Ke-aku-an Sangkuriang dalam Topeng Sangkuring
Selasa malam (17/11/2015) di Sunan Ambu ISBI Bandung, saya kembali percaya, bahwa pertunjukan yang digarap dengan eksplorasi yang matang, akan menghasilkan sebuah komposisi yang menjanjikan. Sebuah pertunjukan dari Teater Payung Hitam dan Jurusan Teater ISBI Bandung menghadirkan ekspolarasi bambu dalam sebuah teater bertajuk Teater Topeng Sangkuring dan Sumbi.
Sutradara Rachman Sabur menghadirkan sebuah cerita legenda Sangkuriang yang sudah lekat di ingatan masyarakat. Naskah Utuy Tatang Sontani disadurnya dan dihadirkan dalam sebuah eksplorasi bambu. Sangkuriang diganti namanya menjadi Sangkuring, yang berarti menguatkan posisi identitas Sangkuriang yang ke-aku-an. Mungkin Babeh (panggilan Rachman Sabur) sadar, akan sangat membosankan jika menghadirkan cerita Sangkuriang seperti halnya cerita keumuman, ataupun jika akan dimodifikasi kisahnya tetap saja cerita itu mudah ditebak isinya.
Saya melihat Babeh menghadirkan warna lain. Warna tersebut bukan tertuju pada cerita, namun pada gagasan-gagasan kecil tentang bambu. Ia menghadirkan beberapa bunyi bambu seperti bunyi tek-tek dari kastanyet hasil dari benturan dua bilah bambu yang dimainkan jemari aktor dan difungsikan untuk mengganti dialog. Aktor tidak berdialog secara verbal, tapi verbal aktor digantikan oleh suara bambu. Gagasan itu mengingatkan saya pada sebuah pertunjukan tari Spanyol yang mana musik pun dimainkan oleh aktor/penari sendiri.
Gagasan penggantian verbal aktor dengan suara bambu merupakan gagasan pertama yang menjadi tolak ukur saya dalam menikmati pertunjukan Babeh. Benar saja, hampir seluruh adegan menampilkan gagasan bambu dalam berbagai varian. Dari mulai suara-suara bambu dari berbagai bentuk dan kreasi bambu hingga fungsi artistik berupa setting panggung, kostum, dan tentu saja menjadi suasana yang tercipta dari komposisi bunyi bambu.
Saya nilai Babeh berhasil mengkolaborasikan bambu yang artistik dan memiliki corak bunyi dengan tari dan peristiwa teater. Seperti pada salah satu adegan Sangkuring yang marah karena cintanya ditolak oleh Dewa dan Dayang Sumbi sendiri meninggalkannya (penggambaran menolak karena tidak bisa mencintai Sangkuring). Sangkuring nampak kesal di muka panggung, dan lima orang secara berurutan dan terus menerus memukul bambu gombong yang berderet, sehingga nuansa bunyi menjadi memuncak. Nuansa itu mendukung perasaan Sangkuring yang kesal. Setelah itu, lima orang koor tadi menaiki bambu gombong. Peristiwa tersebut bagi saya menarik, sebab selain secara piktorial panggung menjadi seimbang dan estetik, peristiwa menaiki bambu mengingatkan saya pada permainan panjat pinang atau orang naik kelapa. Dalam artian, ada sesuatu yang diharapkan dan dituju, mungkin seperti perasaan Sangkuring yang ingin digambarkan Babeh.
Hal-hal semacam itu hampir terjadi pada seluruh adegan. Eksplorasi Babeh pada bambu bukan hanya pada bunyinya yang beragam, dengan cara memainkannya yang berbeda-beda. Dari mulai digosok, disentil, dipukul, disentuh berurutan, dan digoyang-goyang. Babeh juga mempertimbangkan bentuk, dari dibuat berderet menyerupai kurung, hingga disimpan mematung dengan memanfaatkan postur bambu yang besar. Babeh pun menggunakan bambu sebagai topeng dan pakaian aktor. Hingga Si Tumang, menggunakan kostum bambu yang seperti robot anjing tapi dengan pakaian bambu.
