Religiositas, Estetika Instalasi, dan Parodi dalam Puisi-puisi Afrizal Malna (Bagian 2)
Ketertarikan saya terhadap puisi-puisi Afrizal Malna bermula tahun 1997. Di sebuah toko buku di Bandung, saya menemukan buku dengan desain sampul menarik berjudul Arsitektur Hujan. Awalnya saya tidak yakin buku tersebut adalah kumpulan puisi. Ditambah lagi dengan sebuah insiden, petugas toko keliru menaruh buku tersebut di rak arsitektur. Jika dibaca sekilas, memang sangat mirip dengan prosa, hanya saja lebih pendek durasinya.
Pembacaan saya terhadap buku ini terus berlanjut, berhari-hari, berulang-ulang. Sebelum saya tidur, saat waktu senggang di koridor masjid, di dalam bus, atau di sela-sela tamasya. Pikir saya saat itu, buku puisi ini agak menakjubkan hingga muncul pertanyaan dalam benak. Buku puisi kok memakai indeks yang tebalnya hampir sepertiga halaman keseluruhan buku.
Belakangan saya tertarik pada Dadaisme. Sebuah gerakan kesenian di Eropa pada awal abad ke-20. Secara interteks, pikiran-pikiran Afrizal Malna dalam puisinya agak sinkron dengan beberapa konsep Dada. Hingga pada tahun 1999 saya mendapatkan buku puisi Afrizal Malna berikutnya, Kalung dari Teman.
Banyak yang menuduh bahwa puisi-puisi Afrizal Malna mewakili situasi masyarakat yang postmodern, yang paradoks, hedonis, dan materialis. Namun pembacaan saya justru sebaliknya, bahwa Afrizal Malna, juga memiliki ketertarikan dalam mengangkat persoalan religi dalam puisinya. Misalnya pada puisinya yang berkisah tentang tragedi kemanusiaan di Balkan “Sebuah Koran dari Fikrata Hadzovic”, dan puisi yang berziarah ke masa silam, Raja Ali Haji dan Melayu, Gurindam Dua Belas, dan masa-masa sekarang. Pewaktuan yang absurd dan surealis ini mengingatkan saya pada film Back To The Future.
***
Afrizal Malna adalah sebuah penanda bagi karya sastra berkualitas. Paling tidak ia telah menulis karya sastra dalam bentuk puisi dan cerpen, naskah drama, esai, dan belakangan novel. Namun sepanjang pengamatan saya yang paling menonjol darinya adalah cara dia menulis esai dan puisi.
Saya sempat menduga bahwa dalam menuliskan puisi-puisinya, Afrizal mempraktikkan sebuah penulisan otomatis (écriture automatique), sebuah metode penulisan yang banyak digunakan Andre Breton dan kawan-kawannya pada gerakan seni Dada dan Surealisme Perancis. Dugaan awal saya didasarkan pada pola puisinya yang nirbait. Khususnya pada Arsitektur Hujan (1995) dan Kalung dari Teman (1999).
Gaya penulisan otomatis sebenarnya dikembangkan di Perancis oleh kaum surealis bidang sastra, salah satunya adalah Andre Breton yang menjadi bagian dari gerakan kesenian yang pernah heboh di Eropa: Dada. Keterkaitan dengan Dada ini bukannya tanpa alasan. Beberapa puisi yang ditulisnya pada tahun 80-an secara khusus mengarah pada pemilihan diksi Dada secara berulang. Konsep dasar seni menulis otomatis adalah menggabungkan unsur kesadaran dan ketaksadaran secara sekaligus dan menuliskannya secara spontan.
Afrizal Malna dengan puisi-puisi sebagai paspornya, layak menjadi pemimpin literer sastra Indonesia pada masanya, setidaknya pada titimangsa tahun 2000 dan setelahnya—walaupun sejak tahun 80-an dan 90-an Afrizal telah berproses menulis puisi. Gejala ini sempat disebut oleh beberapa kritikus sebagai Afrizalian. Sayangnya, sepanjang pembacaan saya terhadap esai-esainya, Afrizal tak pernah secara khusus membahas gejala ini.
Apakah puisi Afrizal terasa aneh dan asing?
