Sastra vs Kampung Halaman
Kampung Halaman senantiasa memiliki arti penting di batin sastrawan. Tak sedikit karya-karya sastra yang mengangkat-gambarkan tema-tema tentang kampung, lingkungan, dan manusia-manusia di sekitarnya. Tak ada yang bisa berpaling dari wajah bersahaja bernama Kampung Halaman. Meski di sisi lain kampung terus merana, mengutip bait puisi Chairil Anwar, mampus dikoyak-koyak sepi!
Namun begitu, Kampung Halaman senantiasa merawat dan menjaga dirinya tetap bersahaja, biar pun cacian, streotipe negative, bahkan hal-hal naif yang dialamatkan kepadanya, Kampung tetap membuka diri dan menerima baik anak-anak kandungnya maupun anak-anak yang pada mulanya tidak ia kenal sekalipun!
Kampung Halaman dengan ramah dan penuh cinta selalu membuka pintu bagi siapapun untuk memasuki “rahimnya”. Dengan ramah Kampung menyambut dan merangkul baik yang datang dengan wajah garang lebih-lebih mereka yang datang dengan seuntai senyuman hati tulus. Senada dengan kearifan orang Kampung, patut kiranya kita merenungi bait pribahasa (puisi) daerah.
Datok mugayang, jambia dadaq mugayang mata
Mugayang mata ate atama arua
Pribahasa (puisi) yang lahir dari “rahim” daerah Jambi tersebut mempunyai arti: jangan menikam dengan keris/jangan menikam dengan mata/menikam hati masuk di kena.
Cukup jelas kiranya, bertapa keterbukaan hati, bahkan seandainya seseorang berbuat lewat pribahasa (puisi) di atas kita dianjurkan untuk senantiasa bersikap terbuka dan tidak asal menegur, alih-alih mengadili. Sebagaimana juga karya sastra yang selalu membuka ruang bagi pembacanya untuk memasuki suatu wilayah, pemikiran, tokoh, latar dan peristiwa tanpa mendikte pembaca ke tilas hitam-putih, Kampung Halaman tetap terbuka, dan penyelesaian terhadap masalah yang muncul selalu dilakukan secara arif.
***
Sekedar menyebut beberapa nama sastrawan yang berangkat dan konsisten mengambil ikon tema-tema Kampung Halaman, kebudayaan lokal dan sekaligus denyut kehidupan orang-orang Kampung di antaranya, A.A. Navis, Robohnya Surau Kami; M. Kasim. Bertengkar Berbisik, (cerpen); Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk; Umar Kayam, Jalan Menikung (novel); dan, D. Zawawi Imron, Madura Akulah Lautmu (puisi).
Adapun generasi di bawah mereka ada Hamsad Rangkuti, Linus Suryadi AG., Gus TF. Sakai, Marewo, dan Oka Rusmini, adalah sebagian nama di antara puluhan sastrawan-sastrawan lain yang karya-karyanya terus bergerak dan menyelami lautan Kampung Halaman.
Tentu tak sedikit regenerasi terkini yang karya-karyanya berlatar belakang Kampung Halamannya, sekedar menyebut beberapa nama, misalnya, Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansa, Bulan Babi karya Eko Triono, Lampuki karya Arafat Nur (novel).
Puisi? Tentu lebih banyak lagi, di antaranya adalah Alek Zubairi, Dian Hartati, Dea Anugerah, Indrian Koto, Mario F. Lawi, Sofyan RH. Zaid, Faisal Syahreza.
Untuk urusan apresiasi penulis muda memang tak sepenuhnya harus bersandar di pundak yang mulia tuan kitikus. Toh tak sedikit karya-karya sastra yang dipuja-puji oleh yang “konon kritikus” jauh lebih buruk mutunya dari karya-karya sastrawan yang berkreativitas di “jalan sunyi”, sepenuhnya bersandar pada kekuatan batin sendiri sehingga pada saatnya—mau tidak mau—pengamat, kritikus, dan pembaca harus mengakui kekuatan karya itu sendiri.
Memang, tak sedikit penulis muda yang kadang lebih mengedepankan dirinya ketimbang hasil karyanya. Berceloteh puisi, cerpen sana-sini, pamer foto bersama sastrawan-sastrawan senior. Tentu itu penting sebagai bahan promosi, tapi menggali, mempertimbangkan dan mencurigai karya yang dihasilkan jauh lebih penting sehingga “penyakit merasa puas, merasa paling bagus” tidak tersangkut di ranting mental yang rapuh yang barangkali dalam hitungan jam akan segera patah.[]Tangerang, 2015