Saya dan Romo Mangun
Tujuh belas tahun lalu, televisi menyuguhi satu berita kematian. Saya masih berseragam SMA waktu itu, jadi saya hanya tahu bahwa seorang pastor telah meninggal. Meninggal seusai membawakan makalah dalam sebuah simposium di Hotel Le Merridiene, Jakarta Pusat.
Hari berganti. Seperti biasa, setiap pagi saya ke sekolah. Berita kematian tentang sang pastor sudah menguap di kepala saya. Di pelajaran bahasa Indonesia pun, guru saya tidak bercerita apa-apa tentang berita itu. Padahal, pastor yang baru saja meninggal itu adalah seorang penulis yang karya-karyanya sudah diakui secara nasional. Bahkan dunia internasional juga mengakui karya-karyanya tersebut. Itu sangat luar biasa.
Maksud saya, bagaimana bisa berita kematian seorang tokoh di bidang sastra dapat luput dari obrolan pembuka pelajaran. Mungkin waktu itu guru saya sedang berada di perjalanan menuju rumah sehingga tidak mendengar berita kematiannya. Kemungkinan lain adalah dia terlalu bersemangat pergi ke sekolah untuk mengajar kami, para siswanya, sehingga lupa untuk membaca berita di koran pagi. Entah.
Setahun kemudian, baru saya tahu kalau pastor yang meninggal tersebut adalah Romo Mangun. Terlahir dengan nama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, ditahbiskan menjadi pastor pada 8 September 1959 di Semarang, dan meninggal pada 10 Februari 1999 di Jakarta.
Karya almarhum yang pertama kali saya baca adalah roman Burung-Burung Manyar. Kisah saya dengan Teto, tokoh sentral dalam Burung-Burung Manyar ini terbilang unik. Saya menemukan Teto terselip di buku paket Bahasa Indonesia Kelas 3 SMA.
Ocehan Teto yang terselip di sana memang hanya yang berjudul “Anak Kolong”, tetapi itu cukup untuk membuat saya memburu buku utuhnya di perpustakaan sekolah. Sialnya buku itu tidak saya temukan. Kemudian perburuan saya lanjutkan di perpustakaan daerah di kota saya, Cianjur. Ternyata di sana juga Teto tidak saya temui. Sampai lulus SMA, saya hanya bolak-balik membaca si Teto yang itu-itu saja.
Satu tahun kemudian, saya menemukan Teto di rak buku toko Gramedia dan Gunung Agung di sekitaran tempat bimbel di Jalan Purnawarman. Senangnya tidak terkira menemukan dia di sana. Tanpa ambil pusing, saya beli buku itu dengan uang yang sebenarnya dialokasikan untuk menelpon interlokal pacar yang saat itu sudah berkuliah di Jakarta. Pembelaan saya waktu itu adalah: “Pacar dapat menunggu, tetapi buku ini sudah lama saya tunggu, dan saya sudah tidak tahan untuk segera menyimak ocehan Teto”.
Sayang, sungguh sangat disayangkan sekali, keputusan sepihak yang saya ambil ternyata dijadikan alasan oleh pacar saya untuk mengakhiri hubungan kami. Padahal waktu itu saya sudah berencana lebih jauh dan indah. Tetapi sudahlah, tidak perlu disesali.
Status jomblo dan aktivitas minim saya sebagai anak bimbel membuat saya khusyuk membaca. Akibat pergaulan saya dengan Teto, saya menjadi lebih berani untuk mengambil keputusan dan tindakan berseberangan dengan keputusan dan tindakan umum di lingkungan saya. Selama hal itu saya yakini benar, maka saya lakukan.
Pohon-Pohon Sesawi adalah buku selanjutnya yang saya baca. Buku tipis ini membuat saya terkekeh dan tenggelam dalam nostalgia karena kisah tokoh-tokohnya hampir sama persis dengan kisah saya sebagai pemuda yang pernah aktif di gereja.
