Fb. In. Tw.

Jalan Chairil Anwar, Bekasi, dan Tragedi Rawagede

Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Kerawang-Bekasi

1948
(Chairil Anwar)

Masih ingat kan puisi “Karawang-Bekasi” yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar itu? Chairil tidak semata-mata menuliskan dua kota tersebut dalam puisinya. Dua nama kota itu memiliki sejarah tersendiri yang melatarbelakangi lahirnya puisi tersebut.

Atas karyanya tersebut, nama Chairil Anwar diabadikan jadi nama salah satu ruas jalan di Kota Bekasi. Jalan Chairil Anwar terletak di Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Jalan tersebut juga menjadi penanda berubahnya Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996. Penamaan jalan dengan nama penyair Indonesia, saya kira penting untuk dicatat.

Jalan Chairil Anwar di Kota Bekasi. (Foto: Usman Nurdiansyah)

Jalan Chairil Anwar di Kota Bekasi. (Foto: Usman Nurdiansyah)

Dalam catatan ini pula saya akan membahas sejarah singkat Kota Bekasi dan Tragedi Rawagede yang berkaitan erat dengan puisi “Karawang-Bekasi” yang ditulis oleh Charil Anwar pada tahun 1948 itu.

Bekasi Sebelum Tahun 1949
Kota Bekasi ternyata mempunyai sejarah yang sangat panjang, menurut data yang diperoleh dari situs resmi DPRD Kota Bekasi. Di masa lalu, Bekasi dikenal dengan sebutan Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri yang merupakan Ibukota Kerajaan Tarumanegara (358-669 SM) hingga zaman Hindia Belanda, pendudukan militer Jepang, perang kemerdekaan dan zaman Republik Indonesia.

Pada zaman Hindia Belanda, struktur pemerintahan Bekasi masih merupakan Kewedanaan (district), termasuk Regenschap (Kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan masyarakatnya dikuasai oleh tuan tanah keturunan China. Kondisi ini terus berlanjut hingga pendudukan militer Jepang.

Pada saat itu, Jepang melaksanakan Japanisasi di semua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti menjadi Jakarta termasuk Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang wilayahnya meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran, dan Gun Matraman.

Setelah proklamasi RI 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan kembali berubah. Nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa atau Kelurahan. Saat itu Ibu Kota Kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, kemudian berpindah ke Cikarang, kemudian berpindah lagi ke Bojong (Kedung Gede).

Bupati pertama Jatinegara adalah Rubaya Suryanatamirharja. Tak lama setelah pendudukan Belanda. Kabupaten Jatinegara dihapus, kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis menjadi Kewedanan. Kewedanan Bekasi masuk ke dalam wilayah Batavia En Omelanden. Batas Bulak Kapal ke Timur termasuk wilayah Pasundan di bawah Kabupaten Karawang, sedangkan sebelah barat Bulak Kapal termasuk wilayah negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 No. 178 Negara Pasundan.

Bekasi Setelah Tahun 1949
Pada tanggal 17 Februari 1950 setelah terjadi aksi besar-besaran. Sekitar 40.000 pengunjuk rasa memadati alun-alun Bekasi. Dalam unjuk rasa tersebut, rakyat Bekasi meminta agar Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi.

Akhirnya pada tahun 1950 atas dasar UU Nomor 14 terbentuklah Kabupaten Bekasi dengan wilayah Kabupaten Bekasi terdiri dari 4 Kewedanan, 13 Kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa.

Pasalnya, perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi yang terdiri dari 4 Kecamatan berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 tahun 1981, yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Selatan dan Bekasi Utara yang seluruhnya menjadi 18 Kelurahan dan 8 Desa.

Sejak saat itu peresmian kota Admisnitratif Bekasi baru dilakukan pada tanggal 20 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri dengan Walikota pertama H. Soedjono (1982-1988).

Kota Administratif Bekasi terus berkembang, mengingat pertumbuhan ekonomi yang bergairah, jumlah penduduk semakin meningkat sehingga status Kota Administratif Bekasi ditingkatkan menjadi Kotamadya yang sekarang ‘Kota’ Bekasi melalui Undang-undang Nomor 9 tahun 1996.

Tragedi Rawagede dan puisi “Karawang-Bekasi”
Pembantaian yang dilakukan tentara Belanda pada 9 Desember 1947 di Rawagede, tepatnya Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, terletak antara Karawang dan Bekasi menewaskan 431 warga.

