Fb. In. Tw.

“Skizofrenia”, Tanda Merah Santi Pratiwi

Jumat (12/5/2015), suasana dalam Ruang Multimedia, Kampus Pascasarjana Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mendadak  berubah fungsi. Di tangan koreografer Santi Pratiwi, Ruang Multimedia itu tak ubahnya seperti tempat orang-orang sakit jiwa, pengidap skizofrenia:

Jangan-jangan aku benar-benar gila/Aku merasa jauh dari dunia nyata…

Di atas adalah potongan dari sebuah sinopsis pertunjukan tari dengan judul “Skizofrenia”,  karya koreografer muda, Santi Pratiwi. Pertunjukan berdurasi satu jam setengah itu dibuka dengan dialog antara suster yang berjaga di depan pintu utama dan sang pasien (penari) yang berteriak-teriak dari dalam ruangan, meminta sang suster agar segera membukakan pintu lantaran ia takut melihat banyak kelebatan bayangan.

“Tidak. Bayangan itu hanya ada di kepalamu. Di sini tidak apa-apa!” Teriak suster, ketus. Tapi si pasien tak mau menyerah, ia terus berteriak dan mengedor-ngedor pintu sehingga hati sang suster pun luluh dan segera membukakan pintu.

Begitu pintu dibuka sang pasien dengan malu-malu segera mempersilakan penonton agar mengikutinya. Sambil mempersilakan penonton masuk, sang pasien mengingatkan kami agar berhati-hati. Balutan kain hitam pada dinding, lampu balon, dan suara musik yang terdengar ritmis membuat suasana sangat mencekam.

Ketika kami memasuki pintu lain yang disambut oleh sesosok manusia yang sekujur tubuhnya hitam legam. Andai saja sosok itu tak mengenakan selempang merah dan tangannya tak memegang lampu bisa dipastikan sosok yang menyeramkan itu tak akan tertangkap pandang.

Dan entah mengapa, mendadak kami merasa menjadi bagian dari mereka, pengidap skizofrenia. Bagaimana tidak, ketika kami melihat lengan yang diberi tanda merah mendadak merasa ada kesamaan saat melihat sesosok manusia yang berselempang selendang merah itu.

Saya rasa lewat “Skizofrenia” ini, Santi berhasil menggiring penonton untuk sejenak merenung dan bertanya pada diri sendiri: siapakah sebenarnya yang sakit jiwa, kita atau mereka (para penari dan sekaligus pemeran “Skizofrenia”) yang dianggap manusia tidak normal itu?

Hampir tak ada batas antara penari dan penonton yang berbaur jadi satu-kesatuan. Lewat pertunjukan berjudul “Skizofrenia”, Santi Pratiwi, koreografer muda yang lahir dan besar di Surabaya ini, seakan menyusupkan sebuah pertanyaan sekaligus pesan kepada kita: betapa sifat baik dan buruk seseorang sangat tipis.[]

KOMENTAR

Pengarang buku kumpulan cerpen "Mata Blater" (2010), "Karapan Laut" (2014), dan kumpulan puisi "Taneyan". Saat ini tinggal di Jatiuwung, Tangerang.

You don't have permission to register