Di buku ini juga saya mengetahui laku hidupnya yang unik dan sederhana. Pada kata pengantar buku ini, diceritakan bagaimana sang romo meminta asistennya untuk membuat lem dari tepung kanji agar dapat menjilid kertas bekas yang masih dapat dipakai menjadi buku catatan. Namun sang asisten rupanya gagal membuat lem. Dia pun marah, dia mengambil adonan lem, lalu dia garami, dan menyuruh sang asisten untuk menghabiskan adonan lem tersebut dengan alasan daripada mubazir.
Buku berikutnya adalah Burung-Burung Rantau. Buku itu saya pinjam dari kakak saya di teater, Anggiat Tornado. Menurut saya, Burung-Burung Rantau adalah versi global dari Burung-Burung Manyar. Jika Burung-Burung Manyar mengangkat kisah kasih antara Teto dan Atik yang berada di dua kubu yang berlawanan, maka Burung-Burung Rantau mengangkat kisah kasih Neti dan Krish yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dua-duanya sama, kisah kasih mereka tidak dapat bersatu sampai ke jenjang pernikahan. Demikian kira-kira pengamatan dangkal saya kala itu.
Setelah Burung-Burung Rantau, saya masih membaca beberapa tulisan sang romo. Secara keseluruhan, tulisan beliau selalu mengangkat persoalan orang-orang yang tidak beruntung dan terpinggirkan dengan cara “genah” ketika dibaca. Kendati tulisan-tulisannya dipenuhi kritik dan sindiran tajam kepada penguasa dan pribadi-pribadi yang telah salah dalam menafsirkan arti diri dan arti hidup mereka sebagai manusia, tetapi sang romo masih menyimpan optimisme terhadap kemanusiaan dalam setiap tulisannya.
Karya sang romo tidak terbatas di wilayah gagasan yang dia tuang dalam tulisan. Salah satu karya kongkret dan monumental yang dia tinggalkan adalah permukiman di tepian Kali Code, Yogyakarta. Pada pertengahan tahun 80-an, sang romo melepaskan jabatannya sebagai akademisi dan rohaniwan demi membantu warga di tepian Kali Code yang akan digusur. Tindakannya tidak setengah-setengah. Dia tinggal dan hidup bersama warga, mendidik warga, dan membenahi tempat tinggal mereka.
Kepeduliannya terhadap persoalan kemanusiaan tidak berhenti sampai di sana. Dia juga pernah menyusup ke perkampungan warga yang menjadi korban pembangunan Waduk Kedung Ombo. Di sana, sang romo mendampingi warga dalam memperjuangkan haknya dan membimbing anak-anak mereka dalam belajar. Upayanya tersebut rupanya membuat pemerintah Orde Baru gerah, sampai Soeharto sendiri menjuluki dia sebagai Komunis berbaju rohaniwan.
Jejaknya di dunia pendidikan pun masih dapat kita lacak di Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Sekolah Dasar Kanisius Mangunan (SDKM). Tujuan mendirikan dua lembaga itu adalah untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak-anak miskin. Menurut dia, “Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar.”
Sepak terjang sang romo yang heroik dan berani tidak muncul begitu saja. Ada beberapa sosok yang membentuk dia menjadi seperti itu. Sosok pertama adalah ayahnya, Yulianus Sumadi, yang mengajarkan dia bahwa hidup tidak melulu soal harta dan kekuasaan. Sosok kedua adalah Mayor Isman yang membuat dia tercengang dengan pidatonya, sehingga setelah mendengar pidato tersebut, dia mengambil keputusan untuk membayar utang kepada rakyat kecil dengan membaktikan seluruh hidupnya kepada kemanusiaan. Sosok ketiga adalah Mgr. Soegijapranata yang menasihati dia untuk menjadi Katolik yang baik dengan membuat Indonesia menjadi lebih baik dan maju.
Dengan bekal dari ketiga orang itulah dia menjadi manusia yang memanusiakan manusia melalui karya-karyanya. Dengan bekal dari merekalah dia menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dengan bekal dari merekalah dia menjadi berharga di mata orang banyak. Kepergiannya tidak hanya ditangisi satu kelompok dan golongan. Itulah yang membuat saya menaruh rasa hormat dan bangga kepada sang romo. Tabik saya untuk Anda, Romo![]