Fb. In. Tw.

Satu Tahun Meninggalnya Sitor Situmorang: “Pasar Senen dan Harimau Tua”

Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini penuh. Bahkan sesak. Kursi terisi semua. Sebagian hadirin berdiri. Hujan turun sejak sore mengguyur Jakarta. Kemacetan terjadi di mana-mana. Malam peringatan satu tahun meninggalnya Sitor Situmorang (2 Oktober 1924-20 Desember 2014) digelar dengan kemasan instalasi teks yang melibatkan berbagai seniman. Adapun acaranya sebagai berikut:

Rekaman video terakhir: Apeldoorn, 2 November 2014
Dramatic reading: Sitor dan Pasar Senen
Peluncuran buku puisi Sitor Situmorang: Barbara Brouwer, Gulon Situmorang, dan JJ Rizal
Pertunjukan cerpen Sitor Situmorang: Harimau Tua
Testimoni tentang Sitor Situmorang dan Pasar Senen

Rabu, 20 Januari 2016 pukul 16.00 saya berangkat dari Pondok Petir menjemput Linda di MP UIN Ciputat. Kami akan bertemu di lapangan parkir sekolah tempat Linda mengajar. Kami akan menghadiri acara satu tahun meninggalnya Sitor Situmorang. Dengan kondisi jalanan Jakarta yang penuh sesak di jam pulang kantor dan hujan yang tak deras mengguyur sepanjang perjalanan, sekitar tiga jam kami baru tiba di TIM, Cikini. Dengan perut kosong, kami akhirnya memutuskan makan terlebih dahulu di warung di dekat parkiran TIM. Saya memesan soto surabaya dan Linda memesan sop iga. Meja-meja di warung TIM penuh terisi, banyak yang makan dan minum. Selepas makan, kami berjalan mendekat ke gedung Teater Kecil tempat acara digelar. Terlihat sebuah banner terpasang di dekat pintu masuk gedung. Di lantai dasar gedung itu terdapat meja tamu, meja yang menjual buku-buku karya Sitor, dan meja serta kursi putih. Di depan pintu masuk ruang teater sebuah banner ukuran besar terpasang. Kuambil kertas yang berisi acara dan kutanyakan kepada petugas penjaga buku pintu mana yang harus kumasuki. Kami memasuki teater kecil setelah petugas menunjuk salah satu pintu. Kami terlambat masuk. Acara telah berlangsung 30 menit.

Lantai bawah penuh. Orang-orang yang tidak mendapat tempat duduk berdiri. Linda berinisiatif mengajak ke atas. Kami naik. Di atas di samping kiri kami berdiri di ujung kursi yang penuh. Afrizal Malna tampak khusuk di depan laptopnya yang menyemburkan gambar-gambar. Gambar-gambar Sitor tampil di layar di panggung di atas kepala tiga orang pembaca sajak yang duduk di kursi lipat. Juga gambar seekor harimau dengan bunga mawar di depannya siap dimangsa. Gambar harimau dan bunga mawar tampil di layar lebih lama. Di panggung tiga orang sedang membacakan puisi. Lampu dipadamkan. Lampu kecil menyorot ke deretan kursi di kanan panggung. Seorang perempuan membacakan puisi. Puisi-puisi yang dibacakan malam itu di antaranya, “Ke Yogya”, “Perhitungan”, dan “Pasar Senen”.

Pasar Senen

Suaranya lain sekarang
Atau pendengaranku
Berubah dari dulu?
Tiada lagi gerak gerantangan
Aminah, gadis tukang kopi
Singkong goreng tiada kini

Ke mana kawan semua
Supir, tukang delman
Teman berdampingan
Kita semua bersenda
Menampung senyuman
Si Kebaya Merah
Dari kepulan asap mereka
Hai, tukang becak
bilang padaku
Dewiku
Ke mana kau bawa….

