Kota Kita dan Nasionalisme
Kemarau tahun ini panjang dan keras. Ia telah mengugurkan daun-daun dan mendangkalkan sungai-sungai di kota kita. Memang kemarau tahun ini panjang dan keras, tapi bukankah kemarau itu tidak pernah mendangkalkan pikiran? Ya, karena pikiran kita bukan sungai.
Kemarin, di malam berudara panas, saya menerima poster yang berisi pengumuman Lomba Hormat Bendera. Lomba itu diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-70 Republik Indonesia. Penyelenggaraannya didukung oleh pemerintah Kota Bogor. Lomba tersebut adalah lomba ketahanan hormat kepada bendera. Siapa yang sanggup hormat 17 jam, 8 menit, 45 detik, ia akan mendapat 1 unit sepeda motor Honda Beat. Ada juga hadiah-hadiah lainnya yang tidak kecil nilainya.
Ada yang mengganjal dalam poster tersebut. Di sana terdapat kalimat “Bangkitkan semangat nasionalismemu! Buktikan dalam Lomba Hormat Bendera.” Kalimat tersebut bisa diperjelas menjadi, “Buktikan kebangkitan semangat nasionalismemu dalam Lomba Hormat Bendera,” atau disederhanakan lagi menjadi, “Buktikan nasionalismemu dalam Lomba Hormat Bendera.” Sayang sekali ada kata nasionalisme di sana.
Menurut poster itu, nasionalisme bisa dibuktikan dengan mengikuti lomba itu dan jika seseorang berhasil hormat paling lama, ia adalah yang paling nasionalis. Kira-kira demikianlah maknanya.
Di sinilah terjadi pendangkalan makna nasionalisme. Barangkali kita telah kehilangan alat untuk mengukur nasionalisme–tapi saya tidak yakin bahwa kita perlu memiliki alat itu–sehingga hormat bisa menjadi alat untuk mengukur nasionalisme.
Kata teman saya, “Ssst, itu kan simbolis aja.” Kemudian teman saya yang lain meng-iya-kan. Ya, saya pun oke! Semuanya juga bisa jadi simbol, bukan? Tapi apakah sedangkal itu makna sebuah simbol?
Kemarau panjang ditandai dengan mendangkalnya sungai-sungai. Apakah bangkitnya nasionalisme ditandai dengan hormat yang lama? Lantas bagaimana jika orang Rusia yang punya tangan kuat ikut lomba itu dan menang? Apakah ia nasionalis-nya Indonesia? Tidak, tidak.
Memang, hormat kepada bendera menjadi simbol penghormatan kepada negara dan jasa para pahlawan. Namun, menurut saya, lomba itu telah mengecilkan makna hormat dan nasionalisme.
Rasa kecintaan terhadap tanah air terasa dangkal dan hormat kepada bendera terasa lebay. Kata Acep Zamzam Noor dalam sebuah puisi, Aku mencintaimu dengan lambung yang perih… Lalu bersama mereka aku melempari toko, membakar pasar, gudang dan pabrik sebagai pernyataan cinta.
Demikianlah Acep menyatakan cinta; mungkin kepada kekasihnya, mungkin kepada negaranya. Ia tidak hormat tapi melempari toko, membakar pasar, dst. Ia tidak melakukan hormat yang lama. Kadang orangtua pun kerap marah-marah sebagai bentuk pernyataan cinta, bukan?
Ya, sayang sekali lomba tersebut diadakan di kota kita, Kota Bogor. Akhir-akhir ini, kota kita dihiasi dengan pemikiran-pemikiran dangkal; bermaksud keren, tapi malah dangkal, misalnya Festival Payung.
Festival ini diadakan untuk menyambut HUT Kota Bogor ke-533. Ya, barangkali karena Bogor identik dengan hujan, festival ini diadakan. Waktu itu, mendadak Kota Bogor dihiasi banyak payung. Nampak indah? Justru malahan nampak aneh. Payung-payung itu digantung tanpa konsep yang bagus. Lantas apa makna dari Festival Payung itu?
Begini saya membacanya: karena Bogor adalah Kota Hujan, Festival Payung pun diadakan. Di sinilah letak kedangkalannya. Bagi saya festival itu kurang memiliki dasar pemikiran dan filosofi yang jelas dan bagus.
Bisa dikatakan, warga Kota Bogor sendiri miskin kreativitas. Oleh sebab itulah kota kita ini tidak kreatif dan hanya bisa meniru-niru. Selain itu, Kota Bogor tidak (banyak) memiliki pemikir. Oleh sebab itu, kota ini nampak bodoh dan berpikiran dangkal.
Saya jadi ingat, waktu kecil saya pernah nonton film Bintang Kejora. Film itu berlatar sebuah kampung yang tengah dilanda kemarau panjang. Saya ingat dengan dialog salah satu tokoh di film tersebut, “udara panas bikin orang cepat marah.” Mungkin itu benar. Namun, saya kira udara panas tidak bikin orang jadi cepat bodoh.
Ya, kemarau telah menggugurkan daun-daun di kota kita. Udara panasnya bikin kita cepat marah. Di tengah udara panas itu, cobalah kita berdiri di Jembatan Sempur. Lihatlah betapa dangkalnya sungai Ciliwung. Untung saja pikiran kita bukan sungai. Ya, semakin dangkal, semakin pula sungai itu kelihatan sampah-sampahnya. []
Sorry, the comment form is closed at this time.
ncah nies
Luar biasaaaa