Seniman Gambang Kromong: Hibriditas dalam Mempertahankan Seni Tradisi
Sabtu, 11 April 2015, saya berkesempatan menyaksikan sebuah kesenian khas betawi Gambang Kromong grup Putra Betawi di sebuah pesta pernikahan putra-putri bapak Iju/ibu Isnayah dan bapak Suryadi/ibu Siti Uriyah Urvani.
Acara berlangsung tidak jauh dari Ibu Kota, tepatnya di Kampung Bolang, Desa Sukasari, Kecamatan Rajeg, Tangerang. Untuk sampai ke lokasi pertunjukan, setelah melewati kepadatan kota, perjalanan harus ditempuh dengan menyusuri jalan agak sempit melewati pematang sawah yang masih tersisa.
Daerah itu sedang beranjak jadi ruang urban. Konsep pembentukan kota dengan segala aktivitas pembangunan yang masif tampak nyata. Truk-truk besar hilir mudik di jalan raya.
Setibanya di lokasi, di sebuah lapangan yang terletak beberapa meter dari tempat pernikahan, tampak panggung besar dengan sound system menggelegar. Empat perempuan ber-make-up tebal sedang asyik bergoyang sambil menyanyikan lagu karya Benyamin S. diiringi instrumen musik Gambang Kromong.
Lagu-lagu karya Benyamin S. memang cukup mendominasi, misalnya “Sang Bangau”, “Janda Kembang”, dll. Sesekali lagu yang dibawakan isinya bersifat humor, penuh keceriaan, dan kadangkala penyanyi laki-laki dan perempuan berbalas-balasan saling menyindir.
Yang menarik perhatian ialah lagu dari luar kebudayaan dominan Betawi pun turut dinyanyikan, seperti “Talak Tilu” dan “Tanjung Perak”. Lagu “Talak Tilu” merupakan lagu berbahasa Sunda yang menceritakan sikap seorang istri ketika diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Sedangkan lagu “Tanjung Perak” merupakan lagu yang menggambarkan suasana pelabuhan di Surabaya, sebuah tempat yang merangsang orang untuk bersuka cita.
Kedua lagu tersebut jelas tercipta bukan dari kebudayaan Betawi. Lagu pertama ditandai dengan teks lagu berbahasa Sunda sedangkan lagu kedua ditandai oleh konteks spasial dan temporal yang tidak menggambarkan di mana kebudayaan Betawi tumbuh dan berkembang.
***
Gambang Kromong lahir dari proses akulturasi budaya. Kesenian ini mendapat pengaruh besar dari beberapa budaya, di antaranya Tionghoa dan Sunda. Hal tersebut tampak jelas jika dilihat dari instrumen musiknya, perpaduan gamelan, gong, kendang, kecrek, dan kongahyan (alat musik gesek mirip rebab). Hasil akulturasi budaya ini telah membentuk satu kesenian dan bertahan melampaui beberapa generasi, bahkan telah menjadi bagian ekspresi seni dan identitas Betawi.
Namun, pengalaman pertama saat menonton pertunjukan Gambang Kromong tadi, identitas Betawi mulai terasa bias, khususnya pada perbendaharaan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (klasik), lagu-lagu sayur atau lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa hampir tidak ada lagi. Bahkan menurut Bang Ambran, pimpinan Gambang Kromong dari Grup Putra Betawi, dalam beberapa kesempatan pentas justru sering menyanyikan lagu-lagu dangdut kontemporer berkolaborasi dengan organ tunggal.
Melihat fenomena itu, bisa dikatakan pertunjukan kesenian tradisi Gambang Kromong yang berlangsung di ruang urban tadi telah menunjukan perubahan. Ruang urban, karena sifatnya yang terbuka, menjadi sebuah tempat untuk saling berinteraksi sekaligus bernegosiasi dalam pembentukan identitas yang lama dan baru. Sehingga pembauran dan percampuran atau bisa disebut hibriditas tidak dapat terelakan.
Menurut Ihab Hassan (Dalam Piliang, 2011:242) Hibriditas adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk mutan melalui perkawinan silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan.
