Mite sebagai Media Estetika Kumpulan Puisi “Lambung Padi”
/1/
Masihkah puisi dianggap sebagai lumbung kebenaran? Petanyaan itu barangkali menyebabkan seluruh penyair terus berupaya mewujudkan keyakinan atas jawaban yang sebenarnya masih kabur. Dalam konteks keberadaan manusia, puisi ada dalam strategi historis, bersinggungan dengan filsafat, bergerak dalam arus zaman yang samar-samar, namun mengakui bahwa nilai tertinggi teks spiritual masih dipegang oleh puisi.
Sesungguhnya kebenaran dalam puisi tidak dicari-cari, ia menampakan diri sebagaimana Tuhan lewat sifatnya yang transenden. Ia hidup dalam setiap manusia yang haus akan pencarian. Hal itu pula yang terekam ketika membaca kumpulan puisi Lambung Padi karya Heri Maja Kelana yang terbit pada bulan Maret 2013 lalu. Sebagai seorang pengelana, ia bersinggungan dengan berbagai macam hal, terutama dengan mite. Mite seperti halnya puisi, mengandung sebuah konteks di mana bahasa bekerja layaknya hukum alam; ia meniru, menanggapi, menerjemahkan bahkan merusak. Ia bisa dipercayai sebagai sebuah fenomena tergantung dari sudut mana seseorang melihatnya. Intensitas Heri dalam menimbang berbagai fenomena tradisi menjadikan nilai-nilai fantasi dan dongeng masa lampau itu mereinterpretasikan mite dalam puisinya.
Sebagai sebuah nilai yang selama ini dianggap irasional, mite telah mampu menciptakan sebuah konteks peraturan yang menyebabkan seseorang menjadi amat patuh sekaligus penakut, ia merangsang gerak instingtif yang tak jelas baik dan buruknya (dalam hal ini, mite berada dalam posisi yang ambigu dan tabu). Namun atas dasar itu pula, keberadaannya menjadi upaya pertahanan diri bagi sebagian orang dari hal-hal yang tidak dikehendaki, sekaligus menjadi hal yang tak pernah benar-benar dipercayai, sebagaimana puisi.
Puisi Heri Maja Kelana menyadarkan kita bahwa manusia adalah wujud historis yang hanya dapat hidup, dipahami, dan memahami secara historis. Oleh karenanya, persinggungan realitas sehari-hari dengan mite dalam puisinya semata-mata terjadi secara alamiah. Sebagaimana yang terkandung dalam beberapa puisinya yang berjudul; “Sepatu Kaca, Sumur Bandung”, “Sajak Laba-laba”, “Nyi Rambut Kasih”, “Sumbi: 1000 Kitab Kekecewaan Lelaki”, “Bilva: Elegi Lelaki”, “Lumar: Wajah Pitaloka”, “Kaki Patuha”, “(Variasi Lain Eva)”, dan “Sundamala”. Secara keseluruhan, tema puisi-puisi Heri yang terbagi dalam 2 bagian buku Kitab Kekecewaan Lelaki dan Lambung Padi berbicara mengenai keresahan hidup dan seluk-beluk perjalanan. Persinggungannya dengan kedua hal tersebut mengajarkan ia menyikapi nama-nama, melakukan pemujaan terhadap mitos dan nilai tradisi. Ia jatuh cinta, merumuskan masa lalu, berpikir tentang hakikat sesuatu, dan memindai fragmen terpenting dalam hidupnya. Ia membuat sebuah biografi kelahiran atas dirinya.
/2/
Sifat sastra, bergerak dari konteks menuju teks, kemudian kembali menuju konteks dalam sebuah wujud baru yang telah mengalami interpretasi, begitulah sabda Ricour. Begitu juga teks sebuah Mite dalam puisi Heri bukanlah sebuah gerak statis dan objektif, melainkan sebuah refleksi yang kapanpun dapat berubah dan bersifat impersonal. Ada beberapa kategori subjek mite dalam puisi heri. Pertama, subjek mite itu sendiri sebagai aku liris yang mewartakan diri. Saya kutipkan beberapa bait puisinya.
