Fb. In. Tw.

Bahasa Tubuh “Kocak-Kacik” Bengkel Mime Theatre

Apresiasi pentas teater-mime “Kocak-kacik” Bengkel Mime Theatre
Seorang pria berkemeja putih mematung di tengah panggung yang kosong. Penampilannya tidak terlalu rapi, bahkan cenderung kusut. Tangannya memegang sebuah koper kusam berwarna coklat.

Gerak-gerik kecil tubuhnya tidak pasti. Entah hendak pergi atau baru tiba. Yang jelas wajahnya tampak murung. Keningnya sesekali berkerut. Keheningan pecah oleh derap langkah-langkah kaki penonton. Ya, peristiwa telah berlangsung sejak penonton memasuki ruang pertunjukan.

Pria tadi menggiring dugaan pada tokoh Darim. Seorang tokoh dalam perjalanan hidupnya yang senantiasa diliputi kisah-kisah pelik dalam hidupnya. Mulai dari problematika keluarga, hierarkis sosial yang kian menganga sampai pencarian identitas dirinya.

Darim dipaksa bertarung dalam kehidupan yang kian serba seragam dalam keberagaman. Di tengah manusia yang tidak punya kuasa lagi atas tubuhnya, Darim terus berjuang mencari sekaligus memahami jati dirinya. Sesuatu yang tampaknya muskil diraih, karena jati diri yang hendak didekap senantiasa beranjak.

Impresi subyektif itulah yang muncul saat menyaksikan Kocak-Kacik produksi Bengkel Mime Theatre (BMT) Yogyakarta yang dipentaskan dalam rangkaian Helateater di Salihara, Kamis (16/4). Petuah Stanislavski bahwa penonton datang ke gedung pertunjukan untuk menikmati subteks dialog tidak berlaku, karena lakon karya Arifin C. Noer tersebut hadir dengan bentuk dan gaya yang berbeda.

Leonard Bloomfield pernah berkata “Writing is not language, but merely a way of recording language by visible marks”. Seturut dengan ungkapan itu, BMT kiranya memperlakukan naskah Arifin–yang tersusun atas rangkaian kata-kata—hanyalah gambar yang merekam bahasa. Kemudian gambar (naskah) tersebut coba ditranformasikan ke atas panggung menjadi gambar baru yang ditampilkan dengan media tubuh. Memindahkan gambar kata-kata menjadi gambar tubuh yang bergerak.

Lazimnya pantomim, peristiwa dibangun dengan gestur tubuh dan mimik mimesis atas realitas kehidupan. Kata-kata lenyap, lalu tubuhlah yang berkuasa merangkai cerita dan mencipta peristiwa.

Pertunjukan lakon Kocak-Kacik malam itu dirumuskan secara lain. Biasanya orang menyimak lewat tuturan dialog verbal antar tokoh, namun saat itu penonton menaruh perhatian pada bahasa tubuh aktor-aktornya. Di atas panggung, properti yang digunakan pun sangat minimalis, lebih mengutamakan fungsi praktis dan simbolis.

Pengalihan bahasa komunikasi dari bahasa verbal ke bahasa tubuh telah menimbulkan situasi yang berbeda, karena yang dialihkan tidak hanya kata-kata melainkan makna pun turut teralihkan. Kalau dalam bahasa verbal, makna cerita bisa dengan mudah dicerna, maka tidaklah demikian dengan makna cerita yang diperoleh dari bahasa tubuh. Pada pemaknaan yang disebut terakhir, penonton relatif sukar memahami karena mesti melewati tahapan penafsiran yang berlapis.

Bahasa tubuh menjadi simbol-simbol yang menuntut untuk dimaknai. Di satu sisi simbol mampu memberikan kebebasan pada penonton dalam menginterpretasi namun di sisi lain bisa menutup ruang penafsiran itu sendiri. Begitulah sifatnya simbol, bermaksud menyampaikan sesuatu sekaligus juga menyembunyikannya.

BMT telah memilih estetika ekspresinya. Bahasa tubuh memang punya keunggulan tersendiri untuk menciptakan ragam suasana yang lebih sublim. Namun, orientasi komunikasi yang diinginkan si seniman tanpa pembacaan penonton—apa? siapa? mana?—yang dibayangkan hanya akan menciptakan jarak. Alih-alih mengajak kontemplasi, simbol-simbol yang disuguhkan malah berpotensi merepresi tanpa mampu diungkai.

Dalam rangkaian Helateater tahun ini, Salihara memang menawarkan keragaman konsep pemanggungan. Dengan mengusung tema “Persembahan Kepada Arifin C.Noer”, sejumlah kelompok teater yang didominasi oleh kelompok dari Jogya bergiliran mementaskan lakon Arifin C. Noer dengan ragam bentuk dan gaya.

Apakah ciri khas lakon Arifin yang getir dan komedi satir akan tersaji? Untuk menemukan jawabannya, silahkan apresiasi sendiri di bulan April ini! Tabik![]

Sumber foto: milik Komunitas Salihara dari @salihara/Twitter

KOMENTAR
Post tags:

Sutradara dan aktor teater.

You don't have permission to register