Fb. In. Tw.

Cengkeh, Kentang, dan Garam

Hari masih telalu pagi. Udara dingin merambati jari. Jam di tangan saya baru menunjukkan pukul 05.42 WIB. Matahari belum menyala hangat dan menebarkan vitamin D. Tapi mereka, sekumpulan ibu-ibu di depan rumah itu, tengah asyik bercengkrama sembari memisahkan cengkeh dari pakang atau tangkainya. Jari-jemari mereka mengambil setangkai demi setangkai cengkeh, lalu menumbukannya ke telapak tangan kiri. Cengkeh-cengkeh berlepasan ke atas wadah, dan pakang-nya dikumpulkan terpisah.

Cengkeh, bunga kurus kelam itu, dahulu pernah dinamai emas hitam. Sebab konon, di masa lampau, harganya pernah melampaui emas. Pernah diburu para penjelajah-penjajah, dan menyimpan memori tentang tanah tumpah darah, tentang perburuan rempah-rempah. Tapi kini cerita telah berubah. Cengkeh bukan lagi primadona bagi bangsa-bangsa Eropa, sebab minyak bumi telah menggantikannya.

“Harga cengkeh kering sekitar 120 ribu per kilogram,” kata Nenda, seorang perempuan paruh baya yang beberapa hari terakhir ini tengah memanen cengkehnya di bilangan Pameungpeuk, Garut. Di daerah Garut, sentra penghasil cengkeh sebenarnya berada di daerah Kertamukti, Kecamatan Cikelet, arah barat laut dari Kecamatan Pameungpeuk. Di daerah itu, perkebunan cengkeh milik warga menempati lahan hampir seluas 500 hektare. Bahkan, sebagian warganya telah lama memulai proses pembibitan cengkeh. “Tapi (cengkeh) ini akan dijual basah,” terangnya. Harga cengkeh basah saat ini sekitar 32 ribu per kilogram. Menurutnya, menjual cengkeh basah atau cengkeh kering tak memiliki perbedaan harga yang signifikan, karena dari sepuluh kilogram cengkeh basah rata-rata akan menghasilkan sekitar tiga kilogram cengkeh kering.

Sembari sesekali ikut memisahkan cengkeh dari pakang-nya itu, saya menyimak berbagai pembicaraan di antara para ibu itu. Tentu saja, apa pun layak dibahas dan menjadi kelakar dalam suatu perkumpulan ibu-ibu—yang tak mesti menjadi perkumpulan resmi. Dari mulai terlambat menyediakan makan sahur, upah memisahkan cengkeh dan pakang yang hanya seribu rupiah per kilogram, pemilik cengkeh yang komplain kepada buruh petik karena mematahkan dahan, repotnya buang air besar karena di area perkebunan cengkeh tak ada jamban, problematika petani dengan lahan pertaniannya, dan berbagai persoalan domestik rumah tangga—yang hampir semuanya menjadi bahan tertawaan bersama.

Dalam pada itu, dalam benak saya terlintas pertanyaan begitu rupa: adakah yang membahas segala duka-suka-cita dengan berbagai-bagai problem kehidupan petani dengan tanah dan/atau garapannya di dalam karya sastra kita? Barangkali ada, tapi saya kurang tahu lantaran mungkin kurang membaca. Atau mungkin juga malah tak ada—ah, ada, tapi secara kuantitas tentu tak bisa dikatakan banyak. Dan jika jawaban yang terakhir mendekati benar, maka tampaknya ada yang ganjil dalam kehidupan sastra kita. Betapa, negara berpulau-pulau dengan latar belakang kehidupan agraris—yang meskipun terus saja tergusur pembangunan demi pembangunan dan industri demi industri—ini luput sebagai pemantik inspirasi bagi para sastrawan kita. Apakah sosok petani dengan berbagai kompleksitas masalah yang melingkunginya belum cukup memikat untuk diketengahkan dan menjadi pusat bahasan dalam karya sastra kita secara utuh-menyeluruh?

Barangkali, sebagian kita memang menganggap bahwa sosok petani telah cukup dicitrakan di buku-buku sekolah dasar atau layar televisi saja. Dalam buku-buku dan televisi itu, petani hanyalah seorang kurus, bercaping, memanggul cangkul, berlumpur, tak pernah tampak gagah-perbawa. Mungkin karena citra semacam itu juga yang telah membuat anak-anak di sekolah dasar nyaris tak ada yang bercita-cita menjadi petani. Tapi memang begitulah  kondisi petani kita yang hanya buruh tani tanpa tanah, atau petani gurem, atau petani bertanah sepetak yang hasil panennya tak pernah memuaskan. Tentu hal ini berkebalikan dengan beberapa buku cerita bergambar atau film-film dari negara-negara lain, yang mencitrakan sosok petani sebagai seorang pemilik lahan pertanian yang luas, sejauh mata memandang, dan tampak gagah-perkasa sembari mengendari mesin pemanen jagung/gandung/padi yang tampak kokoh dan canggih itu.