Sitor Situmorang dilahirkan di Harianboho, Tapanuli Utara (Sumatra Utara), 2 Oktober 1924. Berpendidikan HIS (Balige dan Sibolga), MULO (Tarutung), AMS (Jakarta), dan pernah memperdalam pengetahuan tentang sinematografi di Universitas California, Amerika Serikat (156-1957). Bermukim di Singapura (1942), Amsterdam (1950-1951), Paris (1952-1953), Leiden dan Den Haag (1984-2014). Sitor meninggal di kediamannya di Apeldoorn, Belanda, Minggu, 20 Desember 2014.

Pertunjukan berlanjut.

JJ Rizal memberikan testimoni tentang Sitor Situmorang dan Pasar Senen. Rizal bilang bahwa Pasar Senen menjadi tempat berkumpul banyak orang. Bahkan ada cerita dari Hatta bahwa dia keluyuran bareng dengan siswa-siswi STOVIA dan biasa berhenti untuk makan nasi goreng di Pasar Senen. Di salah satu perhentian sambil makan nasi goreng itu melahirkan ide Kongres Pemuda yang kemudian sohor disebut sebagai Sumpah Pemuda. Itu lahirnya di Pasar Senen. Salah satu tokoh pemuda saat itu Mohammad Yamin (23 Agustus 1903-17 Oktober 1962) bahkan punya kavling khusus berupa lampu jalan yang di sana ia akan membaca buku-buku yang didapatnya dari loak di Pasar Senen.

Sitor waktu datang ke Pasar Senen, dia kost di pinggiran Pasar Senen yang ia bayar seharga 15 gulden. Dengan kamar bagus dan pergi ke sekolah di Salemba dengan naik sepeda. Setiap pagi pergi dengan sepeda dan siangnya pulang buru-buru untuk pergi ke Pasar Senen, ke kantor redaksi koran nasionalis pimpinan Radhar Harahap, Bintang Timoer. Ia baca koran yang ditempel di kantor itu.

Dalam hati saya teringat Ayah Saijah, tokoh dalam novel Max Havelaar karya Multatuli saat Rizal menyebut 15 gulden. Terbayang Ayah Saijah yang baru saja kehilangan kerbau. Kehilangan kerbau karena dirampok Demang Parungkujang, Wiranatakusumah. Ayah Saijah lalu menjual keris warisan ayahnya ke babah di Rangkasbitung seharga 24 gulden. Dengan uang itu ia membeli kerbau baru. Kerbau baru itu kemudian dirampok lagi. Ayah Saijah lalu menjual kait kelambu sebagai harta terakhir yang merupakan warisan satu-satunya dari ayah mertuanya. Kait kelambu perak itu dijual dan mendapatkan uang 18 gulden. Dengan uang itu dibelinya kerbau baru. Kerbau penghabisan yang kemudian disembelih setelah sebelumnya dirampok dari Ayah Saijah untuk pesta pemipin Lebak. Saya membatin uang 15 gulden yang digunakan Sitor untuk bayar kosan di Senen itu hampir seharga kerbau.

Saya juga teringat Sitor pernah menerjemahkan sajak Saijah untuk Adinda karya Multatuli ke dalam bahasa Batak. Sajak Saijah waktu pergi ke Batavia dengan jalan kaki dari kampung kelahirannya, Badur, di Lebak selama dua hari tiga malam perjalanan. Di tepi Cisadane, Saijah menulis sajak. Sajak kerinduan kepada kekasihnya Adinda yang harus ditinggalkan selama tiga kali dua belas bulan lamanya. Sitor seperti juga Saijah pergi dari kampung halaman ke Batavia. Saijah untuk bekerja, Sitor pergi belajar. Sitor menerjemahkan sajak itu ketika ia belia. Seusia anak SMP Kelas Delapan sekarang. Sitor banyak terinspirasi Multatuli dan Max Havelaar. Seperti diakuinya di dokumenter perjalanan kepenulisannya yang dibuat Yayasan Lontar bahwa ia suka membaca dan senang kepada novel Max Havelaar.