Puisi Afrizal barangkali termasuk golongan puisi Indonesia mutakhir yang pernah disebut Gus tf sebagai rumit dan membingungkan. Namun benarkah demikian? Apalagi Gus tf menyimpulkan bahwa kita kurang mau menyediakan waktu untuk melakukan studi tentang pergulatan kepenyairan terdahulu. Sekali lagi benarkah kesimpulan itu? Kesimpulan tersebut bisa terbantahkan bahkan gugur di hadapan Tadjuddin, bahwa sesungguhnya pola persajakan Afrizal Malna dekat dengan pola persajakan Chairil Anwar dengan berbagai dekonstruksinya[i].
Bagi saya sendiri, puisi Afrizal memiliki corak yang khas, yang sepertinya dibentuk dari proses yang panjang, yang tidak tergesa. Para pengikut corak kepenulisan puisi Afrizal yang biasa disebut Afrizalian dianggap gagal. Hal ini dilontarkan oleh Joko Pinurbo seraya menambahkan bahwa kegagalan para Afrizalian terletak pada ketiadaan kesiapan konseptual dan teknis.
Hal yang menarik dari puisi-puisi Afrizal Malna adalah keberhasilannya dalam melepaskan diri dari kemampatan bahasa. Ini merupakan kecenderungan yang umum dari puisi Indonesia dalam sejarahnya yang masih pendek. Lebih lanjut Joko Pinurbo mencontohkan Acep Zamzam Noor yang dengan puisinya kembali ke alam untuk menemukan kembali bahasa yang cerlang dan sensuous. Pada Afrizal Malna yang terjadi sebaliknya, yakni secara berani melakukan avontur terhadap dunia kota untuk menjumpai manusia urban yang menggigil dan tersuruk-suruk di antara orang-orang ramai yang mulai belingsatan diterpa gelombang industrialisasi dan teknologisasi—secara praksis, Afrizal Malna memang terjun ke dalam dunia orang-orang marginal bersama Konsorsium Kaum Miskin Kota.
Imaji dalam puisi-puisi Afrizal adalah imaji-imaji perkotaan, dan ia dengan baik mampu mengeksplorasinya, melukiskan saat rawan yang dihadapi manusia dan masyarakat yang bergulat dengan proses transformasi sosial dan kultural. Hal ini bisa dilihat dalam puisi “Mitos-mitos Kecemasan”.
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat kami merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. Burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota
Negeri kami menunggu hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang. Seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.[ii]
1985
Dalam perkara estetika puisi-puisi Afrizal, Agus R. Sardjono[iii] menyodorkan istilah estetik instalasi, yang pembicaraan mengenai hal ini masih terbatas. Di sini Afrizal mengusung estetika tersebut yang memperlakukan kata sebagai benda, dengan segala temuan, kelemahan, serta kelebihan serta implikasinya bagi bangunan sastra Indonesia. Sebetulnya seni instalasi tak hanya ada pada sastra, malah sebenarnya tahun 90-an pun marak pada karya seni rupa.
Estetika yang ditawarkan Afrizal Malna sebenarnya cukup menjanjikan dan memberikan alternatif. Suryadi[iv] mensyaratkan dua faktor yang mendukungnya. Pertama, konstelasi sosio-politik semasa. Kedua, dukungan dunia cetak-mencetak dalam menyosialisasikan temuan estetika baru itu dan mengapungkannya sebagai wacana umum (polemik). Faktor kedua inilah yang kemungkinan besar dapat membelokkan perhatian tradisi sastra sebelumnya.
Afrizal Malna sendiri, seperti yang pernah dikutip oleh Ahmad Nurullah[v], berkata: “Aku seorang penyair dalam puisi lebih merupakan biografi teks dibanding biografi seseorang. Puisi sebagai karya seni lebih merupakan teks yang terbuka terhadap tindak pembacaan, dan terlepas dari pribadi pengarang.”
Lain lagi pendapat Nur Zain Hae[vi] dalam memandang kekaryaan Afrizal Malna ini, selain Acep Zamzam Noor dan Gus tf, ia adalah sastrawan yang melakukan pergulatan estetika pasca Sutardji Calzoum Bachri. Mereka ini sebenarnya telah muncul pada awal tahun 1980-an. Estetika puisi Afrizal memang fenomenal. Munculnya gejala Afrizalian[vii] yang merundung puisi Indonesia. Estetika puisi Afrizal ini pernah dipermasalahkan dalam polemik “Puisi Gelap Versus Puisi Terang”. Polemik itu mengesankan beberapa hal tentang estetika puisi ala Afrizal yaitu terkesan rumit, ada familiarisasi benda-benda, dan rumah yang dipercayai kembali. Puisi yang ditulis Afrizal seakan tidak dihasilkan di jalan-jalan ramai yang penuh pamflet, tetapi di rumah dan di kamar mandi.