Sementara dalam karya sastra? Ya, kita tahu bahwa, misalnya, dalam novel Cala Ibi (terbit pertama kali tahun 2003) karya Nukila Amal, ada bab “Tuah Tanah” yang menyuguhkan kisahan Bai Guna Tobona dan perihal cengkeh sebagai komoditas perdagangan, sebagai emas hitam, yang kemudian “mengundang” kedatangan para penjelalah-penjajah Eropa, yang berujung pada tarian cakalele—peperangan memperebutkan kekuasaan dan penguasaan atas cengkeh. Namun, kita juga tahu bahwa novel itu tidak menampilkan sosok petani cengkeh dengan berbagai masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat petani cengkeh itu.

Selain itu, kita juga tahu bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari berlatar perkampungan. Namun tentu saja bukan sosok petani yang menjadi pusat bahasan dalam novel itu, melainkan pengukuhan Srintil sebagai ronggeng kebanggaan dan tradisi bukak kelambu, serta pergulatan seorang Rasus yang dibarengai pelik-pelik peristiwa di tahun 1960-an.

Perihal sastra dan petani ini, sebenarnya Agus R. Sarjono pernah membahasnya dengan sangat baik dalam esai Sosok Petani dan Sastra Kita (2001). Mungkin karena esai itu pula pertanyaan saya mengenai karya sastra yang menghadirkan sosok petani itu menyembul begitu rupa.

“Pedesaan dan hamparan pertanian paling-paling sekadar menjadi sesuatu yang dirindukan dan dianggap indah dalam semangat romantis dan turistik yang mempertentangkan kumuh dan kerasnya kota dengan hijau dan tenteramnya desa,” tulis Sarjono.

Tapi, belum berubahkah apa yang disangkakan Sarjono dalam esainya itu?

Pada titik ini, saya jadi teringat si petani kentang Mugya Syahreza Santosa (Faisal Syahreza) dan kumpulan puisinya Hikayat Pemanen Kentang yang terbit pada 2011 silam. Walaupun Syahreza, dalam beberapa puisinya itu, juga mempertentangkan kota dan desa serta memandang desa dalam semangat romantis dan turistik—selain tentu saja puisi-puisi mengenai berbagai macam olahan kuliner itu—tapi menurut hemat saya, upaya untuk menampilkan sosok petani (kentang) sudah ditempuh penyair ini. Baiklah kita kutip salah puisi berjudul “Panen Kentang” dari kumpulan puisinya itu di sini: … mereka menggali-gali tanah/ setelah ratusan malam doanya/ terkubur dalam-dalam./ jauh dari ranjang, dijaga dari babi-babi/ pembual, hingga/ menjadi daging-daging kuning/ matang yang dimuliakan/ di pasar-pasar,/ bulat lonjong mematut-matut bulan./ … mereka yang tersenyum/ di bawah tudung./ berharap di bawah tungku-tungku/ dapur menyala, bau ruap doa/ menggantikan ubi-ubi mereka/ yang dihantarkan ke kota-kota.

Sementara itu, petani tentu saja bukan hanya mereka yang berurusan dengan tanah atau ladang pertanian, tapi juga dengan tambak sebagaimana para petani garam. Dalam hal ini, agaknya jawaban kedua atas pertanyaan saya di atas boleh gugur. Sebab saya menemukan cerpen “Kuburan Garam” karya Mahwi Air Tawar dalam kumpulan cerpen Karapan Laut (2014). “Kuburan Garam” menuturkan kepada kita tentang pelik-pelik kehidupan petani garam di Madura; tentang penghormatan dalam upacara nyadar kepada Syekh Anggasuto sebagai leluhur “penemu” tambak garam yang begitu luas; tentang pertentangan antara petani garam dan pabrik garam; tentang kewibaan Suwakram sang juru kunci makam Syekh Anggasuto yang juga petani garam; juga pertentangan antara “yang menatap” dan “yang ditatap”.

Dan kita tahu, bahwa negeri rempah-rempah ini terus saja mengimpor cengkeh; bahwa negeri bertanah subur ini juga mengimpor kentang; dan bahwa gara-gara yodium negeri maritim ini mulai mengimpor barkarung-karang garam dari negeri orang, sementara petani-petani cengkeh, kentang, apalagi garam, terus saja termarjinalkan. Bahkan konon, kini impor garam telah menjadi komoditas politik negeri ini yang tak mudah dihentikan.[] Garut—Serang, 3-6 Juli 2015

KOMENTAR

Penulis buku kumpulan cerpen "La Rungku" (2011) dan "Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar" (2015). Selain produktif menulis cerpen ia juga dikenal sebagai esais. Kini tercatat sebagai kolumnis biem.co.

Comments
  • Taufik Hidayat

    Gelisah banget, teruskan kegelisahan semacam ini. Kegelisahan yang memancing keresahan…

    7 Juli 2016
    • Taufik Samantamuh

      Oh, tahun lalu ya….

      7 Juli 2016
  • saya sangat senang membaca esai ini karena membuat saya ingat kembali hal-hal yang harus didatangkan ke dalam rumah sendiri segala sesuatu yang telah lama dimiliki.

    7 Juli 2015
    • Nidu Erl

      Terima kasih, Cak M. Faizi. Yang telah dimiliki memang terlalu sering kita abaikan…

      9 Juli 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register