Fb. In. Tw.

Euforia Bahasa Nidu dan Konsep Kehilangan

Melalui kumpulan cerpennya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar, Nidu memaksa saya untuk masuk ke dalam sebuah pameran yang isinya adalah pajangan kata-kata dan koleksi perumpamaan. Seusai membaca, saya seolah pulang dari pameran dengan membawa banyak kosakata baru. Untungnya cerpen selalu menawarkan dua hal, ide cerita dan teknik bercerita.

Kumpulan cerpen Nidu pada kenyataannya tidak mungkin menjadi pemenang sayembara Siwa Natara Award 2015 jika hanya menawarkan sebuah permainan bahasa. Kumpulan kata-kata yang saya miliki sekarang pada akhirnya satu paket dengan kebahagiaan, kecemasan, kesedihan, dan atau kehilangan yang mesti ditanggung oleh tokoh-tokoh dalam cerita.

Jacob Sumardjo dalam bukunya Seluk Beluk Menulis Cerpen mengatakan bahwa penulis besar hemat dengan hamburan kata-kata. Kalimat-kalimat mereka ringkas namun jelas, bening, dan kaya makna. Kalimat-kalimat sastra harus mempunyai kekuatan. Ia harus mampu melukiskan informasi secara tepat dan kaya. Bahasa Nidu? Seperti ini:

Aduhai, sebuah laku tak sengaja, sebuah lupa pada tetirah para tetua, dipercaya begitu saja bakal menjadi segala malapetaka melanda.  (Oray Tutug Waj Gijir, 2013)

Kalimat di atas menyatakan bahwa ada seseorang yang tak sengaja melakukan larangan para sesepuh di kampungnya, yang pada akhirnya ketidaksengajaan itu dipercaya menjadi penyebab suatu kampung dilanda malapetaka. Kalimat Nidu di atas barangkali memenuhi kriteria yang diungkap oleh Jacob, ringkas namun jelas. Serta dapat pula kita sebut bahasa yang nyastra. Namun coba perhatikan kalimat lain dalam cerpen Nidu.

Matanya dapat merasai hangat yang meruap dari setiap juring, lekuk, ceruk, tepi, gigir, gunduk, tubuh perempuan yang kini menjadi semestanya… (Bayi Kemarau, 2011)

Kalimat yang kedua ini jelas terlalu hambur. Ceruk memiliki pengertian yang sama dengan lekuk. Pun dengan tepi dan gigir. Apakah salah? Jelas tidak. Setiap penulis memiliki hak dalam menuangkan gaya berceritanya. Pada akhirnya persoalan bahasa hanya akan kembali menjadi persoalan selera. Setiap pengarang memiliki gaya berceritanya masing-masing. Dan Nidu, adalah penulis yang senang dengan kalimat-kalimat liris, alegoris, metaforis, arakais, dan puitis.

Buku Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar adalah kumpulan cerpen kedua Nidu setelah kumcer pertamanya berjudul La Rangku. Terdapat sembilan judul cerpen dalam buku kedua ini, empat di antaranya belum pernah dipublikasi. Sembilan cerpen tersebut berjudul 1) “Sirubahung”; 2) “Bayi Kemarau”; 3) “Seruncing Hangat Cengkeh”; 4) “Oray Tutug Wak Gijir”; 5) “Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar”; 6) “Tiga Cerita yang Tak Kunjung Usai Dikisahkan”; 7) “Yang Menggantung di Bubungan”; 8) “Menyesap Mokla”; dan, 9) “Boy-boyan”.

Sebagian besar cerpen Nidu mengangkat spirit lokalitas masyarakat Sunda. Entitas-entitas budaya seperti kepercayaan, kesenian, perkakas, makanan, dan tradisi di sebuah daerah begitu apik dikemas menjadi sebuah konflik.  Beberapa cerita bergerak karena persoalan lokalitas, peristiwa dibangun oleh sebuah persoalan yang hanya bisa kita temui di ruang lingkup suatu masyarakat dengan karakter yang sama dan khas.