Dalam sastra Indonesia kontemporer, Afrizal Malna diletakan bersama Seno Gumira Adjidarma dan Ayu Utami. Jika indikatornya adalah estetika, maka hal ini memunculkan sebuah pertanyaan tentang angkatan sastra pada dekade itu. Salah satunya adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Nur Zain Hae, dengan argumen yang menyoal pada perbedaan karya mereka dengan generasi sebelumnya. Pada Afrizal, konon ia dianggap piawai menggagas estetika baru, menyusun kredo dan menjelaskan generasinya, tetapi ia disebut memiliki problem terhadap sosialisasi puisi-puisinya.
Isu mengenai adanya keseragamn oleh para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 80-an dibenarkan pula oleh Edy A Effendi[viii] yang menuduh bahwa Afrizal Malna termasuk yang memprakarsai dan ikut serta dalam menanamkan benih keseragaman dalam menciptakan puisi. Dalam penulisan puisi Afrizal dianggap ikut serta mempola “ideologi baru”.
Puisi-puisi Afrizal Malna dengan segenap keistimewaannya seringkali ditinjau dari dan dinilai dengan konvensi dan estetika yang justru ingin ditolaknya. Hal ini dinyatakan oleh Agus R. Sardjono dengan pijakan telaah yang dilakukannya atas puisi-puisi awal Afrizal Malna, Abad yang Berlari, yang menunjukkan pergumulan penyair dengan estetika persajakan yang ada sebelumnya dan mencoba meluncur ke luar daripadanya.
Ketika polemik angkatan sastra Indonesia terkini muncul pada 1998-1999, Korrie Layun Rampan[ix] menulis bahwa pemberontakan estetik angkatan kesusastraan ini dilahirkan dari rekaman tragedi-tragedi kemanusiaan yang getir. Peristiwa kehidupan dan fenomena aktual dinyatakan dengan cara ucap yang baur dan cemerlang di tengah pembisuan massal yang memekakkan nurani. Impresi diam, metafor giris, simbol yang obscure, realisme hitam, dan determinisme nasib mengambil bagian utama tema kebangkitan angkatan sastra ini.
Korrie Layun Rampan menganggap Afrizal Malna sebagai pemimpin literer puisi dan pemikir sastra dekade 1990-an. Puisi-puisi Afrizal secara monolit merupakan puncak pencapaian bahasa dan pengucapannya. Wujud wawasan estetik angkatan 2000, istilah yang disodorkan Korrie tersebut adalah pembaruan yang dilakukan Afrizal.
Pembaruan yang dilakukan Afrizal, seperti yang ditunjukkan oleh Rampan adalah dengan melakukan perbandingan terhadap struktur puisi Chairil Anwar dan Sutardi Calzoum Bachri yang dianggap sebagai arus utama perpuisian sebelumnya. Pada puisi Chairil Anwar, larik terikat dalam kesatuan sintaksis yang memolakan bait dan sebagai korespondensi yang selesai. Pada puisi Sutardji, larik merupakan kumpulan enjambemen yang menghubungkan antarsintaksis-antarkata-terhimpun dalam bait yang hampir selalu tidak selesai. Pada puisi Afrizal, larik bersifat netral karena tersusun dalam bait yang sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak dapat dibalik secara sungsang. Kedudukan fungsi larik sama dengan bait, karena larik merupakan bait. Hal ini merupakan temuan estetik Afrizal dalam bentuk tipografi. Dengan revolusi tipografi ini Afrizal mengubah arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga akhir bait ke arah komunikasi kata per kata dalam sajak. Demikian kira-kira hasil analisis Korrie.
Pembaruan lain yang dipelopori Afrizal lainnya adalah cara ia memilih kata sebagai materi puisinya. Ia memilih kata dari lingkungan sehari-hari. Kemudian temuan peran “aku lirik” yang bergeser pada benda-benda. Estetika benda-benda itu dengan sifat massal dan manusia bertemu dalam interaksi massal, seperti yang termaktub dalam kredo pada buku puisi Arsitektur Hujan[x]. Estetika benda-benda atau estetika massal ini adalah penemuan unik dalam sejarah sastra Indonesia. Bahwa sumber keindahan berada di tengah massa, sehingga bagi Afrizal yang terpenting bukanlah biografi “aku lirik” melainkan biografi teks.
