Fb. In. Tw.

Kampung Baru Yang Menjadi Kota

Kampung kita jauh berubah. Sawah-sawah
hilang, dangau-dangau alih rupa. Hanya kamu
–kenangan pada sebuah siang masih sama.
Orang kaya dari kota membeli tanah-tanah.
Digantinya padi-jagung dengan supermarket.
Tak ada lagi tempat buat ciuman pertama.

 

Kutipan sajak dari Khrishna Pabichara “Dangau Sepi dan Ciuman Pertama Kita” itu, mungkin cocok bagi Kampung Baru yang kini sawah dan dangaunya tinggal kenangan. Setelah amukan air bah, Kampung Baru, memang menjadi daerah langganan banjir. Dataran tanahnya rendah. Jika hujan, banjir kiriman yang berasal dari kompleks sekelilingnya tak segan mampir, melalui drainase besar Kampung Baru yang berhiaskan sampah.

Di Kampung Baru, hidup seorang tua bernama Daeng Naba. Dulunya ia adalah petani di Kampung Baru. Pekerjaannya sekarang hanyalah mencicipi masakan istrinya saja di rumah.

“Sudah berapa tahun saya berhenti kerja, selain karena fisik tidak mendukung. Juga karena pemilik sawah telah menyewakan sawah yang dulunya saya garap,” ujarnya.

Kampung Baru diakuinya kini telah menjadi semi kota. Cuitan burung pipit yang setiap pagi didengarnya telah berkurang. Sejuk hembusan angin yang membelai tubuh cekingnya, berganti cuaca terik menyengat.

Sawah berganti tanah lapang. Dan diatasnya berpijak tiang pemancar telekomunikasi. Masyarakat sekitar menyukainya, sebab jaringan telepon genggam mereka melaju tanpa hambatan.

“Sebagian sawah disewakan pada pengelola bts untuk dipasang pemancar. Melalui persetujuan masyarakat sekitar dari awalnya.” kenang Daeng Naba.

Sementara, Kasma, seorang masyarakat Kampung Baru yang sehari-harinya adalah pengasong jalangkote (pastel ala Makassar), punya kisah tersendiri dengan sawah dan dangau.

Kelima anak Kasma pernah mencecap asyiknya memanfaatkan dangau dan sawah. Menangkap belut dan mencari siput sebagai makanan santap malam atau sekadar irisan umpan untuk ikan.

Setiap pagi pula, sehabis memandikan anaknya dari turun temurun, dia membawanya ke dangau, sekaligus berjemur dengan terpaan matahari yang belum terik. Rutinitas tersebut dipercaya Kasma menyehatkan tubuh anak.

“Selain di rumah, saya dulu ajak mereka bermain dan menyanyi lagu tepuk-tepuk tangan di Dangau. Itulah momen pengiring mereka sampai dewasa.” dia menerawang, menatap langit-langit rumahnya.

Selain dangau, hawa dingin ketika malam tiba adalah ciri khas Kampung Baru. Apalagi sinar bulan mirip senter besar dengan suara jangkrik bersahutan, juga suara kodok yang menambah kesyahduan malam di Kampung Baru.

“Saking dinginnya anak-anak jadi cepat tidur. Kalau sudah mengadu sama bapaknya, bapaknya langsung pasang kelambu dan digendong ke tempat tidur. Sebelum tidur, mereka dilantunkan kelongkelong sambil dicampacampa.” lirihnya mengenang Asdar, suaminya. Di tahun 2005 Asdar meninggal tanpa sakit yang tak bisa didiagnosa lebih jauh. Olehnya, Kasma hanya bisa menerka Asdar sakit demam belaka.

Kini, Kampung Baru telah jauh berubah. Beberapa ratus meter dari rumah Kasma pembangunan makin menggeliat. Telah banyak pasar modern mini bermunculan. Meski begitu, Kasma dan anak-anaknya senang berbelanja di sana.

“Syahrul senang belanja di sana. Biasanya ia suka beli es krim atau coklat. Uangnya pun dari hasil menjajakan kue keliling Kampung Baru.” Dari perubahan yang signifikan tersebut, Kasma tetap merawat masa lalunya sebagai kenang-kenangan.

“Anak-anak dan saya juga kini menikmati semuanya” tutupnya.

Makassar, 5 September 2015

 

 

Tentang Penulis
Muhammad Almaliki. Bekerja di sebuah perusahaan media di Makasar.

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register