Alasan Belanda membunuh warga Rawagede sangat kuat, yaitu ingin menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang seringkali merepotkan tentara Belanda. Kala itu, Lukas lari ke Rawagede dan mengumpulkan tentara Barisan keamanan Rakyat (BKR) sehari sebelum kejadian untuk merencanakan penyerangan tentara Belanda di Cililitan.

Selain faktor Lukas yang piawai merebut senjata Belanda, membajak kereta yang berisi senjata dan amunisi. Rawagede memang sudah lama menjadi incaran Belanda, sebab di daerah tersebut terdapat lima laskar pejuang, di antaranya Macan Citarung, Barisan Banteng, Hizbullah, MPHS dan SP 88.

Pada saat itulah, 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen masuk ke Rawagede ingin menangkap Kapten Lukas Kustaryo. Namun, Lukas telah melarikan diri dan keluar dari Rawagede satu jam sebelum Belanda membumihanguskan Rawagede pada sore harinya.

Tak lama kemudian, sebagai penyair Chairil Anwar tak lupa mencatat tragedi tersebut ke dalam puisi “Karawang-Bekasi” pada tahun 1948.

Ada hal menarik dari catatan ini, yaitu tahun kejadian yang berurutan. Dimulai pada tahun 1947 terjadi pembantaian warga di Rawagede oleh tentara Belanda, selanjutnya pada tahun 1948 Chairil Anwar menulis puisi “Karawang-Bekasi”. Setahun setelah itu, Chairil meninggal (28 April 1949). Pada tahun 1950 Kabupaten Bekasi dibentuk.

Berdirinya Jalan Chairil Anwar di Bekasi
Upaya untuk meningkatkan Kotif atau Kota Administratif Bekasi menjadi Kotamadya salah satunya ditandai dengan pembuatan Jalan Chairil Anwar pada tahun 1994, yang merupakan bagian dari pengembangan jalan Rawa Semut, terletak di Samping gedung DPRD Kota Bekasi. Sedangkan peresmian Jalan Chairil Anwar dilakukan pada tahun 1995 oleh DPRD Kota Bekasi. Hal ini menarik dan perlu dicatat dalam sejarah kesusasteraan Indonesia.

Jalan Charil Anwar berada di dekat Kantor DPRD Kota Bekasi. (Foto: Usman Nurdiansyah)

Jalan Charil Anwar berada di dekat Kantor DPRD Kota Bekasi. (Foto: Usman Nurdiansyah)

“Jalan ini juga kami berikan sebagai bentuk apresiasi kepada penyair besar Chairil Anwar yang sempat menuliskan Bekasi dalam puisi “Karawang-Bekasi”. Tentu ini merupakan kebanggaan bagi Kota Bekasi,” ungkap Budi Suprapto selaku Staf Humas DPRD Kota Bekasi kepada saya ketika ditemui di kantor Media Informasi Kota Bekasi (15/4).

“Jalan ini juga merupakan jalan Provinsi, penghubung antara Bekasi dan Karawang,” lanjut Budi.

Selain itu, menurut Herman warga Bekasi, sebelum berubah menjadi jalan Chairil Anwar, jalan tersebut awalnya bernama jalan Karang Kitri dan hanya ada satu arah yang menuju Karawang

“Dulunya, mobil atau motor yang bertujuan ke Karawang melewati samping sungai Kalimalang harus muter dulu lewat jalan Rawa Semut,” Ungkap Herman.

Pemerintah Kota Bekasi baru saja membangun satu jalur lagi untuk memudahkan akses dari Karawang menuju Kota Bekasi dan selanjutnya ke arah Jakarta. Sekarang jalan tersebut menjadi dua jalur, baik dari arah Karawang menuju Bekasi maupun sebaliknya. Sehingga jalan Karang Kitri dihapus dan sepenuhnya diganti menjadi jalan Chairil Anwar. Panjang Jalan Chairil Anwar kurang lebih sekitar 3 Km.

Di samping kiri jalan Chairil Anwar jika dilihat dari arah Karawang, terdapat sungai Kalimalang. Sedangkan dari samping kanan terdapat gedung DPRD Kota Bekasi.

Kita patut mengapresiasi Kota Bekasi yang mengabadikan Chairil Anwar menjadi nama sebuah jalan. Sebab tidak banyak jalan di kota-kota di Indonesia yang diambil dari nama penyair Indonesia.

Semoga catatan ini dapat memotivasi kabupaten atau kota lainnya supaya dapat mengapresiasi karya sastra beserta sepak terjang penyair dari daerah mereka sendiri.[]

Foto: Usman Nurdiansyah

KOMENTAR
Post tags:

Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Hobi ngoprek komputer. Founder Go-Men.

You don't have permission to register