Catatan dari “Indonesian Day” di Chiang Rai, Thailand
…
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
…
(Karawang Bekasi, Chairil Anwar)
Kutipan puisi tersebut kiranya tepat dilekatkan kepada para mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Dengan personel kurang dari 20 orang, mereka merencanakan dan mewujudkan rencana dalam sebuah kegiatan untuk memperingati Hari Pahlawan dengan tema “Indonesian Day, Indonesian Spirit of Unity: Empowering Heroism from Indonesia to ASEAN” pada 11 November 2015 di kampus Universitas Mae Fah Luang.
Melalui peringatan Hari Pahlawan, mereka berharap dapat menularkan semangat persatuan dan kebersamaan dari lingkup nasional ke skala lebih luas, yaitu ASEAN. Harapan tersebut memang terkesan utopia bagi kita yang saban hari dijejali berita dan kenyataan di dalam negeri yang kian hari kian menjauh dari semangat untuk bersatu. Namun bukankah yang dilakukan Hatta, Semaun, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, Madjid Djojohadiningrat, dan rekan seangkatan lainnya juga merupakan sebuah kemuskilan pada masanya?
Mari kita tidak memperberat perkara tersebut dan kembali kepada kegiatan mereka di tanah seberang. Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang terdiri dari 10 mahasiswa S2, 4 mahasiswa S1, dan 5 mahasiswa pertukaran pelajar dari IPB yang sedang melakukan penelitian di Universitas Mae Fah Luang untuk satu semester. Dengan jadwal akademik dan penelitian yang padat, serta kebijakan kampus yang tidak selonggar seperti di Indonesia, mereka menyempatkan diri untuk memaknai Hari Pahlawan menurut cara yang mereka pahami dalam sebuah kegiatan bernama Indonesian Day.
Apa yang mereka lakukan sederhana saja. Dengan dibantu oleh segenap staf divisi International Affair, mereka membuat acara seremonial yang dibuka dengan sambutan dari Associate Prof. Dr. Vanchai Sirichana selaku rektor Universitas Mae Fah Luang, yang dilanjutkan dengan Pidato tentang makna pahlawan dan kaitannya dengan ASEAN Community oleh Bapak Lutfi Rauf selaku duta besar negara Indonesia untuk kerajaan Thailand, dan ditutup dengan ramah tamah dan beberapa perlombaan yang galib dilakukan kebanyakan orang Indonesia kala memeriahkan perayaan kemerdekaan Indonesia.
Dalam acara tersebut, mereka tidak sekadar menjadi event organizer, tetapi mereka berpartisipasi dengan menampilkan tari piring, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan menjamu tamu undangan yang datang dengan makanan dan minuman khas Indonesia.
Menu makanan dan minuman yang mereka sajikan pun terbilang biasa. Mereka membuat nasi tumpeng, goreng ayam, goreng tempe, pecel, goreng kerupuk, dan aneka sambal seperti sambal bawang, sambal terasi, dan sambal galendo (ampas minyak kelapa). Untuk membuat makanan dan minuman tersebut, mereka bekerja secara maraton selama empat hari.
Prestasi terbesar mereka dalam kegiatan tersebut adalah membuat tempe. Secara tidak langsung, melalui kegiatan tersebut, para mahasiswa mengenalkan satu jenis lauk nabati asli kreasi Indonesia kepada masyarakat Mae Fah Luang.
Tamu yang hadir dalam Indonesian Day pun tidak kalah biasa. Mereka adalah rektor dan pembantu rektor, Duta Besar Indonesia beserta stafnya, dekan dan dosen, mahasiswa pengontrak mata kuliah Indonesia dan mahasiswa yang punya ketertarikan terhadap Indonesia dan budayanya, serta delegasi dari Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang kebetulan pada waktu itu sedang melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pengajaran BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di Universitas Mae Fah Luang.
Meskipun kegiatan tersebut diselenggarakan secara sederhana dan biasa, Indonesian Day mendapat sambutan luar biasa dari sebagian besar tamu yang hadir. Mereka mengapreasiasi dengan baik kegiatan tersebut dan merasa bersyukur telah datang ke acara tersebut. Hal itu kiranya menjadi motivasi bagi mahasiswa Indonesia untuk mengkreasi kegiatan berikutnya dengan perencanaan dan persiapan lebih matang tanpa meninggalkan kewajiban akademik mereka.
