Mengawal Bahasa Indonesia Menuju Dunia Internasional
Dalam rangka memperingati 70 tahun penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara (1945-2015), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia (Kemendikbud RI) menyelenggarakan Seminar Politik Bahasa dengan tema “Mengawal Bangsa Besar dengan Berawal Bahasa”. Seminar tersebut dilangsungkan di Hotel Best Western Premier The Hive, Jalan DI Panjaitan Kav. 3-4, Jakarta, 3-6 juni 2015.
Pada Rabu (3/6/2015) seluruh peserta undangan dari berbagai daerah di Indonesia datang ke lokasi untuk melakukan registrasi hotel dan pendaftaran ulang peserta. Peserta yang berjumlah hampir 250an itu terdiri dari akademisi, perwakilan Badan Bahasa daerah, peminat dan pemerhati sastra, serta media. Saya dapat hadir mengikuti kegiatan ini menggantikan Rois Am Majelis Sastra Bandung (MSB), Matdon, yang kebetulan berhalangan hadir.
Keesokan harinya, Kamis (4/6/2015), pukul 08.00 WIB, Seminar Politik Bahasa dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, Prof. Dr. Mahsun, M.S.. Dalam sambutan pembukaannya ia menyatakan, “Seminar ini dilaksanakan bertepatan dengan 70 tahun penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah strategis mengawal bahasa Indonesia menuju bahasa internasional. Penting juga merumuskan pengawalan arah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia.”
Setelah acara dibuka, Seminar Politik Bahasa sesi pertama pun dimulai. Pada sesi pertama yang dimulai sekira pukul 08.45 WIB, tampil sebagai pembicara pertama adalah Prof. Dr. Mahsun, M.S. yang dipandu oleh moderator Prof. Dr. E. Aminuddin Azis.
Prof. Dr. Mahsun, M.S. mengantarkan kertas kerjanya yang berjudul “Merajut Kebinekaan Bahasa sebagai Pemerkukuh Identitas kebangsaan”. Selama 30 menit ia menyajikan hasil penelitiannya mengenai kebinekaan bahasa yang terdapat di Indonesia.
Terkait dengan cita-cita membawa bahasa Indonesia ke dunia Internasional, Prof. Dr. Mahsun, M.S. menyatakan bahwa, “Kondisi kebinekaan bahasa di Indonesia merupakan modal dalam menginternasionalisasi bahasa Indonesia.”
Pada sesi kedua, disajikan kertas kerja “Strategi Kebahasaan untuk Memperkukuh Ikatan Negeri Bahasa” oleh Kol. Tek. Ir. Herman, mewakili Menteri Pertahanan RI, Jenderal TNI (Purnawirawan) Ryamizard Ryacudu. Pada sesi yang dimulai sekira pukul 10.30 WIB ini, Dr. Jan Hoesada yang menjadi pemandu.
Herman mengingatkan kembali gagasan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dimana salah satu butirnya menyatakan bahwa, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan RI. Menurutnya, “Sudah sewajarnya seluruh bangsa Indonesia menjaga bahasa Indonesia dari berbagai pengaruh, baik secara fisik maupun nonfisik, yang dapat menggoyahkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Setelah sesi kedua berakhir tepat pukul 11.50 WIB, peserta diberikan kesempatan untuk makan siang dan istirahat.
Pada pukul 13.15 seminar sesi ketiga dilanjutkan dengan pemaparan kertas kerja “Perspektif Linguistik Diakronis dan Ikatan Kebangsaan” oleh Prof. Dr. Bernd Nethofer, peneliti bahasa Indonesia dari Jerman. Sesi ketiga ini dipandu oleh Prof. Kisyani Laksono.
Prof. Dr. Bernd Nethofer dikenal juga di kalangan akademisi dengan nama Barnas Nartapura. Nama aliasnya itu ia gunakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia untuk melakukan penelitian bahasa Sunda Baduy, di daerah Kanekes, Banten, pada tahun 1971. Sejak itulah ia mulai mencintai Indonesia, seperti pengakuannya di akhir pleno, “Indonesia adalah tanah air kedua saya.”
Pemaparan Prof. Dr. Bernd Nethofer sangat menarik. Penelitiannya justru berkebalikan dengan hipotesis Prof. Dr. Mahsun, M.S. yang notabene adalah muridnya sendiri. Menurutnya bahasa Indonesia berasal dari Austronesia, sedangkan menurut Prof. Dr. Mahsun, M.S. berasal dari Melanesia. “Tentu saja, kedua hipotesis ini masih perlu diteliti lebih lanjut, untuk membuktikan mana yang benar. Atau, malah salah dua-duanya,” jelas Prof. Dr. Bernd Nethofer menanggapi hal tersebut.
Terlepas dari bagaimana bahasa-bahasa dunia bertransformasi ke sebuah keluarga bahasa yang kemudian melahirkan kembali sub keluarga bahasa, poin penting dari pemaparan Prof. Dr. Bernd Nethofer adalah, seperti mengutip penutup kertas kerjanya, “…bahasa Indonesia merupakan tali pengikat kesatuan Indonesia yang paling kuat yang perlu dikembangkan dan dibina.”
Poin tersebut menjadi sangat penting, dimana kebijakan otonomi daerah hari ini justru didorong oleh kesadaran masyarakat yang menggunakan bahasa daerah tertentu untuk memekarkan daerah sendiri. Dalam bahasa Prof. Dr. Bernd Nethofer, istilahnya malah lebih ekstrem, ia menyebut pemekaran ini dengan istilah ‘pembelahan’. Dalam perkara ini, bahasa Indonesia adalah simpul pemersatu yang sangat penting untuk menjaga kesatuan bangsa.
Seminar hari pertama ditutup seminar sesi keempat oleh Mayjen TNI Mar (Purnawirawan) Eddy oetomo, S.H. yang mengantarkan kertas kerja “Penguatan Wawasan Kebanggsaan melalui Bahasa sebagai Tantangan Dunia Global” pada pukul 15.15 WIB. Sesi keempat ini dipandu oleh Prof. Dr. Rusdi.
Mayjen TNI Mar (Purn) Eddy Oetomo, S.H. menyoroti beragam perkembangan yang terjadi secara global terhadap penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Terutama penggunaan bahasa asing, mulai dari pelajar hingga pejabat. Ia menekankan pentingnya Warga Negara Indonesia (WNI) menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya memperkuat wawasan kebanggasaan.
Setiap selesai pemaparan kertas kerja dari pembicara, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang menggunakan dua metode. Pertama, cara umum, yaitu peserta bertanya secara langsung. Dan, yang kedua metode cukup menarik serta inovatif, panitia menyediakan nomor telepon yang bisa digunakan peserta untuk mengajukan pertanyaan melalui layanan pesan pendek dan aplikasi Whatsapp.[]