JJ Rizal masih memberikan testimoni. Saya lanjutkan:

Jepang datang dan sekolah Sitor berantakan. Akan tetapi cita-citanya untuk menjadi wartawan nasionalis tidak pernah padam. Wartawan nasionalis, wartawan yang tidak tunduk pada modal dan pemilik modal. Di Pasar Senen, Sitor memang tidak menjadi wartawan. Akan tetapi di pasar lain di Medan, di Pasar Sentra, Sitor menjadi anggota Harian Waspada pimpinan Mohammad Said. “Sitor ini mutiara yang terpendam di pedalaman Sumatra di masa revolusi,” kata Said. Said kemudian mengirim Sitor kembali ke Betawi. Waktu itu baru selesai proklamasi dan Jakarta sebagai Ibukota ditinggalkan. Waktu itu zaman bersiap. Bersiap mati dan bersiap bertempur: Revolusi. Rizal mengutip Pram yang mengatakan bahwa di Pasar Senenlah revolusi dimulai. Revolusi dimulai bukan oleh para elit melainkan para bandit.

Sitor lalu pindah ke Yogyakarta. Menyusul ibukota yang pindah. Sitor lalu ditangkap dan dipenjara di sana. Sitor balik lagi ke Jakarta dan kembali ke Pasar Senen. Pulang dari Jogja, Sitor berubah dari wartawan jadi sastrawan. Sajak pertama Sitor mengungkapkan kedekatannya dengan revolusi. Ini menepis tudingan bahwa Sitor asyik dengan sajak-sajaknya dan revolusi seorang diri. Hal ini dapat ditemukan salah satunya dari saja Sitor “Pasar Senen”. Sajak itu menggambarkan dunia rakyat kecil yang terdampar di ibukota. Sitor lalu terlibat dalam Kelompok Seniman Gelanggang Merdeka bersama Asrul Sani, Chairil, dan yang lain-lain. Kelompok yang berusaha mendefinisikan apa sih kebudayaan modern Indonesia. Meski kemudian mereka pecah sebab beda orientasi politik.

Itulah sebagian catatan yang saya tangkap dari testimoni JJ Rizal atas Sitor dan Pasar Senen. Pasar yang banyak memberikan imajinasi. Imajinasi yang kini banyak hilang. Sebab pemimpin negara abai terhadap rakyat dan pasar. Rakyat tidak lagi menjadi pokok perhatian. Hanya menjadi sampiran. Pasar rakyat seperti Senen yang banyak memberi imajinasi banyak “dibunuh” dan dilupakan. Sebab negara lebih tertarik kepada pasar internasional. Di Jakarta, rakyat dan kampung-kampungnya digusur. Sambil dituduh sebagai maling, mencuri tanah negara.

“Mana teks gue?” seorang pembaca Sajak memulai pertunjukan kembali. Sajak-saja Sitor kembali dibacakan.

Selesai pembacaan saja-sajak Sitor, JJ Rizal sebagai pembawa acara meminta beberapa undangan di antaranya Ajip Rosidi dan Hilmar Farid untuk naik panggung. Juga istri Sitor, Barbara Brouwer. Di panggung tampak tiga buah poster wajah Sitor yang menjadi sampul kumpulan puisi lengkap 1948-2008. Musik dimainkan. Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia jongkok di depan Sitor. Tangannya menggoreskan tanda tangan. Lalu diikuti oleh Ajip Rosidi di poster yang lain. Juga Barbara Brouwer. Di layar tampak sampul kumpulan puisi Sitor.

Empat orang gadis dengan selendang kain yang cantik masuk panggung. Tangan gadis-gadis itu menempel seperti yang sedang melakukan Tarian Tortor. Dengan cara diapit di tangan masing-masing gadis, sebuah buku tebal kumpulan puisi Sitor berada. Gadis-gadis itu mendekat ke arah Barbara Brouwer, Ajip Rosidi, Hilmar Farid dan lainnya. Masing-masing dari mereka mendapatkan buku dari tangan gadis. Ini upacara peluncuran buku puisi Sitor.

JJ Rizal lalu meminta Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia memberikan sambutan. Dr. Hilmar Farid atau biasa dipanggil Fay, dengan buku di tangan kiri dan mikropon di tangan kanan memberikan sambutan.