Cerpen “Sirubahung” misalnya, latar yang diambil Nidu adalah lingkungan pesantren di sebuah perkampungan. Tokoh utama dalam cerpen Sirubahung yang bernama Suparia dikisahkan sedang khusyuk melakukan zikir Nur Asih. Suparia telah melakukan zikir tersebut selama tujuh puluh malam. Suparia percaya bahwa zikir tersebut akan mengantarkan ia pada pertemuan dengan calon pengantinnya yang sudah tidak lagi hidup. Kemudian konflik dimulai karena kemunculan lolong sirubahung yang diduga datang membawa bala. Sirubahung sendiri diceritakan sebagai makhluk yang telah memangsa semua kambing yang akan jadi mahar Suparia untuk perempuannya.

Sebab Sirubahunglah, ia gagal menikah. Sirubahung sendiri merupakan jenis anjing yang gambarnya tidak bisa teman-teman temukan di google. Dalam cerpennya, Nidu menggambarkan sirubahung sebagai seekor anjing kerdil bermata merah, dengan bulu-bulu pada tubuh yang juga merah, bermoncong hitam, bergigi runcing, dan berkaki pendek. Setelahnya peristiwa demi peristiwia menegangkan dibangun dengan bahasa yang mendayu-dayu oleh Nidu.

Dinding-dinding gedek rumah-rumah warga bergetaran, berderak berkriet seperti batang-batang bamboo yang beradu, dan bulu tengkuk orang-orang yang tersentak dari tidur- meremang-gamang, menegang, serupa duri landak ketika terancam. (Sirubahung, 2012) 

Begitulah kurang lebih. Cerita “Sirubahung” ini kental dengan nuansa lokal. Adegan zikir Nur asih dan peristiwa kemunculan sosok perempuan mati dengan memegang tali yang mengikat leher sirubahung hanya terjadi di daerah yang diceritakan penulis, di tepi hutan Gantarawang. Gantarawang merupakan salah satu nama hutan yang ada di Serang, sedang Nidu sendiri memang lahir dan hidup di Serang. Sehingga tidak heran jika Nidu telah sangat akrab dengan banyak mitos dari kota tersebut.   

Konsep kehilangan
Beralih dari wacana lokalitas, cerpen Nidu nyatanya telah banyak menyeret saya pada kehidupan tokoh yang melulu mengalami kesusahan dan penderitaan. Dari mulai cerpen pertama berjudul “Sirubahung” hingga cerpen terakhir berjudul “Boy-boyan”, saya melihat sebagian besar konflik terbangun karena adanya motif utama yang mendasari si tokoh, yakni perasaan takut kehilangan atau berduka karena kehilangan. Yang kemudian perasaan tersebut menimbulkan peristiwa-peristiwa berikutnya.

Menurut Kubler-Ross dalam potter dan perry (1997), respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui beberapa tahap, yakni tahap penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan.

Dalam cerpen “Sirubahung”, tokoh Suparia mengalami kehilangan perempuan yang dicintainya karena sebuah kematian. Dalam cerita tersebut, rasanya Suparia telah melewati semua tahap untuk merespon perasaan berdukannya. Yang menarik dari cerpen “Sirubahung” terdapat pada tahap yang dilakukan Suparia dalam menyikapi kehilangan. Untuk tahap penerimaan, hal yang terjadi biasanya adalah kondisi di mana subjek mulai bisa beralih pada objek yang baru dengan perasaan damai.  Namun dalam “Sirubahung”, Suparia justru melakukan dzikir Nur Asih untuk kembali bertemu dengan perempuannya. Artinya, kita tak tahu Suparia berada pada tahap yang mana dalam merespon perasaan berdukannya atas kehilangan.

Cerita lain berjudul “Seruncing Hangat Cengkeh”, Nidu menceritakan seorang tokoh utama bernama Kasmani. Ia bukan hanya mengalami kehilangan objek eksternal seperti Suparia dalam cerpen “Sirubahung”, melainkan kehilangan aspek fisiologis diri. Saat memanjat pohon cengkeh, Kasmani terjatuh dan mengalami patah tulang rusuk. Kehilangan semacam ini akhirnya memunculkan peristiwa kehilangan yang lain.

