Perjalanan Spiritual Di Kawali Ciamis
Bagaimana rasanya menjadi Prabu Hayam Wuruk? Mencintai Putri dari tanah Sunda, namun karena Sumpah Palapa Gajah Mada, yang saat itu menjadi Patihnya, akhirnya harus rela melihat gadis yang dicintainya bunuh diri, karena sang gadis, tak ingin dianggap takluk, dan menerima begitu saja kekalahan.
Bagaimana rasanya menjadi Dyah Pitaloka? Putri yang melakukan perjalanan jauh ke tanah Jawa untuk dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk, namun di tanah Bubat dia dianggap sebagai upeti, tanda penyerahan diri kerajaan yang dipimpin oleh ayahnya, Raja Linggabuana.
Saya selalu teringat sebuah puisi dari Dian Hartati yang berjudul “Di Kawali, Aku Berburu Cahaya” setiap kali mengunjungi Situs Astana Gede Kawali.
sampurasun,
di manakah dirimu pitaloka
aku mencari pintu pertemuan
kubawakan jantung pinangan
yang tak rakus akan kuasa
Bait pertama puisinya selalu membuat saya seolah-olah menjadi Prabu Hayam Wuruk, yang tiba-tiba datang mengunjungi Situs Astana Gede, mencari kembali Putri Dyah Pitaloka, berharap bisa meminangnya dengan tulus. Tanpa keinginan menaklukan. Tanpa keinginan menguasai.
Situs Astana Gede
Saat pertama kali memasuki Situs Astana Gede Kawali, saya seperti dibawa ke masa lalu. Mengingat lagi sejarah kelam dari politik kekuasaan yang tak mengenal kata kawan. Gajah Mada dengan sumpah palapa-nya, terlihat gagah, karena mampu menyatukan nusantara di bawah kerajaan Majapahit. Namun di balik itu, kita tak pernah tahu, berapa banyak darah telah tumpah.
Situs Astana Gede Kawali berada di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di dalam situs seluas 5 hektar ini kita bisa melihat bermacam peninggalan bersejarah, seperti prasasti, punden berundak, menhir, dan makam-makam kuno bercorak Islam. Situs ini diyakini sebagai komplek kerajaan Sunda-Galuh. Mengingat letaknya yang berada di sebelah timur laut Gunung Sawal.
Memasuki gerbang Situs Astana Gede, kita akan diberi pemandangan, sebuah jalan setapak yang rapi. Kiri kanan jalan ditumbuhi pohon-pohon besar. Daun-daunnya yang rimbun, membuat sinar matahari hanya bisa masuk di antara celah dedaunan. Membuat keadaan di dalam Situs Astana Gede senantiasa teduh, meski di luar panas begitu menyengat.
Beberapa meter dari gerbang, tepatnya di sebelah kanan, ada jalan yang lebih kecil, jalan ini akan mengarahkan kita menuju beberapa menhir, yang dipercaya sebagai tempat penyimpanan abu dari Putri Dyah Pitaloka, Prabu Linggabuana dan istrinya, Permaisuri Rara Lingsing.
Masuk lebih dalam lagi, kita akan bertemu dengan beberapa prasasti. Prasasti yang bertuliskan aksara Sunda kuno. Salah satu isi prasasti ini menceritakan jaman kekuasaan Prabu Niskala Wastukancana, adik dari Putri Dyah Pitaloka, yang tidak ikut ke tanah Bubat.
Selain menhir dan prasasti, terdapat juga punden berundak dua teras. Pada puncak teras terdapat makam Kiai Adipati Singacala. Selain makam itu, ada juga beberapa makam lainnya. Makam-makam tersebut seringkali menjadi tujuan para peziarah.
Memasuki Situs Astana Gede lebih dalam lagi, kita seperti sedang memasuki hutan kecil. Di ujung hutan, kita akan bertemu dengan Cikawali, sebuah kolam berukuran kurang lebih 5×5 meter. Konon katanya, ini adalah tempat mandi para putri.
Situs Astana Gede adalah sebuah saksi bisu, yang akan bercerita kepada kita hari ini, bagaimana nafsu kekuasaan membutakan siapa saja, dan membuatnya menghalalkan segala cara, agar tercapai apa yang menjadi cita-citanya.