Subjektif saya, hal tersebut terkesan memaksakan. Seperti pula pada bangun topeng raksasa yang dalam adegan diibaratkan sebagai Dewa. Namun ketika melihat konsep garap Babeh, saya kira topeng tersebut adalah bagaimana Babeh menafsirkan ke-aku-an Sangkuriang. Pertanyaannya, kenapa harus se-verbal itu, se-imanen itu Dewa dalam pertunjukan ini? Dalam artian, jika Babeh ingin menyampaikan kuasa Dewa lewat ke-aku-an Sangkuring, kenapa dicitrakan dalam bentuk topeng raksasa dengan detail ornamen tertentu yang lebih mirip ondel-ondel. Ketika di adegan akhir, Sangkuring memasuki topeng tersebut, Dewa yang imanen itu semakin imanen dan manusiawi. Kemanusiaan Sangkuring pun semakin terlihat di sana, bermata nyala api, menyalak-nyalak, seolah kemarahan Sangkuring tak bisa lagi ditahan oleh syarat apapun.
Jika ditinjau ke awal hubungannya dengan peniadaan Babeh pada identitas tokoh dengan memakaikan setiap tokoh topeng, menunjukan bahwa Babeh mencoba meniadakan identitas tokoh konservatif seperti halnya ia meniadakan dialog pada pertunjukannya. Lantas kenapa Dewa dimunculkan sebagai Dewa yang umum, Sangkuriang yang umum?
Bagi saya, Identitas ini menjadi pembacaan kedua saya pada pertunjukan Babeh. Dari mulai nama Sangkuriang yang diganti menjadi Sangkuring, hingga visualisasi ke-aku-an tersebut. Jujur saja, jika manifestasi Babeh dalam membangun sudut pandang lain tentang ke-aku-an Sangkuriang adalah dengan topeng raksasa yang dimasuki Sangkuring dan seolah ia menjadi dewa, hal tersebut masih terjebak pada paradigma konservatif. Yakni, Sangkuring itu kecewa, marah, dan patah hati. Sangkuriang yang juga hadir dalam kisahnya yang kita kenal selama ini.
Lalu apa fungsi bambu dengan segala eksplorasinya itu? Apa hubungannya mitologi Sangkuriang dengan bambu? Karena tentu saja saya tidak menganggap pementasan ini hanya upaya Babeh untuk menghadirkan tafsir dan gagasannya pada bambu saja. Hal tersebut terlalu sederhana, dalam artian bisa saja cerita diganti dengan cerita lain dan apa masalahnya?
Memahami bambu dalam pertunjukan Babeh, saya melihat gagasan yang hanya nampak permukaannya saja. Tidak ada proses internalisasi bambu terhadap jalan cerita Sangkuriang. Anggapan itu sempat saya simpan ketika melihat adegan terakhir, saat Sangkuring marah yang dicitrakan oleh obor-obor api yang mengelilinginya, sikap destruktifnya mengejar Sumbi, mengacak-acak kurung bambu, lalu masuk pada topeng besar dan topeng itu pun berkelakuan sama dengan Sangkuring. Hal itu bagi saya menarik dan juga disayangkan, sebab topeng raksasa itu kurang mendapatkan perlakuan dan pembangunan imaji dari awal. Ia tidak dibangun sebagai ke-aku-an Sangkuring dari awal, tidak dibangun sebagai final act di dalam cerita. Topeng itu kehilangan makna, apakah ia topeng raksasa biasa, dewa, atau citra Sangkuring sendiri.
Saya gambarkan adegan terakhir itu, Sangkuring masuk ke dalam topeng dengan mata nyala api, lalu keluar dari mulutnya dan memakan mawar, memakan mawar, dan adegan pun selesai. Menurut kalian, apa sebenarnya topeng tersebut? Ke-akuan Sangkuring, dewa yang ada dalam diri Sangkuring? Dan jika mawar itu adalah Dayang Sumbi, kenapa harus dimakan? Teka-teki yang menarik sekali untuk dipertanyakan.[]