siapa saja boleh datang ke tanahku
sertakan kemenyan juga kembang
aku berada di gunung haur
siapa saja boleh datang ke tanahku
aku akan menemui tubuh kosongmu
(Nyi Rambut Kasih, hal.24)
seandainya lapar ini bisa kutahan dan rusa itu
tidak mengajakku ke hutan, maka aku akan berada di rumahmu
rumah batu, tempat di mana kita melihat siwa
(Bilva: Elegi Lelaki, hal.20)
Sisi lain kamu adalah aku
bayangan yang selalu membuat ekor
namun malam itu, aku si cantik yang miskin ini
belum berbuat apa-apa, tak terbiasa
dengan pesta kaca
(Sepatu Kaca, hal.10)
Dari sini, bisa dipahami, bahwa empirisitas Heri dalam menyikapi sebuah mite terletak pada makna. Heri ingin menunjukan siapa Nyi Rambut Kasih yang merupakan nenek moyang, asal muasal kota kelahirannya, Majalengka. Dalam “Bilva: Elegi Lelaki”, kita temukan jejak literasi religi dalam cerita-cerita pewayangan yang menjadi dasar pengajaran moral umat Hindu dalam upacara malam Siwaratri. Heri melakukan tafsir atas pemahaman yang ditawarkan sebuah mite. Ia menyimak, memuja, mengeluh, bahkan mengancam.
Kedua, Subjek yang mengalami dan berhadapan langsung dengan mite itu sendiri. Ada upaya perbandingan Heri dalam subjek yang didalamnya, empirisitas menjadi dasar utama dalam melahirkan karyanya. Semisal pada puisi “Jatitujuh” (hal.36). Pertalian manusia dengan cerita para pahlawannya adalah sebuah bukti, bahwa manusia pernah mengalami penjajahan dan penindasan. Cerita kepahlawanan, Ki Bagus Rangin, putra Rajagaluh yang memperjuangkan hak-hak rakyat dari para kompeni, mempertautkan aku liris dengan kehidupannya yang sekarang. Tempat aku singgah di kotamu/ taka da bulan/ dan si aku liris menyaksikan sungai coklat mirip muntahnya orang-orang serakah/ kotor dan busuk/ padahal orang-orang berbicara cinta/. Juga pada puisi “Sumur Bandung” (hal.12).
Dalam pengembarannya, sang penyair mengalami juga percintaan. Dalam puisinya, Aku lirik mengalami fantasi dalam upayanya membandingkan percintaannya dengan dongeng Nini Anteh dan kucingnya Candramawat yang bernyanyi di bulan. Ia memperbincangkan hakikat kebahagiaan, namun tidak dibangun oleh sebuah isotopi yang pasti, imaji-imaji dalam puisi ini terasa ragu-ragu dan ganjil, seperti dalam bait ini, aku teringat gelung anteh/ cakar candramawat merobek bulan/ sepertinya mereka bahagia/ mereka bernyanyi/ meski tak pernah mengenal/ dan tak saling menyayangi. Aku liris tidak berusaha mengarahkan pembaca pada makna dalam sajak ini, melainkan deskripsi dan tafsir atas ingatan semata.
Ketiga, subjek yang menceritakan mite itu sendiri. Ia memposisikan diri sebagai orang ketiga yang mengajak pembaca bergerak sentrifugal, berputar menjauhi makna. Semisal dalam “Variasi Lain Eva” (hal.8) dalam sajak ini, makna terdeviasi, bahkan tereduksi. Hal ini disebabkan oleh kaburnya penanda dan petanda, permainan imaji yang rancu. Tapi meskipun begitu, ada upaya penyair menciptakan sebuah konteks makna baru, meski tak jarang makna baru tersebut jatuh pada keambiguitasan yang terlalu kental dan membuat puisi itu sendiri lari dari makna.
/3/
Membaca puisi-puisi Heri Maja Kelana, tidak bisa dipahami lewat struktur bahasa dalam satuan gramatik yang utuh. Kalimat kadang-kadang bergerak dan hanya bisa dipahami lewat pemaknaan paradigmatik, semisal dalam menciptakan sebuah konklusi dan dalam mengakhiri puisi-puisinya. Sifat puisinya yang naratif memaksanya mempertahankan efektifitas pengucapan puisi itu sendiri sehingga puisinya terpaksa dicairkan, atau dipadatkan. Salah satu puncak estetika dalam puisi Lambung Padi karya Heri Maja Kelana ini ada pada puisi “Pagi: Potret Jalan Setiabudi”, bagaimana sebuah puisi bisa menceritakan, mengomentari dan mendefinisikan rutinitas, peristiwa dan konstruk sosial.[]