Sampai hari ini, kekuasaan seringkali membutakan si penguasa, dan membiarkan si kecil menjadi korban. Kematian Putri Dyah Pitaloka, Raja Linggabuana beserta istri dan pasukannya, tentu hanyalah contoh kecil di masa lalu, dan masih akan terus terjadi hari ini, apabila para pemilik kekuasaan di negeri ini, tak pernah ingat kepada rakyat kecil, yang menyimpan harapan besar kepada pemimpinnya untuk perubahan yang lebih baik. Seperti harapan Dyah Pitaloka kepada Hayam Wuruk yang akan meminangnya, namun berakhir dengan kematian.
Ada yang menarik Di Situs Astana Gede Kawali ini selain berbagai peninggalan bersejarah. Setiap dua tahun sekali selalu digelar sebuah acara yang bernama Nyiar Lumar.
Nyiar Lumar
Di Situs Astana Gede Kawali selalu digelar sebuah acara yang diberi nama Nyiar Lumar. Acara dua tahunan ini telah berlangsung sejak tahun 1998. Nyiar Lumar terakhir digelar pada tanggal 11 Oktober 2014.
Acara Nyiar Lumar biasanya berlangsung semalam suntuk. Sejak sore hari peserta telah berkumpul di Pendopo Kawali. Di pendopo inilah acara akan dibuka dengan sambutan-sambutan dan beberapa kesenian tradisi.
Selesai pertunjukan kesenian di Pendopo Kawali, peserta akan dibekali obor untuk melakukan perjalanan menuju Situs Astana Gede Kawali. Perjalanan menuju Situs itu biasa disebut sebagai acara “Lalampahan”.
Udara yang dingin, malam yang gelap, akan menyisakan perasaan berbeda dalam diri setiap peserta. Hanya dengan cahaya obor, peserta berjalan bersama-sama, biasanya ada kesenian Genjring Ronyok yang menemani selama acara Lalampahan berlangsung.
Malam semakin merayap saat para peserta tiba di gerbang Situs Astana Gede Kawali. Di gerbang inilah biasanya peserta akan disambut dengan kesenian pembuka. Kesenian pembuka menuju kesenian-kesenian lainnya yang akan berlangsung di dalam areal Situs.
Gerbang Situs Astana Gede akan dipenuhi cahaya obor. Ini mengingatkan saya pada bait kelima dari puisi Dian Hartati.
lihat langkahku
digiring oborobor, disembilu luka tahunan
seluruhnya adalah kehendak semesta
doa wastu kencana yang kehilangan raga sang kakak
aku datang kembali padamu
mempertaruhkan segala sumpah
— agar lama jaya di buana —
Berbagai macam kesenian tradisi silih berganti, berbaur dengan kesenian kontemporer dari para seniman dan budayawan di Jawa Barat. Ya, Nyiar Lumar biasanya tidak hanya diisi oleh seniman lokal Ciamis, melainkan seniman dari luar Kabupaten Ciamis.
Seperti halnya pengisi acara, peserta Nyiar Lumar pun berdatangan dari berbagai wilayah, tidak hanya masyarakat setempat. Acara ini menjadi semacam hajat masyarakat Jawa Barat, yang masih peduli pada peninggalan masa lalu.
Di penghujung malam, acara Nyiar Lumar biasanya ditutup oleh kesenian Ronggeng Gunung. Hampir seluruh peserta yang tersisa di tempat acara biasanya ikut menari ronggeng gunung. Tari Ronggeng Gunung sendiri memiliki gerak yang khas, bagi mereka yang belum terbiasa, akan dituntun untuk menyelaraskan gerak kaki dan tubuh agar bisa seirama.
Menjelang subuh acara Nyiar Lumar berakhir. Peserta satu persatu meninggalkan areal Situs Astana Gede Kawali. Membuat Situs yang semula sunyi kembali sunyi.
cahaya tetap kucari
di antara batubatu
jejak masa lalu
di antara rimbun pohonan
isyarat semesta
di manakah dirimu pitaloka
aku mencari pintu pertemuan
celah yang mengabadikan cinta
Begitulah bait terakhir dari Puisi “Di Kawali, Aku Berburu Cahaya” karya Dian Hartati. Mungkin seperti Prabu Hayam Wuruk yang berharap bisa menemukan Putri Dyah Pitaloka, cintanya yang tak pernah sampai. Saya selalu berharap bisa menemukan jejak masa lalu di antara batu-batu dan rerimbun pohonan saat memasuki Situs Astana Gede Kawali. Ya, jejak masa lalu. Jika Anda memiliki waktu luang, perjalanan ke Situs Astana Gede Kawali patutlah dicoba.[]
Tentang Penulis
Wida Waridah. Buku cerpen pertanya berjudul Laila dan lelaki Penghitung Gerimis. Tinggal di Ciamis