Fb. In. Tw.

Penyensoran

Kenyamanan saya membaca Pulau Run; Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan karya Giles Milton, tiba-tiba terganggu ketika saya mendapati sebuah kata yang dilenyapkan dan diganti dengan sejumlah tanda bintang (*). Lima buah tanda bintang, tepatnya. Saya tak tahu apakah penghilangan sebuah kata itu dilakukan oleh penerjemah, penyunting, atau malah merupakan kebijakan penerbit—yang entah untuk tujuan apa. Tapi saya menduga, penghilangan itu dilakukan secara sadar dan disengaja—jadi bukan kesalahan cetak belaka—sebab lima buah tanda bintang itu digunakan untuk menggantikan lima fonem dari sebuah kata yang dilenyapkan.

Beginilah penghilangan kata itu terejawantah: “Mereka mengencingi dan ***** di atas kepala kami,” tulis Bartolomew Churchman, “dan dengan cara ini, kami terbaring, hingga saat kami hancur dari kepala hingga kaki seperti orang lepra, tak memiliki apa pun untuk dimakan kecuali nasi kotor dan air hujan yang bau.”

Ketika kita membacanya dengan saksama, memang, kita akan langsung menerka bahwa kata yang dilenyapkan dan digantikan lima tanda bintang itu adalah kata ‘berak’. Lima buah tanda bintang untuk lima fonem kata ‘berak’. Namun, pertanyaan-pertanyaan menggelikan menyembul juga dari ubun-ubun saya—ah, untunglah bukan dari pantat saya. Sejak kapankah kita bersepakat untuk mengantikan sebuah fonem dengan sebuah tanda bintang?

Namun, tanda bintang yang kemudian muncul dalam kepala saya adalah tanda bintang yang lebih sering saya temui di ujung sebuah kata—biasanya berupa hadiah atau promosi produk—dalam sebuah iklan. Dalam hal ini, satu tanda bintang itu biasanya merujuk pada penjelasan di bawahnya—yang meskipun ditulis dengan huruf sangat kecil dan menjengkelkan, bahkan mungkin pernah menjerat orang-orang yang tidak jeli hingga mereka merasa tertipu—berupa keterangan: “syarat dan ketentuan berlaku”.

Tapi bagaimanapun, satu tanda bintang di akhir sebuah kata dalam iklan-iklan semacam itu jelas mengemban fungsinya sendiri. Mungkin malah jauh lebih penting untuk dipahami pada calon konsumen agar tidak mudah tergiur. Sementara itu, satu tanda bintang di akhir sebuah kata, juga kerap saya temukan dalam sejumlah buku, makalah, jurnal, catatan, prosa, atau esai. Berfungsi untuk menggantikan angka-angka superscript yang akan diberi keterangan dalam catatan kaki atau sekadar diberi keterangan tambahan. Nah, dalam hal ini, satu tanda bintang di akhir sebuah kata itu, jelas memiliki fungsi yang tidak bisa diabaikan.

Tapi, bagaimanakah dengan tanda bintang-bintang yang telah melenyapkan setiap fonem itu?

Belum tuntas keresahan saya dengan penghilangan kata ‘berak’ dalam buku Pulau Run itu. Seorang kawan yang saya undang untuk bertemu di tempat acara milad ke-5 Komunitas Bahasa Jawa Serang, menjawab pesan dengan membubuhkan bintang-bintang juga: “Oke. Saya ke sana. Tolong sisakan itu kon*** sapi”.

Aih, saya memang bisa membaca pesannya itu. Sekalipun ia menghilangkan tiga fonem, lalu mengganti dengan tiga buah tanda bintang untuk menyebut nama kue kontol sapi. Dalam acara tersebut, memang terhidang berbagai penganan khas Kota Serang yang beberapa di antaranya bahkan sudah cukup langka dan sulit ditemukan seperti; kue elpi, sayur blohok, kue tai burok, kue jejongkong, kue jejorong, serta kue kontol sapi yang tiga fonemnya dihilangkan kawan saya itu.

Saya menduga, barangkali, kata itu memang telah kaprah dianggap tidak sopan atau jorok—sama seperti kasus kata ‘berak’ di atas—sekalipun itu adalah nama sejenis kue belaka. Tapi anehnya, kawan saya sungkan juga untuk menggunakan istilah lain, misalnya “penis sapi”, untuk menggantikan nama kue kontol sapi itu. Mungkin ia tahu, bahwa penganan itu tidak mungkin berganti nama begitu saja, selain tentu saja tidak lagi cocok penggunaannya. Tapi mengapa mesti menggantinya dengan bintang-bintang? Apakah ini semacam sensor untuk mengaburkan sejenis kejorokan atau kekurangsantunan?

Padahal, bukankah kita telah lama karib dengan aufemisme untuk melembut-haluskan berbagai istilah yang penggunaannya dianggap tidak patut? Atau mungkin, belakangan ini kita sudah tak mampu lagi ber-aufemisme, sebab kelembutan-kehalusan sudah tidak lagi lekat pada diri kita yang saban hari diterpa badai informasi mengenai kekerasan, keliaran, kebrutalan, kecabulan, pembunuhan, dan pemerkosaan.

Maka terhadap sebuah kata pun, kita mesti melenyapkan beberapa atau keseluruhan fonemnya dengan tanda bintang-bintang. Kita menyensornya secara sadar. Meski saya mulai khawatir, jika semakin banyak kata yang fonemnya digantikan tanda bintang, lambat laun kata tersebut akan lenyap dari perbendahaan kata kita. Dan kita tak lagi memiliki istilah yang lahir dari rahim budaya kita sendiri.

Kelak, mungkin saja bait pertama Sajak Sebatang Lisong”-nya WS Rendra akan tercetak begini: Menghisap sebatang lisong,/melihat Indonesia Raya,/mendengar 130 juta rakyat,/dan di langit/dua tiga cukong mengangkang,/ ***** di atas kepala mereka//, sebab kata ‘berak’ sudah tidak lagi kita kenal dalam khazanah perkamusan kita. Semoga tidak.

Dan mungkin benar apa yang disitir Goenawan Mohamad dalam salah satu catatan pinggirnya di Majalah Tempo beberapa tahun lampau. Bahwa para juru sensor serupa regu malaikat yang was-was, gundah, khawatir, sekaligus tak yakin pada optimisme Tuhan, ketika manusia dijadikan sebagai khalifah di bumi. Sekalipun yang dibahas Goenawan Mohamad itu, lebih mengenai sensor film yang kontennya dikategorikan sebagai pornografi.

Namun kini, sejumlah juru sensor juga telah melenyapkan bagian-bagian tertentu dalam sebuah foto dengan cara mengaburkan atau menutupinya. Dan kita, tiba-tiba, merasa perlu menjadi juru sensor juga dengan menyasar sejumlah istilah yang dianggap terlalu jorok, kotor, atau nista dengan cara menggantinya dengan sejumlah tanda bintang—yang entah untuk kepentingan apa atau melindungi moral siapa.

Kini, apakah saya perlu berterima kasih kepada para juru sensor itu dengan mengatakan: “****** ***** *****, ****, ***** ******* ***** ****”? []

KOMENTAR

Penulis buku kumpulan cerpen "La Rungku" (2011) dan "Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar" (2015). Selain produktif menulis cerpen ia juga dikenal sebagai esais. Kini tercatat sebagai kolumnis biem.co.

You don't have permission to register