Afrizal berhasil menghidupkan benda sebagai persona yang melahirkan antropomorfisme, sebagai wacana baru dalam wacana antarsubjek. Impresi puisi-puisi Afrizal tampak kuat dari penampakan dunia seni rupa terutama seni instalasi, seperti mengisi ruang kosong dengan benda-benda dalam bentuk kata-kata instalatif dan sintaksis yang kompleks. Menulis puisi bagi Afrizal seperti membuat instalasi gambar-gambar dan benda dengan latar layar hitam[xi]. Menulis puisi kemudian merupakan tindakan defamiliarisasi teks dari lingkungan wacana yang membentuk dan menempatkan benda-benda itu dalam rumah tangga semantik tertentu, misalnya apel biasanya diletakkan bersama setan dan ular dalam wacana pengusiran Adam dari surga, atau setiap kerusuhan pada masa Orde Baru cenderung diletakkan dalam wacana segitiga antara SARA, pengkhianatan komunis, serta kesenjangan sosial ekonomi.[xii]
Kembali pada tipografi puisi Afrizal yang unik dengan penampakan prosa, rata margin kiri dan kanan, sehingga puisi tidak terdiri dari bait dan larik. Ini merupakan ciri yang lebih esensial dibandingkan dengan tipografi, seperti yang pernah diduga sebelumnya oleh Agus R. Sardjono. Diksi kata-kata yang dipilih Afrizal disertai fungsi puitik yang unik. Benda-benda modern lebih tepat disebut fenomena urban, bukan saja dibicarakan tetapi masuk ke dalam puisi, demikian tulis Pitres Somowadile.
Namun ternyata estetika Afrizal tak hanya instalasi. Ribut Wijoto menyebutkan bahwa puisi-puisi Afrizal banyak menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi, misalnya puisi “Chanel OO”. Setidaknya kita temukan bahwa Afrizal menerapkan estetik instalasi dan parodi.
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
1983
Meski demikian Afrizal tak melupakan tema-tema religiositas, seperti dapat kita baca pada dua puisinya berjudul “Sebuah Koran dari Fikrata Hadzovic”, dan “Buku Harian dari Gurindam Duabelas”.[]
[i] Tadjuddin.1997.Kepenyairan dan Kemiskinan Spiritual.Jakarta:Republika, 19 Oktober 1997.
[ii] Afrizal Malna.1999. Kalung dari Teman. Jakarta: Grasindo.
[iii] Agus R. Sardjono.1996. Di Tengah Keluarga Sastra yang Brokenhome. Jakarta: Horison, November 1996.
[iv] Suryadi. 1998. Catatan untuk Calon Suksesor. Jakarta: Media Indonesia, 26 April 1998.
[v] Ahmad Nurullah. 1998. Puisi, Antara Kesunyian dan Orang Ramai. Jakarta: Media Indonesia, 17 Mei 1998.
[vi] Nur Zain Hae.1998. Sihir Politik: Angkatan Sastra Kita. Jakarta: Republika, 6 September 1998.
[vii] Afrizalian adalah istilah yang disematkan para pengamat sastra untuk sejenis penyair yang menulis puisi bergaya dan estetika ala Afrizal Malna.
[viii] Edy A Effendi. 1998. Angkatan Sastra: Resume yang Menyesatkan. Jakarta: Republika, 4 Oktober 1998.
[ix] Korrie Layun Rampan. 1999. Wawasan Estetik Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (bagian ketujuh). Jakarta: Republika, 17 Januari 1999.
[x] Afrizal Malna.1995. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Bentang.
[xi] Lihat “Rasionalisasi atas Pengalaman Kreatif” dalam Afrizal Malna. Kalung dari Teman. Jakarta: Grasindo. Hal.126.
[xii] Lihat Afrizal Malna, ibid., hal. 134.
Sorry, the comment form is closed at this time.
lukman
menunggu kelanjutannya.saya menduga soalnya ini tulisan ko masih semacam tinjauan pustaka skripsi ya.analisis atau kajian atau bacaan khas penulis yang cerdas belum kelar (keluar).sabar.