Mengenang 46 Tahun Kepergian “Sang Koboi” Soe Hok Gie
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya.
Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
– Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Era Reformasi sebagai babak baru usai runtuhnya hegemoni rezim Orde Baru, barangkali hanya mimpi jika tak ada gerakan moral dari mahasiswa. Peran mereka begitu menonjol dalam menyuarakan aspirasi rakyat yang lama terpendam. Perjuangannya lewat aksi demonstrasi merupakan bukti konkret yang pantas dicatat dalam lembaran sejarah bangsa ini.
Usai itu, mahasiswa kemudian berganti peran menjadi pengarah perubahan (direction of change) akan jalannya Reformasi. Mereka memang telah menjadi subyek penting yang harus terus ikut ambil bagian dalam mengontrol kehidupan bernegara.
Akan tetapi, setelah rezim Orde Baru tumbang dan era Reformasi berhembus, pada gerakan mahasiswa terjadi kondisi yang centang perenang. Setiap aksi massa semakin tidak jelas tujuannya, dan semakin menunjukkan bahwa sebagian para koboi mahasiswa sudah terjebak pada euforia politik.
Mereka (baca: koboi mahasiswa) yang dulu sudi “membakar diri” di tengah terik matahari kala berdemonstrasi, kini ramai-ramai mencalonkan diri sebagai caleg. Riuh-rendah ini tak hanya terjadi di Pusat. Di sejumlah daerah juga marak tren mantan koboi mahasiswa berkiprah di parpol dan jadi caleg (DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota).
Di Jawa Barat, sebut saja beberapa nama koboi mahasiswa yang berasal dari Masjid Unpad, PMIB, Muhammadiyah, dan HMI, diisukan dicalegkan oleh DPW PAN Jawa Barat. Mereka dikabarkan dicantumkan di urutan satu di daerah pemilihan Cirebon, Kuningan, Garut, dan Bogor. Dan, jangan lupa, Rama Pratama–ikon koboi gerakan mahasiswa 1998–juga dicalegkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Fenomena apa ini? Apakah mereka tak tahan untuk ikut merasakan “hawa sejuk” Senayan yang berlimpah pendingin ruangan (AC)?
Dalam pandangan Soe Hok Gie–aktivis angkatan ’66–adalah aib jika seorang aktivis mahasiswa berkiprah di parpol, apalagi menjadi wakil rakyat dari partai yang pernah dikecamnya. Seorang aktivis tak boleh sekadar pintar berkoar-koar kala berdemonstrasi, tetapi meninggalkan itu semua ketika ada kesempatan untuk berkecimpung di struktur kekuasaan (legislatif dan eksekutif).
Dan itulah yang dialami oleh Soe Hok Gie. Dalam perjalanan hidupnya, Soe Hok Gie sempat beberapa kali bertemu secara resmi dengan Presiden Soekarno di Istana Negara antara tahun 1963-1964. Pertemuan itu ternyata meninggalkan kesan khusus bagi Soekarno. Presiden pertama itu menemukan sesuatu yang menarik dari mahasiswa bermata tajam, yang kala itu menemuinya dengan jas pinjaman kedodoran. Soekarno kemudian menawarinya posisi empuk sebagai pejabat di museum sejarah di Monas. Tapi tanpa pikir panjang lagi, Soe Hok Gie langsung menampiknya.
Begitu juga saat Soekarno jatuh dan Soeharto naik dengan bendera Orde Baru-nya, tanpa tedeng aling-aling Soe Hok Gie langsung mengkritik kawan-kawan seperjuangannya di KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang ramai-ramai menempati kursi DPR-GR. Soe Hok Gie dengan sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah.
Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe Hok Gie ini membuat mereka terperangah. Dan andaikata Soe Hok Gie sampai saat ini– tajuk Pikiran Rakyat (6/12/2015)–masih hidup, mungkin mantan koboi mahasiswa itu juga akan dikirimi gincu, sisir, cermin, lipstik, atau kolor.
Memang, tak ada aturan tertulis yang meng-‘haram’-kan mantan koboi mahasiswa berkiprah di parpol lantas menjadi caleg. Jangan terburu-buru dulu untuk antipati, karena semuanya tetap berpulang pada si individu yang tergerak untuk berkecimpung di dunia politik tadi. Namun yang – sekiranya – patut dipertanyakan adalah apakah eks koboi mahasiswa itu sudah menyelesaikan dilema moral – itupun andai perasaan itu (masih) ada pada dirinya – sebelum bergabung di medan parlementer (formal)?
Mengapa hal ini patut dipertanyakan? Coba saja lihat jebolan aktivis mahasiswa angkatan ’66 dan ’77. Mantan aktivis dua angkatan itu yang terjun ke partai politik, ternyata, tak mampu untuk mewarnai parpol yang mereka masuki. Alih-alih melakukan pembenahan atau transformasi di tubuh parpol yang dimasuki, nyatanya mereka malah terpedaya mengikuti budaya politik patologis di parpol bersangkutan.
Tak bisa dipungkiri kalau gerakan mahasiswa adalah sebuah gerakan politik. Namun agar koboi mahasiswa selanjutnya tak terperangkap dalam politik praktis, maka rambu-rambu moralitasnya lah yang selama ini bertugas sebagai “penjaga”. Sebagai kekuatan yang sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan, bukan mustahil gerakan mahasiswa diboncengi oleh kalangan tertentu yang mempunyai kepentingan. Oleh karena itu, di sinilah perlunya gerakan moral.
Gerakan moral adalah suatu kemestian bagi mahasiswa. Bila ini tak ada pada diri gerakan mahasiswa, maka akan ada yang mendikotomikan antara gerakan moral dengan gerakan politik. Sementara pada dasarnya gerakan moral mahasiswa bukanlah gerakan politik partisan yang ingin ikut “mencicipi” kekuasaan. Mendiang Soe Hok Gie menganalogikan gerakan mahasiswa itu seperti koboi yang datang dari horizon yang jauh untuk memerangi kejahatan di suatu kota. Lalu ketika kejahatan habis dan penduduk ingin mengucapkan terimakasih, sang koboi telah pergi lagi. Back to campus! Itulah perjuangan sejati tanpa pamrih dari sang koboi berlabel mahasiswa.[]