Taman Sari, Potret Kehidupan Kaum Hawa
Inspirasi bisa datang dari mana saja. Perempuan sering kali menjadi inspirasi penciptaan berbagai karya di dunia. Salah satunya ialah Taman sari sebagai sebuah karya arsitektur yang tercipta khusus bagi kaum perempuan keraton Jogja. Apakah makna yang dapat kita petik dari sana?
Taman Sari secara khusus diperuntukkan bagi Sultan dan istri/selir serta para putri Sultan. Sementara para selir dan putri mandi dalam keadaan telanjang, Sang Sultan akan mengamati para istrinya dari menara yang berada di bagian tengah bangunan. Bagi selir yang paling mengesankan, akan menerima lemparan bunga oleh Sultan. Itu sebagai tanda panggilan untuk menemani Sultan di menara tersebut.
Salah seorang seniman yang aktif dalam Teater Garasi Yogyakarta yaitu Gunawan Maryanto pernah menelurkan karya pusi yang berjudul “Alap-alap Surtikanti”. Maryanto meneropong kehidupan perempuan yang berada di lingkungan Taman Sari ini. Berikut petikan puisinya:
Alap-Alap Surtikanti
Suatu kali aku bersembunyi
di gelung rambutmu
Berdiamlah di sana, katamu,
rumahkanlah kesepianmu
Dan bau lehermu menidurkanku
menjaga kesedihan
Yang berkeliaran sepanjang
tembok Taman Sari
Tinggallah di sana, katamu,
selesaikan pelarianmu
Tapi tubuhmu bukan makamku
Tak ada namaku di sana
Sesungguhnya puisi dari Gunawan Maryanto tersebut hanyalah salah satu catatan yang menguak sisi lain kehidupan di balik tembok istana. Keberadaan perempuan dan ritual seks adalah bagian dari simbol kekuasaan. Bergabung dan menjadi anggota keluarga istana dianggap salah satu cara untuk menaikkan status sosial para perempuan. Sehingga tak heran jika banyak perempuan yang mengidamkan untuk bersanding dengan para penguasa. Bahkan, adapula perempuan yang rela menjadi selir untuk bisa menemani tidur hingga melahirkan anak bagi sang raja.
Pada kenyataannya, hingga saat ini perempuan kerap kali dijadikan alat oleh segelintir orang untuk memuluskan rencana dan karirnya. Beberapa orang bahkan mengunakan perempuan sebagai alat transaksi untuk mendapatkan kesepakatan yang diinginkan. Anda masih ingat dengan Ahmad Fatonah bukan? Ia adalah orang yang tertangkap tangan oleh KPK. Saat itu ia bersama seorang perempuan yang diduga PSK berada di sebuah hotel, berkaitan dengan kesepakatan proyek pengadaan sapi yang melibatkan beberapa petinggi sebuah partai.
Sejumlah pria bahkan menjadikan perempuan sebagai kedok untuk menyembunyikan kejahatan yang dilakukannya. Seorang jendral polisi bernama Djoko Susilo yang menjadi tahanan KPK karena memiliki rekening gendut. Dengan rapi, sang jendral menyimpan hasil kejahatannya lewat pernikahan yang dilakukan dengan sejumlah perempuan. Penangkapan tersebut menguak kelakuan busuk para koruptor yang memanfaatkan perempuan sebagai alat pencucian uang.
Sejarah seolah terus berulang dalam versi yang berbeda. Perempuan dianggap sebagai komoditas dan pelengkap bagi para penguasa. Kaum hawa dipaksa untuk menerima keadaan tersebut. Akankah kita membiarkan hal ini terus berlangsung? Pilihan ada di tangan Anda.[]
Tentang Penulis
Susana Febryanty. Lahir di Jayapura, 6 Februari 1982. Lulusan Jurusan Psikologi, Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta.