Ilham Dari Legian
Barangkali Sheridan Johns (22) bukan satu-satunya orang asing yang rajin berkunjung ke Legian, Bali. Sejak tahun 2011, ini adalah kesembilan kalinya gadis itu kembali ke tempat ini. “Sudah empat bulan saya di sini. Itu pacar saya! Ganteng ya?” katanya spontan dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.
Ia mengaku sedang cuti kuliah dari jurusan kedokteran hewan di Australia dan kini tengah berpacaran dengan Komang Rob, pemilik kedai minum sederhana di tepi pantai Legian. Selain menemukan teman, di Legian ia akhirnya menjumpai lelaki idamannya yang berkulit eksotis, perawakan khas local boy di daerah pesisir Bali Selatan. Hal ini kemudian juga memengaruhi niatannya belajar bahasa Indonesia di Seminyak Language School.
Di samping hubungan cinta, ada berbagai alasan lain yang juga melatari kedatangan orang asing ke Legian. Bila sekarang sebagian di antaranya berkunjung untuk berpelesir, dulu, pada era 1970-an, tak sedikit yang bertandang sebagai kaum hippies yang “menolak” modernitas di negaranya namun merasa menemukan “surga” di tempat yang berbatasan dengan daerah Kuta ini.
Sitor Situmorang, penyair asal Sumatra, pun terilhami oleh Legian. To My Friends on Legian Beach adalah salah satu sajaknya yang melukiskan pengalaman batinnya di tahun 1976, pasca keluar dari penjara sebagai tahanan politik Orde Baru.
“I am the hippies/ the afro-wig/ at home/ while homeless/ the blowing ocean wind my cap under Bali’s Sun—Akulah hippies/rambut tiruan para afro/di rumah/sementara diri tak berumah/ desir laut menghembus topiku di bawah matahari Bali…”
Dalam puisi yang juga pernah digubah menjadi lagu oleh Guruh Sukarno Putra ini tercermin ikatan emosional Sitor kepada Legian. Ia merasa seperti hippies, yang seolah tak berumah dan terasing bahkan di negerinya sendiri. Legian memang menjadi salah satu tempat Sitor “memulihkan jiwanya” setelah bebas dari bui.
Lalu bagaimana makna Legian bagi orang Bali terutama warga lokal setempat? Mereka rupanya juga menjadikan tempat ini sebagai lumbung inspirasi sekaligus mencari penghidupan. Mulai dari menjadi topik penelitian para akademisi lintas bidang, bahan menulis karya sastra, lokasi pemotretan pra-wedding serta ruang yang memberi kesempatan masyarakat Bali untuk mencipta lapangan pekerjaan.
Adhi Bawana (35) yang 16 tahun bekerja sebagai lifeguard menyampaikan bahwa sebagian besar fasilitas wisata di Pantai Legian seperti penyewaan kursi, papan selancar dan kedai minum serta penyedia jasa pijat, gambar tato dan lain-lain, izinnya sudah dimiliki oleh warga asli Desa Legian. “Setiap Kepala Keluarga mendapatkan satu kartu izin usaha di sini,” ujarnya.
Seperti arti namanya (legi: manis), Legian bak butiran gula yang mengundang orang-orang dan dolar berdatangan selama sekian puluh tahun lamanya. Memang, pasca peristiwa ledakan Bom Bali I tahun 2002, jumlah kunjungan turis menurun drastis. Hal ini berdampak bagi laju perekonomian masyarakat. ”Sempat sepi dulu, tetapi makin lama tamu-tamu datang lagi dan sampai sekarang orang-orang masih kembali ke sini” kata Adhi.
Terlepas dari segala citraan dan mitos pulau Bali, termasuk Legian di dalamnya, serta hiruk pikuk kendaraan yang semakin memadati jalanan, bagaimanapun, sebuah tempat yang telah menyimpan kenangan serta selalu menawarkan kesempatan bahkan ilham memang tak akan mudah untuk diabaikan.
Tentang Penulis
Ni Made Frischa Aswarini. Bergiat di Komunitas Sahaja, Denpasar, Bali.