Fb. In. Tw.

Perjumpaan

Saya terjaga oleh suara serak penuh wibawa penyair Robert Frost, yang menerima kunjungan Octavio Paz, penyair kelahiran Mexico. Robert Frost, penyair Amerika Serikat yang puisi-puisinya menggambarkan tentang kehidupan pedesaan di New England itu, tampak larut dalam obrolan santai tentang gaya hidup masyarakat modern. Lebih-lebih, mereka yang datang dari pedalaman ke kota besar, dan semakin asing dengan akar kehidupannya. Mereka yang setiap saat terdesak dan selalu tegang berada di tengah hiruk-pikuk dan gaya hidup masyarakat perkotaan hingga mereka lupa cara tertawa.

“Kebanyakan dari kita, tak percaya pada mereka yang tak tahu bagaimana menertawakan diri sendiri. Para penyair terlampau serius, profesor-profesor yang tanpa humor, nabi-nabi yang hanya tahu menggonggong dan berpidato. Mereka semua manusia berbahaya.” Mendengar ungkapan jenaka kedua penyair besar itu, diam-diam saya mengulum senyum, ingin menimpali obrolan mereka berdua—di sini, penyair-penyair sama-sama tegangnya—bahkan, sebagian penyair tak memiliki selera humor sehingga puisi-puisinya selalu tegang dan murung.

Senada dengan kegelisahan Robert Frost, perihal situasi dan psikologi masyarakat modern, Paz ternyata mengalami kegelisahan yang sama dengan Frost. Ia, Paz, yang pernah menolak hadiah nobel, penghargaan paling bergengsi di dunia kesusastraan itu mengemukakan bahwa, di Mexico semua pohon dan tumbuhan-tumbuhan lainnya telah menjadi batu. Di mana-mana bangunan-bangunan tumbuh subur. “Alam menjadi musuh di sana. Terlebih, kaki sedikit dan lemah. Manusia ditelan lanskap dan di sana selalu ada bahaya yang dapat mengubahmu menjadi kaktus,” aku Octavio Paz dalam On Poets and Others (New York: Arcada Publishing, 1990).

Menyimak obrolan dua tokoh penyair besar itu sontak saya beranjak dan langsung menuju kamar mandi. Jam di dinding menunjukkan pukul 09.00, sudah kelewat siang tentunya bagi orang-orang dalam lingkungan baru saya, Jatiuwung, Tangerang, Banten. Harus saya akui, jauh sebelum saya pindah ke kota ini, jam 09.00, terlalu pagi untuk memulai pekerjaan. Ya, saya yang sebelumnya tinggal di pinggiran kota Yogyakarta, yang serba toleran terhadap laju waktu. Terlebih bagi pengarang seperti saya, yang pada jam 07.00, ketika sebagian orang bersiap pergi ke tempat kerja, sementara pada saat itu saya akan masuk kamar tidur setelah semalaman bekerja, berjibaku dengan teks, dan teks.

Kebiasaan tidur jam 07.00 pagi dan bangun jam 09.00, sudah pasti tidak bisa saya bawa ke lingkungan baru saya, Jatiuwung. Mau tidak mau saya harus beradaptasi dengan irama hidup orang-orang di sini, yang sebagian besar datang dari desa untuk bekerja, menjadi buruh di pabrik-pabrik raksasa. Ya, sejauh mata memandang di sini anda akan bersitatap dengan gedung-gedung pabrik. Jalan raya dipenuhi angkutan-angkutan berebut penumpang.

“Di sini orang-orang meninggalkan dusun untuk pergi ke pabrik-pabrik. Dan ketika mereka kembali mereka tak menyukai dusun lagi. Hidup di dusun itu sulit,” tegas Robert Frost.

Tidak. Di sini anda jangan pernah bermimpi akan melihat dan menyaksikan orang-orang yang dengan santai berlenggang bebas di jalanan, menghela kerbau, sapi. Pepohonan yang tumbuh liar, dan jalanan yang becek seusai diguyur hujan sebagaimana digambarkan Multatuli dalam novel Max Havelaar.

Lupakan juga kegalauan esais muda Indonesia, Niduparas Erlang, tentang raibnya kesakralan dalam berziarah. Memang, di seputaran Masjid Agung Banten Lama itu, kini kita hanya bisa mendapati Surosowan yang lapuk dan nelangsa, kios-kios kumuh dengan para pedagang yang rewel menawarkan dagangannya, atau para peminta-minta yang sepertinya dirundung duka tak berkesudahan. Kesakralan, sekaligus keagungan Banten, tak lagi menguar dan dapat dibaui di sana. Dan berziarah, tampaknya memang telah lama menjadi hanya sekadar berbelanja. Sebuah transaksi ekonomi. Sebuah untung dan rugi. Demikian kata esais dan cerpenis muda berbakat dalam esainya, “Kota yang Bermutasi”. Maka, nikmatilah angkuhnya Carrefour, TangCity, Cimone Mall, dan lain-lain.

Kota, lanjut Niduparas, yang mengutip pendapat Italio Calvino, dari Kota-Kota Imajiner. Kota layaknya mimpi, dibangun dari hasrat dan ketakutan, dengan wacana yang disembunyikan, dengan peraturan yang absurd dan penuh kecurigaan, yang kesemuanya telah menyembunyikan sesuatu yang lain. Sesuatu, yang mungkin lebih bermakna bagi identitas sebuah kota.

“Kau harus senantiasa awas; dan kau bertanggungjawab pada segalanya dan tak cuma pada segalanya dan tak cuma pada sebagian, seperti di pabrik.”

Kalimat Robert Frost yang disampaikan kepada Octavio Paz di atas mendadak menyusup masuk lewat jendela ruang kerja dan mengusik pikiran saya, yang entah mengapa harus memilih hidup dan tinggal di kota yang setiap sudutnya dipenuhi pabrik-pabrik. Ah, mendadak saya ingat seorang sahabat, Muhammad Rois Rinaldi, yang hidup bahagia di pedalaman dusun Cilegon. Ia yang barangkali setiap saat berpeluk mesra dan sesekali diamuk gelisah ketika momen puitik datang dan memintanya untuk segera menuliskannya. Ahai, alangkah bahagianya.

“Dusun adalah tempat untuk mengalami kesunyian. Kau tak bisa pergi ke bioskop, atau melarikan diri ke bar.” Robert Frost melanjutkan, “Tepat. Itulah pengalaman menjadi bebas. Seperti puisi. Hidup seperti puisi, saat si penyair menuliskan sebuah syair. Itu bermula sebagai undangan pada yang tak dikenal…”

***

Kini jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, jam istirahat bagi karyawan sudah tiba. Sambil mengamati suasana di luar, saya membatin tentang karyawan yang barangkali pergi ke sini hanya demi mendapatkan kehidupan yang layak, setelah di dusun pekerjaan dan penghasilan tak memungkinkan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

Dan saya sendiri, dari balik jendela yang setengah terbuka, merasa seperti orang asing yang hidup di tengah hiruk-pikuk mesin pabrik. Entah mengapa, di tengah-tengah keterasingan itu saya teringat bait sajak Rendra, dalam “Orang-Orang Rangkas Bitung”:

Barangkali kehadiran saya sekarangmulai tidak mengenakan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

Jatiuwung, Tangerang, 1 Juli 2015

KOMENTAR
Post tags:

Pengarang buku kumpulan cerpen "Mata Blater" (2010), "Karapan Laut" (2014), dan kumpulan puisi "Taneyan". Saat ini tinggal di Jatiuwung, Tangerang.

You don't have permission to register