“Bertukar Tangkap Dengan Lepas”, Pertemuan Kesekian dengan Teater Garasi
Perkenalan saya dengan Teater Garasi berawal dari informasi kelisanan, bukan dari keberaksaraan. Dari obrolan-obrolan handai tolan, bukan dari pustaka bacaan. Dari mulut ke telinga, bukan dari kata yang dibekukan lewat tulisan. Alih-alih analitis, rupanya informasi kelisanan itu lebih agregatif sehingga cukup ampuh mengendap dalam ingatan. Beberapa informasi ihwal Garasi pun tersimpan dalam memori.
Informasi kelisanan mengenai Teater Garasi bertambah ketika saya menyaksikan pertunjukan monolog “Lelaki itu Mengaku sebagai Jamal” yang digelar di Gedung PKM UPI (2007). Konon teks monolog itu merupakan abstraksi dari riset dan survey ihwal biografi aktornya sendiri yang bernama Jamaluddin Latif.
Pertunjukan itu masih saya ingat, terutama insiden menarik di hari terakhir pementasan, yaitu terjadi insiden mati lampu di saat pertunjukan tengah berlangsung. Dalam keadaan gelap, pertunjukan sempat terhenti beberapa saat. Jamal pun akhirnya berinisiatif memberi tahu penonton bahwa pertunjukan masih panjang. Jamal kemudian memberi opsi pada penonton; pertunjukan diakhiri atau dilanjutkan walau dalam keadaan gelap. Penonton yang memenuhi gedung seketika menyahut “Lanjuuuuttt!”. Dengan spontanitas layar handphone para penonton dinyalakan untuk membantu penerangan.
Peristiwa itu sungguh di luar dugaan, insiden mati lampu yang tidak diharapkan ternyata direspons positif oleh penontonnya. Selama Johan Didik (Stage Manager Garasi) dan anak Teater Lakon UPI sibuk mencari petugas gedung dan pusat aliran listrik, pertunjukan terus berlangsung dengan khidmat. Ada semacam chemistry yang tumbuh antara tontonan dan penontonnya.
Tanpa spektakel akrobatik, monolog “Lelaki itu Mengaku sebagai Jamal” seperti menyajikan tontonan yang menawarkan heightened experience bagi penontonnya sehingga mereka tidak ingin beranjak dari kursi duduknya. Menjelang akhir pertunjukan, lampu pun menyala. Sesaat kemudian lampu mati kembali menandakan pertunjukan telah usai. Riuh tepuk tangan penonton pun bergema mengisi ruangan.
Selain peristiwa extra-ordinary itu, proses mereka menuju pentas mengenalkan pada saya suatu pengetahuan tentang kelompok Teater Garasi dengan rujukan yang lebih dekat. Suatu perkenalan tanpa menawarkan kategori-kategori analitis rumit, tanpa ada jarak dari pengalaman nyata.
Informasi kelisanan itu tidak dimaknai hanya bersumber dari ucapan lisan saja, melainkan pencerapan dari performance-nya secara langsung. Pertemuan saya dengan peristiwa monolog yang dipentaskan di PKM itu termasuk ke dalam informasi kelisanan yang dimaksud.
Menjelang dan selepas pentas, saya bisa berinteraksi langsung dengan semua awak panggung. Saya bisa melihat seorang aktor berinisiatif mempersiapkan dirinya dengan mengolah tubuhnya sendiri, sambil sesekali menggali ingatan emosi yang terkandung dalam teks pertunjukan. Lalu seseorang tampak fokus mengamati aktor latihan sambil mencari-cari celah untuk dijadikan bahan evaluasi. Tampak dua orang hilir-mudik mengkonstruksi panggung dan ruang penonton.
Di sudut lain, seseorang tampak sigap memasang lampu di dalam gedung yang tidak memiliki rigging untuk mengaitkan sesuatu yang berat. Maklum, pementasan berlangsung bukan di gedung pertunjukan tapi di gedung yang lebih cocok digunakan untuk acara ‘kebudayaan yang lain’, maksudnya adalah acara resepsi pernikahan. Inisiatif pra-laku, kehangatan diskusi, kegesitan kinerja yang efisien, memberi kesan pada sebuah manajemen operasional yang optimal.
Walau hanya sepintas, pengetahuan ihwal teater dan berteater khas Teater Garasi bertambah. Pengamatan pada istilah teater dan berteater tentunya tidak sepenuhnya sama. Yang pertama menitikberatkan pada unsur-unsur teater dan makna yang ada di baliknya sedangkan istilah yang kedua menitikberatkan pada prosesnya.
