Melawan Kepasifan dalam Novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”
Satu tahun yang lalu, saya banyak mengeluhkan betapa sulitnya mendapatkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer (Pram). Bila pun ada, kita akan mendapati buku bajakan dengan kualitas cetak yang buruk. Dan bila ingin membeli buku dengan—katakanlah—kualitas yang baik, kita harus siap mengantre sekaligus membayar dengan harga berkali-kali lipat.
Namun di pertengahan tahun 2015, buku-buku Pram mulai kembali mengisi rak-rak buku sastra di toko buku. Banyak sekali novel Pram yang diterbitkan ulang oleh penerbit Lentera Dipantara. Salah satunya ialah novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
Sekali Peristiwa di Banten Selatan terbit pertama kali pada tahun 1959. Ini adalah novel pertama yang ditulis oleh Pram setelah ditunjuk sebagai anggota Komite Sentral Lekra. Dalam kata pengantarnya, Pram mengungkapkan bahwa novel ini merupakan hasil kunjungannya ke Banten Selatan yang cukup lama di akhir tahun 1957. Lewat buku ini, ia menggambarkan peristiwa tentang perlawanan masyarakat setempat terhadap pemberontak Darul Islam (DI).
Cerita ini dibuka oleh tokoh Ranta yang dipaksa oleh Juragan Musa untuk mencuri bibit karet di perkebunan. Juragan Musa adalah seorang tuan tanah dan pengawas perkebunan karet swasta di daerah tersebut. Dengan posisi Juragan Musa yang demikian, sulit bagi Ranta menolaknya. Apalagi Ranta hanya seorang buruh tani miskin.
Juragan Musa bukan hanya menolak membayarkan upah Ranta, ia bahkan memukuli Ranta hingga babak belur dan mengancam akan melaporkannya ke polisi atas pencurian bibit karet. Rupanya, hal demikian tak saja dialami oleh Ranta sendiri. Banyak dari buruh tani lainnya yang mengalami hal serupa. Hal inilah yang membangkitkan kesadaran untuk memulai perlawanan.
Atas laporan Ranta kepada Komandan Organisasi Keamanan Desa (OKD), Juragan Musa beserta Lurah ditangkap karena diketahui sebagai pimpinan DI. Gerombolan pemberontak DI pun sementara dapat dilumpuhkan. Ranta sendiri diangkat sebagai Lurah sementara oleh Komandan OKD.
Cerita belum berakhir sampai di situ. Pemberontak DI di Banten Selatan dapat dikalahkan berkat kerja sama antara militer OKD dengan masyarakat. Pun lewat kerja gotong royong mereka dapat membangun kembali desa. Bahkan mereka juga membangun bendungan dan gedung sekolah. Di akhir cerita, Pram menggambarkan suasana dialogis antara masyarakat dengan pemerintahan desa dan militer. Esensi sama rasa sama rata tergambar ketika mereka berdiskusi tentang pembukaan lahan untuk ladang. Setiap orang memiliki hak bicara dan hak suara. Keputusan pun diambil secara mufakat dengan semangat bekerja sama-sama.
Melawan Kepasifan
“Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga yang akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…..” (Toer, 2015:77)
Seorang penulis memang banyak mencurahkan gagasan dan semangatnya melalui tokoh dalam cerita. Seperti halnya Pram yang menyisipkan ideologinya kepada sang hero, Ranta. Lewat ungkapan-ungkapan Ranta yang retoris, Pram mengajak untuk melawan kepasifan. Berulang kali Ranta meyakinkan teman-temannya jika mereka dapat bersatu maka DI dapat dikalahkan. Bahkan mereka juga dapat memperbaiki kehidupannya.
Pram juga menjelaskan bagaimana penindasan dan eksploitasi yang kuat (tuan tanah) atas yang lemah (buruh tani) dapat terjadi. Selama ini masyarakat tak memiliki kesadaran untuk bersatu melindungi kepentingan bersama-sama. Sehingga yang kuat selalu menang menghadapi yang lemah. Dan eksploitasi terhadap yang lemah tak dapat dihentikan.
Semangat gotong royong, kolektivitas, dan sama rasa sama rata dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan inilah yang kemudian Pram angkat sebagai kekuatan untuk memulai melakukan perubahan. Dengan kata lain tak membiarkan kebenaran menggantung di langit, tapi memperjuangkannya untuk menjadi benar. []
Judul : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN : 978-979-3820-04-0
Cetakan : ke-7, September 2015