Proses hibriditas yang dilakukan seniman Gambang Kromong menjadi semacam strategi dalam mempertahankan seni tradisi. Sehingga masyarakat yang kian bersifat heterogen masih bisa menikmati pertunjukan Gambang Kromong.
Di daerah yang tingkat urbanisasinya sangat tinggi, tidak sedikit seni tradisi mampu hidup, bertahan dan berkembang. Seniman tradisi seringkali direpresi secara masif oleh aneka ragam agresi; kultural, industri, serta bahaya laten akulturasi, dll. Dalam kondisi tersebut seniman tradisi rentan goyah untuk mempertahankan seni tradisinya. Keterlibatan emosional seniman terhadap seni tradisi seringkali terkikis, hingga akhirnya harus memilih: gugur atau menjadi bagian dari perubahan?
Seni tradisi karena sifatnya yang lentur terhadap perubahan bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi perkembangan zaman. Menurut Pudentia* tradisi bukanlah sesuatu yang statis tanpa perubahan dan perkembangan. Tradisi memungkinkan untuk ditransformasi sesuai dengan dinamika sosial masyarakat itu sendiri, baik transformasi isi, bentuk, maupun keduanya dan berganti dengan tradisi yang baru yang dirasakan oleh masyarakatnya lebih cocok dengan situasi, kondisi, dan minat yang berlaku. Dengan demikian, cara memandang tradisi sangat memengaruhi pengelolaan pemertahanannya sehingga bukan sesuatu yang mustahil jika tradisi bisa menjadi bagian dari masa kini.
Seni tradisi karena sifatnya yang lentur berdampak pada posisi dilematis. Di satu sisi, elastisitas terhadap perubahan mampu membuat seni tradisi bertahan. Namun di sisi lain, bisa memicu persoalan, gesekan antara “otentisitas” dan “hibriditas” berpotensi melepaskan seni tradisi dari teks, konteks dan koteks asali. Seni tradisi yang mulanya bersifat kolektif, mengutamakan nilai-nilai dan kearifan lokal, harus rela terlepas dari intensitas kelokalannya.
Gambang Kromong eksistensinya memang sudah teruji. Terbukti, sampai kini kesenian ini masih hidup dan berlangsung. Keterbukaan menerima ragam kebudayaan dan perkembangan zaman dilakukan untuk strategi mempertahankan seni tradisi.
Gambang Kromong memang masih hidup, tapi ia telah berubah. Perubahan itu cukup banyak dipengaruhi oleh kondisi ruang di mana kesenian itu hidup. Ruang tersebut adalah ruang urban. Ruang yang menjadi arena pertemuan banyak kebudayaan. Dalam ruang itulah agresi budaya luar berlangsung sehingga hibriditas dalam pertunjukan musik Gambang Kromong tidak dapat terhindarkan.
Dalam proses hibriditas yang terjadi pada pertunjukan musik Gambang Kromong, nilai-nilai lokal telah bercampur dengan nilai-nilai dari kebudayaan luar. Percampuran kedua nilai itu “bertarung” membentuk nilai baru. Oleh karenanya, hibriditas telah memicu terciptanya fungsi ganda, melanggengkan seni tradisi sekaligus memengaruhi esensinya –bisa mengafirmasi, mereduksi atau menegasi.
Pertanyaannya, apakah mungkin nilai dan kearifan lokal bisa terus bertahan ditengah massifnya agresi kultural di ruang urban? Alih-alih memperkaya nilai lokalitas, yang terjadi malah sebaliknya. Jika sudah begitu, bukan sesuatu yang mustahil seni tradisi semakin tercerabut dari akar kulturalnya.[]
Referensi:
*Lihat Pudentia dalam makalah “MEMAHAMI TRADISI LISAN SEBAGAI POTENSI KELOKALAN DI INDONESIA” di acara STADIUM GENERAL PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA (STSI) BANDUNG, SENIN, 29 SEPTEMBER 2014.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Pudentia. 2014. MEMAHAMI TRADISI LISAN SEBAGAI POTENSI KELOKALAN DI INDONESIA. Bandung: Stadium General Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Foto: Anas Prambudi