monolog sukses digelar dua kali dalam sehari pada 24 Maret 2016, masing-masing pada pukul 16.00 dan 20.00 WIB.

Pengamanan untuk pentas itu cukup ketat, dilakukan oleh Kepolisian dan TNI. Bahkan, menurut informasi dari kru buruan.co yang datang langsung ke tempat pementasan, beberapa Ormas non-keagamaan juga turut membuat barikade di luar gedung pementasan.

Barangkali, mengindari kekerasan—dalam berbagai bentuknya—hari ini menjadi perkara yang cukup sulit, ketimbang menikmati secangkir kopi sambil membaca sebuah novel yang di dalamnya terdapat sebuah kisah seorang martir membunuh seorang rektor universitas di toko kue.

KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register