Fb. In. Tw.

Suroloyo: Antara Mitos dan Tradisi

Di puncak Suroloyo kutemukan catatan yang tertinggal
Jejak tapak Mas Rangsang pertama kali sampai
Mencapai tahta yang telah lama ingin digapai
Membangun tapa tunduk semadi
(Nugraha, 2011 dalam Santosa & Hasyim, 2014: 48)

Sejenak menyandarkan tubuh, melepas lelah di warung bambu sederhana milik Parji, juru kunci Suroloyo. Segelas minuman jahe hangat telah mengembalikan tenaga yang terkuras setelah berjalan menaiki lebih dari 250 anak tangga menuju puncak Suroloyo. Melihatku kelelahan dan tampak tidak tergesa untuk beranjak, pria bertubuh kurus dan berjambang ini memulai kisahnya. Kisah tentang puncak tertinggi di pegunungan Menoreh yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Sultan Agung Hanyokrokusumo atau Raden Mas Rangsang ketika beliau masih menjadi putra mahkota Kerajaan Mataram Islam.

“Raden Mas Rangsang mendengar bisikan gaib, jika akan menjadi penguasa Tanah Jawa supaya berjalan ke barat dari pusat Kraton Kotagede. Tubuhnya kelelahan setelah berjalan puluhan kilometer. Di tengah rasa kantuk yang tak tertahankan, ia pun tertidur dan kembali mendengar bisikan supaya bersemadi di salah satu puncak perbukitan Menoreh yang dikenal dengn nama Puncak Suroloyo,” ungkap Parji yang sebenarnya enggan disebut juru kunci Suroloyo.

Semilir angin dan hawa dingin khas pegunungan menghantarkan kaki ini menapak penuh semangat ke arah barat menuju puncak lain yang disebut Sariloyo. Di puncak kedua ini, aku tidak lagi melihat dengan jelas sawah yang menghampar luas dan Candi Borobudur seperti ketika berada di puncak Suroloyo. Mata dimanjakan dengan pemandangan gunung kembar, Sumbing dan Sindoro yang terlihat sangat dekat.

Setelah puas menikmati puncak Sariloyo, tubuh ini kembali terbawa keinginan menaiki jalan setapak berjarak kira-kira 200 meter menuju pertapaan Kaendran. Samar-samar terlihat Pantai Glagah, Kulonprogo, warna biru langit berbatas dengan abu-abu membentuk sebuah garis cakrawala indah.

Senja mulai turun, namun bukan akhir dari petualangan hari ini. Geliat warga Dusun Keceme, Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo baru dimulai. Penduduk setempat mengenakan busana tradisional. Anak-anak menari, berpesta penuh sukacita di sepanjang jalan. Mereka sedang berkumpul di sekitar Puncak Suroloyo untuk merayakan ritual tolak bala yang diperingati setiap tahun baru Jawa (1 Suro) bersama dengan ribuan orang yang datang dari daerah lain.

Berjalan di tengah gunungan hasil bumi, berbaur dengan masyarakat. Disambut iring-iringan musik kirab, menyusuri jalan berkelok tajam penuh tanjakan curam dan jurang di sisi kanan-kiri. Pasukan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berjalan di barisan pertama, membawa Tombak Kyai Manggolo Murti dan Songsong Kyai Manggolo Dewo, diarak menuju Sendang Kawidodaren untuk dibasuh. Konon, sumber mata air yang tidak pernah kering ini dipercaya sebagai tempat mandi para bidadari.

Aku teringat kata-kata Parji yang menyimpan pesan moral yang tinggi mengenai tombak dan songsong saat ia mengakhiri ceritanya. Tombak merupakan simbol bahwa pemimpin itu harus lurus ketika melayani masyarakat, jangan seperti keris yang berkelok-kelok. Songsong itu artinya payung yang digunakan untuk memayungi rakyatnya supaya tenteram.

Di akhir pembersihan pusaka, suasana berubah riuh rendah karena penduduk di sekitar Suroloyo beramai-ramai berebut berkah dari gunungan hasil bumi. Mereka percaya bahwa dengan membawa hasil bumi menjadi tanda Tuhan Yang Maha Kuasa juga akan melimpahkan berkah pada mereka setahun ini.[] Yogyakarta, 09 September 2015

Sumber Pustaka:
Nugraha, Latief S, 2011, Puncak Suroloyo, (dalam Santosa & Hasyim, 2014, Antologi Puisi 90 Penyair Yogya, Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya), Yogyakarta: Pesan Trend Budaya Ilmu Giri.

 

Tentang penulis
Caecilia Novi Rahayu, alumnis S1 Komunikasi, FISIPOL Universitas Atma Jaya Yogyakarta

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register