Dalam buku Bertukar Tangkap Dengan Lepas: Sesilangan & Lintasan 20 Tahun Teater Garasi, terangkum tulisan-tulisan ihwal teater dan berteater khas Teater Garasi. Membaca buku itu bagi saya merupakan ‘perkenalan’ ke sekian. Perkenalan kali ini terasa berbeda karena dimediasi oleh informasi ‘keberaksaraan’, bukan lagi kelisanan. Lewat tulisan, saya diajak bergerak menjelajahi pada proses penciptaan dan karya-karya Teater Garasi lebih jauh. Perkenalan kali ini saya kira lebih seru, walau sedikit rumit. Kenikmatan perkenalan ini ialah karena teks dalam buku tersebut lebih membebaskan pikiran dari tugas-tugas pengawetan (mengingat) untuk beralih pada perenungan baru.
Teater Garasi lahir di lingkungan kampus yang berlatar belakang akademi non-seni. Namun itu bukanlah hambatan bagi semua proses kreatif berteaternya. Justru faktor itulah yang memberikan banyak peluang bagi mereka -tanpa dibebani latar akademik seni- untuk melahirkan gagasan-gagasan teater secara luas tanpa disekat oleh dikotomi atau terjerembab pada suatu terminologi apapun. Meski pada tahap tertentu tidak menghilangkan batas-batas disiplin/medium seni yang dipilihnya.
Teater Garasi memosisikan teater sebagai media pertemuan pelbagai ilmu pengetahuan. Ketika itu terjadi maka teater mempunyai kekuatan untuk menciptakan laboratory intelektual. Di mana di dalamnya terdapat proses riset dan sikap kritis terhadap semua persoalan yang dihadapi. Sehingga persoalan teater, sosial, politik, budaya, berkelindan menjadi suatu diskursus dalam setiap penciptaan karya-karyanya.
Garasi telah menjelajahi beragam bentuk teater. Mulai dari teater konseptual yang menyandarkan pada teks verbal namun disusun tanpa alur sintagmatik sehingga peristiwa yang terjadi di atas pentas hanyalah potongan-potongan peristiwa yang dirajut oleh ragam tanda. Lalu eksplorasi bentuk teater dengan totalitas gerak. Kemudian dalam repertoar yang lain, perpaduan bentuk teater verbal dan gerak pun pernah dilakukan, sebagai alternatif dari teater ‘realis’ yang mengandalkan perwujudan karakterisasi tokoh.
Kerja kolektif penciptaan Teater Garasi selalu dilandasi oleh kesadaran untuk menghindari kemapanan bentuk. Kesadaran itu menjadi penting untuk membuka katup dari kemungkinan-kemungkinan yang baru. Namun, apapun bentuknya, semuanya selalu berporos pada penggalian multidisiplin ilmu pengetahuan. Sesuai dengan paradigma yang dipegang Yudi Ahmad Tajudin bahwa “seni sebagai alternatif alat baca kenyataan sosial’.
Tulisan Gunawan Maryanto dan Yudi Ahmad Tajudin coba menggambarkan cara berteater Garasi. Ada upaya menempatkan teater pada fungsi sebagai arena “perayaan bersama” dalam pertukaran wacana, narasi, dan bentuk baru. Para kreator yang terlibat: baik penulis naskah, sutradara, koreografer, aktor, penata musik, penata artistik punya andil menciptakan iklim demikian. Persyaratan-persyaratan yang berpotensi mengeliminasi inovasi yang seringkali membatasi kreator harus disingkirkan. Karena ketika teater dikungkung untuk bersikap fleksibel dan inovatif membaca keadaaan, maka tawaran reinterpretasi dan rekonstruksi estetis akan sulit terwujud. Tampaknya kesadaran itulah yang dipegang Teater Garasi untuk memperluas dan memperkuat basis sosial teaternya.
Buku Bertukar Tangkap Dengan Lepas: Sesilangan & Lintasan 20 Tahun Teater Garasi bisa menjadi acuan alternatif untuk berefleksi dan merangsang kreativitas, khususnya bagi seniman-seniman teater yang masih bergairah untuk menciptakan suatu pertunjukan extra-ordinary. Bukankah cakrawala ihwal teater mesti diperluas? Definisi stereotipe teater yang telah menjelma konsep-konsep mapan sebaiknya harus segera dicurigai. Kenyamanan dalam posisi yang mapan berpotensi pada capaian estetis yang stagnan dan mereduksi mentalitas untuk mencari kemungkinan yang baru. Tabik![]