Surosowan
Aku mencari-cari keberadaan dirimu
Di antara batu-batu purba itu
Surosowan, demi malam kan kukutuk bulan menjadi awan
Kalau menggugurkan impianku membacakan kisahmu.
(Surosowan Pada Catatan Duka, Bagus Bageni)
Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, ketika si Hitam memasuki jalanan menuju sisa peninggalan kejayaan kerajaan Banten di masa silam. Keraton Surowosan. Keraton yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kehidupan para sultan Banten.
Di pertigaan jalan, reruntuhan keraton Surosowan terlihat membentuk benteng panjang. Tampak, pagar kawat mengelilinginya. Segerombolan kambing merumput di dalam antara pagar kawat dan benteng.
Seorang berdiri di pertigaan jalan, mencoba memberhentikan si Hitam yang menuju ke arah museum Surosowan. Tangannya mengisyaratkan bahwa kita harus memberikan uang lewat. Sang pengendara di sebelah dengan cuek tetap mengendarai kendaraan menuju museum, tak menghiraukan teriakannya.
“Ayah, kita harusnya keliling lewat sebelah sana!” tunjukku ke arah jalur satunya yang menuju ke arah kumpulan kios-kios tenda biru. Sang pengendara di sampingku diam seribu bahasa. Aku tahu, dirinya tidak suka pungutan tak jelas.
Benteng Surosowan perlahan menghilang dari pandangan. Deretan kios-kios non permanen berdindingkan plastik terpal biru menutup keindahan reruntuhan sejarah.
Ya, keraton Surosowan yang dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Sultan pertama Banten, kini hanya menyisakan puing reruntuhan yang hampir rata dengan tanah. Tidak tampak struktur bangunan keraton yang jelas, maupun bentuk gerbang Paduraksa ataupun gerbang candi Bentar seperti halnya keraton Kaibon ataupun bangunan keraton lainnya di Jawa. Yang tersisa hanyalah bangunan benteng terbuat dari batu bata merah mengelilingi hamparan rumput yang luas.
Surosowan berselimut duka yang tak lekang disiram air hujan di atas bumi Maulana Hasanuddin. Menjadi saksi bisu kejayaan kesultanan Islam Banten, sekaligus menjadi saksi pertikaian seorang ayah dan anaknya yang membawa kepada kehancuran Surosowan. Ketika kekuasaan meluluhlantakan ikatan persaudaraan, tidak ada lagi kejayaan tersisa.
Surosowan, pada zaman kegemilangannya, merupakan kota cantik yang dikelilingi air. Laksana Venesia, negeri air yang molek. Iringan ibunda Sultan dan para putri berangkat dari Kaibon menaiki perahu kecil menuju keraton Surosowan, kediaman sang Sultan. Perahu besar lalu lalang melalui kanal yang mengelilingi Surosowan, melewati jembatan Rantai yang bisa terbuka dan tertutup bak jembatan London.
Surosowan bukan hanya merujuk kepada keraton utama, tetapi Surosowan merupakan ibu kota kerajaan. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia berdatangan dan bertransaksi di Surosowan, kota Intan. Sang Sultan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Membangun sistem persawahan. Mengembangkan teknologi penjernihan air (Pengindelan), dan lainnya. Area persawahan nan hijau sampai saat ini masih dapat dinikmati keindahannya di daerah Tasik Kardi dan Sawah Luhur.
Antar umat beragama hidup berdampingan dengan harmonis di bawah kearifan kepemimpinan Sultan. Sayang, masa gemilang ini harus berakhir. Tapi rindu akan kejayaan Banten selalu membuncah di dada. Seperti yang tersirat dalam puisi “Surowosan Pada Catatan Duka” karya Bagus Bageni, mengisyaratkan letupan kerinduan masa kejayaan Surosowan. Menapaki jengkal demi jengkal gundukan batu merah Surosowan, membayangkan kegemilangannya dan berandai-andai. Andaikan waktu dapat diputar kembali.[]
Tentang Penulis
Levina Mandalagiri. Lahir di Ciamis, 17 Juni 1977. Saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Anyer, Banten.
Sorry, the comment form is closed at this time.
Nichealeia
Hayuk atuh pada kesini. jalan jalan ke Surosowan
yani suryani tolib
Waktu kecil pengen banget melihat puing surowosan.sampe sekarang belum kesampaian.kapan ya.
azzury
Waaah kapan ya bisa kesana..
Nunggu liburan panjang dulu ah….
Nice, …