Dalam cerita ini, tokoh dihadapkan dengan kenyataan kehilangan kemampuan untuk berjalan. Kasmani lumpuh dan menyebabkan isrtinya enggan mengurus dan memilih kabur. Kehilangan istri dan anak perempuannya inilah yang pada akhirnya mengantarkan Kasmani pada proses berduka yang jauh lebih dalam. Di mana pada akhirnya Kasmani sampai pada perasaan kehilangan paling parah, yakni kehilangan semangat dan tujuan hidup.

Parahnya, penulis begitu senang menciptakan kesengsaraan yang bertubi-tubi pada si tokoh. Di tengah keputusasaannya menghadapi hidup, Kasmani meski rela menyaksikan adik lelakinyanya dihakimi pemuda kampung karena ketahuan selingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Dalam kasus ini, respon berduka yang dialami tokoh entah pada tahap apa. Saat melihat adiknya bersimbah darah di hadapannya, Kasmani hanya menatap cengkeh kering yang kemudian ia kunyah pelan-pelan dan cerita pun selesai.

“Ditatapnya sejenak cengkeh kering cengkeh ceking, yang hangatnya kini begitu hening namun seruncing mata beling, sebelum dikunyahnya  pelan-pelan dan membuncahkan hangat di seruang mulutnya.”

Nidu seolah senang bermain dengan peristiwa-peristiwa yang muncul akibat sesuatu yang  takdir. Yang memang di luar kehendak manusia. Sehingga pembaca tidak diajak atau didesak untuk menyalahkan siapa-siapa. Konflik dalam cerpen “Sirubahung” muncul karena kematian tokoh perempuan, dalam Seruncing Hangat Cengkeh persoalan diawali karena musibah jatuhnya Kasmani dari pohon cengkeh, pun dalam cerpen ketiga ini.

Dalam cerpen terakhir Nidu berjudul “Boy-boyan”, pembaca diajak pada peristiwa mengenaskan yang dialami tokoh. Meminjam permainan yang berkembang di tengah masyarakat Sunda, cerita Nidu sesungguhnya bukan berpusat pada permainan boy-boyan, tapi peristiwa tragis yang terjadi pada anak kecil bernama Karjan yang tengah bermain boy-boyan.

Tokoh anak kecil tersebut terjebak di dalam kolong rumah panggung milik Mang Asdan. Saat sedang mengambil bola kasti, tiba-tiba saja dua ekor anjing yang tengah berahi masuk ke kolong rumah Mang Asdan dan saling menggongong tepat di dekat Karjan. Karjan yang seharusnya sedang merasakan kesenangan permainan boy-boyan pun akhirnya merespon perasaan takut dalam dirinya dengan menangis. Saat teman-temannya sedang berusaha melempari anjing tersebut dengan talawengkar, pemilik rumah, mang Asdan, tiba-tiba terbangun dan mengantarkan Karjan pada puncak sengsaranya.

“Ia menjangkau termos air panas di atas meja yang keropos, dan menumpahkan seluruh isinya ke sela-sela amben, ke kolong rumah itu, ke atas kepala si Karjan….” 

Kita bisa melihat bahwa penderitaan yang dialami tokoh lagi-lagi dibuat karena sebuah situasi di luar kendali manusia. Situasi tersebut cenderung selalu mengantarkan tokoh pada kesengsaraan. Yang pada akhirnya, manusia dalam cerita-cerita Nidu harus bertarung dengan berbagai cara untuk menyikapi kenyataan.

Dari kumpulan cerpennya, saya melihat Nidu adalah penulis yang peka merespon apa-apa yang terjadi di masyarakat terdekatnya. Nidu mampu merespon mitos-mitos yang berkembang di kampungnya, merekam peristiwa sederhana yang kemudian menjadi konflik luar biasa, menggambarkan sebuah perpisahan suami istri yang memilukan, mengisahkan seorang gadis kampung yang dihamili entah oleh lelaki mana yang kemudian menyebabkan kemarau selama tujuh puluh purnama, dan lain lain.

Terlepas dari beberapa motif cerita yang kadang kala masih harus dipertanyakan, tentang dua hal penting dalam cerpen, Nidu telah menaklukan keduanya. Ide cerita dan teknik bercerita.[]

KOMENTAR

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia UPI. Aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI.

You don't have permission to register