Poin utama dari kegiatan ini adalah gerakan budaya. Melalui gerakan ini mereka dapat mengetahui bahwa perbedaan bukanlah sebuah kendala dan menemukan persamaan di antara sesama, khususnya masyarakat ASEAN.
Maju terus mahasiswa Indonesia, di manapun kalian berada. Berilah kalian punya jiwa, demi mereka yang sudah terbaring mendahului kalian. Salam dari Chiang Rai.[]
Notes from “Indonesian Day” in Chiang Rai, Thailand
(Translated by Muhammad Khalid Wardana)
…
We’ve tried what we could
But the work is not finished, yet nothing
…
(Karawang Bekasi, Anwar)
Presumably, the above quotation of the poem is attached to Indonesian students who are studying at Mae Fah Luang University, Chiang Rai, Thailand. With less than 20 personnels, they planned and realized the plan in an activity to commemorate Heroes Day with the theme “Indonesian Day, Indonesian Spirit of Unity: Empowering Heroism from Indonesia to ASEAN” on November 11, 2015 in Mae Fah Luang University campus.
Their hopes through the memorial day of Indonesian national heroes can transmit the spirit of unity and togetherness of the national scope to a wider scale, namely ASEAN. These expectations may seem utopian for us that every day loaded with news and reality in the country that are increasingly moving away from the spirit of unity. But were not they; Hatta, Semaun, Sastroamidjojo, Datuk Nazir Pamuntjak, Madjid Djojohadiningrat, and other contemporary colleagues also doing an abstruseness of its time?
Let us not aggravate the matter and get back to their activities on the land side. They are students of Indonesia, which consists of ten postgraduate students, four undergraduate students and five exchange students from IPB doing their research on campus for one semester. With a very tight schedule of academic and research, and campus policies that do not give more leisures such as most campuses in Indonesia, they took the meaning of this momentum more in a way they understand it in an activity called Indonesian Day.
What they do is simple. With the assistance of the whole staff of the International Affairs division, they made a ceremonial event opened with remarks from Associate Prof. Dr. Vanchai Sirichana as rector of the University of Mae Fah Luang, followed by a speech on the meaning of the national heroes and the relation with ASEAN Comunity by Mr. Lutfi Rauf as the ambassador of Indonesia to the Kingdom of Thailand, and closed with a suave and some races that traditionally most Indonesian people do to enliven Indonesian independence celebrations.
In the event, they do not just become an event organizer, but they participate with featuring Tari Piring, poetry readings, musical poetry, and serving guests who come with typically Indonesian foods and drinks.
The menu of food and drink that they serve was fairly ordinary. They make a cone-shaped rice, fried chicken, fried tempeh, pecel, fried crackers, and various sambal such as sambal bawang (garlic chili sauce), sambal terasi, and sambal galendo (coconut waste oil). To make foods and drinks, they work in a marathon for four days.
Their greatest achievement in these activities is to make tempeh. Indirectly, through these activities, the students introduce one kind of a native Indonesian vegetable dishes creations to the public in Mae Fah Luang University.
Guests who attended the day were no less unusual. They are rectors and vice rectors, the Indonesian ambassador and staffs, deans and professors, students studying Bahasa Indonesia courses and students who have an interest in Indonesia and its culture, as well as delegates from faculty of Indonesian Language and Literature Graduate School of Indonesia University of Education doing a visitation to know the development of the teaching of BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) at Mae Fah Luang University.
Although the event was held in a simple and ordinary way, Indonesian Day got tremendous response from most guests in attendance. They appreciated these activities and felt grateful to have come to the event. It would be a motivation for Indonesian students to the next creative activities with the planning and preparation of a more mature way without leaving their academic obligations.
The main point of this activity is a cultural movement. Through this movement they can know that the difference is not an obstacle and they can find similarities among people, especially the ASEAN community.
Keep moving forward Indonesian students, wherever you are. Give your soul, for the sake of those who are lying ahead of you. Greetings from Chiang Rai.[]