Malioboro; Jalan Para Wali, Dulu dan Kini
tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu
(Tujuh Cemara, Umbu Landung Paranggi)
Menceritakan Malioboro tidak elok rasanya kalau tidak dimulai dari kutipan puisi Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi, salah satu pendiri Persada Studi Klub (PSK), sebuah sekolah yang memperkenalkan ‘kehidupan puisi’ pada para anggotanya di Malioboro sekitar tahun 70-an.
Dari ajaran ‘kehidupan puisi’ Umbu di sekolah Malioboro inilah lahir banyak seniman, sastrawan, dan juga budayawan. Ada Linus Suryadi AG, Imam Budi Santoso, Teguh Ranusastra, Ragil Pragolapati, Emha Ainun Najib, dan lain-lain.
Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak Nun, ketika orasi budaya di Pergelaran Keraton Yogyakarta, pada tahun 2012 menerangkan arti kata Malioboro. “Malio” artinya jadilah Wali, “boro” artinya yang mengembara. Malioboro artinya jadilah Wali yang mengembara: mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, dan berkelana di langit ruhani.
Pernyataan Cak Nun di atas menegaskan makna filosofis sebuah jalan bernama Malioboro. Sebuah jalan kehidupan puisi yang dihidupkan oleh Umbu ketika mengasuh rubrik sastra dan puisi di mingguan Pelopor Yogya pada tahun 1969 – 1975. Dimana para penulis yang tergabung di PSK diajak Umbu untuk mengekplorasi potensi-potensi kreatifnya. Di ajak jalan langsung untuk merasakan pengalaman puisi.
Puisi Umbu yang saya kutip di atas, itu adalah bait ke empat dari puisi berjudul ‘Tujuh Cemara’ terhimpun dalam Antologi Puisi Indonesia, The Ginseng, yang diterbitkan oleh Sanggar Minum Kopi, Denpasar, 1993. Dalam bait puisi tersebut Umbu menyebut tiga kata yang merujuk pada tempat yakni kata Yogya, Malioboro, dan Bringharjo. Tiga kata ini erat kaitannya dan tidak bisa dipisahkan keberadaanya.
Bagi para pelancong yang datang ke Yogya rasanya kurang apdol kalau tidak merasakan Malioboro, begitupun ketika jalan-jalan di Malioboro rasanya belum sempurna kalau tidak mampir di pasar Bringharjo. Pasar legendaris yang sudah berdiri tidak lama setelah berdirinya kraton Yogyakarta tahun 1758.
Bringharjo memiliki makna harafiah hutan pohon beringin, konon karena dulunya wilayah tersebut adalah hutan beringin. Dalam catatan sejarah, nama Bringharjo diberikan setelah bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tanggal 24 Maret tahun 1925. Nama Bringharjo dipilih karena pohon beringin merupakan lambang kebesaran dan pengayoman bagi banyak orang. Diharapkan pasar tersebut memberikan kesejahteraan bagi warga Yogyakarta.
Selain itu, pasar Bringharjo merupakan salah satu bagian dari rancang bangun pola tata kota Kesultanan Yogyakarta yang disebut Catur Tunggal. Pola tata kota ini mencakup empat hal yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai ruang publik, Masjid sebagai tempat ibadah, dan pasar sebagai pusat transaksi ekonomi.
Konsep Catur Tunggal ini untuk mengatur keseimbangan antara kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan spiritualisme dalam suatu ruang bersama. Sepertinya sekarang, konsep ini mulai ditinggalkan, bila melihat model pembangunan di Yogya yang mengedepankan sisi ekonomi semata.
Sekarang Malioboro sudah banyak berubah. Mall dan Hotel tumbuh subur, pedagang menjamur di mana-mana. Orang yang datang kebanyakan sekedar melancong meninggalkan tumpukan sampah. Karya seni berupa patung ataupun instalasi yang disimpan di sepanjang jalan Malioboro, posisinya hampir sama seperti andong dan becak yang dipertahankan terus ada hanya untuk daya tarik wisata.
Dihari-hari libur jalanan macet, orang berkerubung hanya untuk cari lokasi berfoto atau selfie atau melakukan jual-beli. Urusan ekonomi rasanya sekarang lebih dominan ketimbang urusan seni.
15 September 2015
Tentang Penulis
Iman Abdurrahman. Aktivis Jaringan Radio Komunitas Indonesia. Tinggal di Bandung.