Masyarakat dan Hasrat
Ajaran salah satu agama melihat bahwa hidup adalah penderitaan. Dan penderitaan itu berasal dari diri sendiri dan hasrat yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, hasrat harus dibunuh untuk mencapai kedamaian hidup.
Bagi saya, paparan itu kurang memuaskan. Pasalnya, ada hasrat yang muncul dari hal-hal eksternal, yakni hasrat budaya/sosial. Ini sejenis hasrat yang bukan berasal dari dalam diri seseorang, seperti makan dan minum. Hasrat ini merupakan dorongan yang dipengaruhi dari kebudayaan atau kehidupan sosial. Hasrat inilah yang banyak membuat seseorang menderita seumur hidup.
Seorang anak bunuh diri karena hasratnya untuk memiliki HP tidak dikabulkan oleh orangtuanya. Apakah hasrat itu berasal dari dirinya? Ada hal-hal eksternal yang telah berperan dalam kematian si anak itu. Mungkin saja semua temannya punya HP. Kemudian, anak itu selalu diolok-olok sebagai anak miskin karena tidak punya HP. Tentu saja, anak itu tidak mungkin ingin HP kalau HP tidak diciptakan di dunia ini.
Sepasang suami istri ingin memiliki keturunan. Barangkali mereka tidak benar-benar ingin. Tapi mereka telah melihat contoh-contoh. Mereka melihat bagaimana ibu, saudara perempuan, dan tetangga mereka hamil. Seorang perempuan merasa harus menjadi seperti ibunya, saudara perempuannya, dan tetangganya. Selain itu, tentu saja ia menemukan basa-basi yang menyebalkan, “Kapan punya anak?” Itu seolah-olah menjadi tuntutan. Sayang sekali, di Indonesia tidak mengenal istilah “It’s not your business!” Hampir semua hal menjadi urusan bersama, termasuk seks.
Masih banyak contoh lagi bagaimana masyarakat telah menciptakan hasrat dalam diri seseorang. Di sini masyarakat telah menuntut seseorang. Seseorang harus sama seperti yang lainnya jika ia ingin masuk ke dalam komunitas masyarakat. Untuk masuk dalam sebuah komunitas masyarakat, tentu seseorang harus memenuhi kriteria komunitas itu.
Seorang yang ingin masuk ke komunitas motor, ia harus memiliki motor. Mungkin komunitas motor tersebut tidak mengajukan syarat harus memiliki motor bagi anggotanya. Tapi semacam ada paksaan dalam diri seseorang untuk memiliki motor. Indranya telah menangkap paksaan itu yang kemudian diubah menjadi hasrat.
Seseorang dikatakan normal dan baik oleh masyarakat jika ia telah menikah dan memiliki keluarga kecil; jika ia telah memiliki rumah, mobil, kartu kredit, deposito, asuransi, dan rencana liburan akhir tahun. Karena predikat normal dan baik itulah muncul hasrat untuk memiliki keluarga ideal, rumah, mobil, dan seterusnya.
Sekali lagi, hasrat telah diciptakan. Masyarakat mungkin tidak tahu kalau mereka telah menciptakannya. Hal itu wajar, karena mereka pun terjebak dan menjadi objek dari hasrat mereka sendiri.
Lantas bagaimana caranya agar bisa bebas dari hasrat itu. Mungkin seseorang harus lari dari masyarakat, seperti halnya Christopher McCandless. Eddie Vedder menangkap nada olok-olok dari apa yang dilakukan McCandless. Vedder pun menulis, “Society, you’re a crazy breed, I hope you’re not lonely without me.” Bagi saya, sampai saat ini tidak ada olok-olok sesatir ini, seeksistensial ini.
Ya, ada lagi cara lain untuk bebas dari hasrat. Mungkin seseorang harus bunuh diri. Bukankah persoalan ini seperti labirin tanpa jalan keluar? Atau apakah masyarakat harus menciptakan hasrat untuk tidak memiliki hasrat. Tapi hasrat untuk tidak memiliki hasrat adalah hasrat juga dan itu adalah penderitaan juga.
Lantas, bagaimana? Seseorang sudah terlanjur hidup. Barangkali, ia hanya perlu sadar tentang hal ini meski itu tidak cukup membantu. Ya, hidup memang sangat sulit karena seseorang telah bermasyarakat dan berhasrat.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
muftimalikm
hasrat untuk memiliki itu memang akan selalu ada.. dan tergolong manusiawi.. hanya bagaimana mengelola hasrat itu sendiri.. bersyukur dengan yang kita miliki sebuah keterterimaan atas keadaan yang telah dimiliki.. dan cenderung menurunkan hasrat itu sendiri dan sadar atas semua nya.. hidup dikehidupan nyata..