Hilmar Farid:

“Mungkin tidak perlu pengakuan dan penghargaan dari negara. Negara yang perlu dia. Jadi kalau ada penghargaan dari negara untuk Sitor Situmorang, yang terhormat negaranya. Bukan Sitor. Sitor harus mendapatkan penghargaan publik. Dan penghargaan itu nyata dengan kehadiran kita malam ini. Ini tentu bukan mau lepas tanggung jawab sebagai Dirjen Kebudayaan. Kemudian dengan begitu saya tidak perlu berbuat apa-apa. Ada bentuk penghargaan lain yang saya pikir dan bentuk penghargaan itu sangat konkret yaitu mengembalikan Sitor Situmorang dan sastra Indonesia ke sekolah. Terus terang saya bicara jujur saya belum tahu batas kewenangan yang ada pada saya itu. Tapi dengan segala usaha dan tenaga, kita perlu mengembalikan Sitor Situmorang dan sastra Indonesia ke tempat terhormat dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang selama ini ditulis oleh Sitor Situmorang sampai goresan penanya yang terakhir. Saya kira begitu saja. Selamat malam. Saya bergembira bersama-sama ada di sini.”

Usai sambutan, Hilmar Farid, Ajip Rosidi, Barbara Brouwer, dan keempat orang lainnya kemudian foto bersama.

Acara kemudian berlajut dengan pementasan cerpen Sitor Situmorang: Harimau Tua. Dalam kertas acara tertulis.

Pertunjukan ini merupakan penulisan ulang cerpen Sitor Situmorang. Narasi bergerak di antara seorang anak muda yang pulang kampung setelah 15 tahun merantau, seorang lelaki tua dengan kaki kiri yang telah buntung (hidup seorang diri di lembah), dan seekor harimau tua (harimau terakhir di gunung). Ketiga sosok ini, seperti sihir padang ilalang dan bintang-bintang di malam hari. Memunculkan imaji-imaji hasrat politik yang mengintai di kegelapan—dalam suara auman harimau. Metafora hilangnya tanda-tanda di sekitar kita untuk saling mengenal.

Saat pementasan cerpen Harimau Tua berlangsung, tokoh pemuda memperkenalkan diri dengan menyebut nama sebagai: Saut. “Saut, Saut, Saut!” katanya sambil mengibaskan handuk. Semua hadirin tertawa. Di bangku penonton di bagian atas seseorang berteriak, “Save Saut!”. Hadirin tertawa lagi sebagian. Semua mata berpaling sebentar dari panggung ke bagian atas Teater Kecil, TIM.

Selesai pementasan cerpen Harimau Tua, istri Sitor Situmorang, Barbara Brouwer menyampaikan rencana pembangunan Rumah Budaya Sitor Situmorang dan Pesta Rakyat Harianboho. Juga harapan dan keinginan untuk terus menghidupkan Sitor Situmorang. Mengajak semua yang hadir malam itu untuk datang ke Harianboho. Rumah Budaya ini direncanakan selesai awal tahun 2017 nanti.

Para pendukung acara dan panitia mengisi panggung. Di antaranya Adinda Luthvianti, Hanafi, Marthan S. Sitohang, Dony Lazuardi, Semi Ikra Anggara, Taufiq Darwis, Abimanyu, Sartika Dian Nurani, Jesika Rumenda Situmorang, Rizki Asasi, Azuzan JG, Jon Haryanto, Azis Daing, Afrizal Malna, JJ Rizal, dan Logo Situmorang. Juga anak-anak sanggar yang ikut mengisi acara. Foto bersama dilaksanakan.

Acara selesai. Orang-orang bergerombol di depan gedung. Berkelompok. Saya dan Linda pergi ke bawah gedung. Penjaga lantai dasar gedung duduk sendirian di dekat meja. Jalanan Jakarta sepi tengah malam. Sampai di Pondok Petir. Sampai di sini catatan satu tahun meninggalnya Sitor Situmorang, Pertunjukan Instalasi Teks, berakhir.[] Depok, 23 Januari 2016

KOMENTAR

Kontributor tetap buruan.co. Guru SMPN Satap 3 Sobang dan Pemandu Reading Group "Max Havelaar" di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

You don't have permission to register