Fb. In. Tw.

“Songkran”: Minggu Terbasah di Thailand

Songkran
Minggu ini adalah minggu terbasah dari semua minggu yang ada di bulan ini, tapi itu hanya berlaku di Thailand dan sekitarnya.

Saya sebut sebagai minggu terbasah karena pada minggu ini, sejauh pengamatan saya di Chiang Mai dan Chiang Rai, dimulai sejak Minggu hingga hari kemarin, orang-orang melakukan ritual menyiram dan disiram air satu sama lain hingga basah kuyup. Ritual tersebut dilakukan dalam rangka perayaan Songkran atau tahun baru Thailand.

Menurut penjelasan beberapa orang yang saya temui, Songkran merupakan waktu bagi manusia untuk membersihkan diri dari segala hal buruk dalam dirinya. Dari penjelasan itulah saya menarik kesimpulan bahwa ritual saling menyiram air di antara mereka  merupakan metafora dari pembersihan diri tersebut.

Penjelasan agak “religius dan serius” tentang Songkran saya dapat dari Wasu Suksatit, mahasiswa Mae Fah Luang yang mengontrak kuliah Bahasa Indonesia I pada semester lalu.

Menurut dia, Songkran adalah satu peristiwa di mana orang-orang meninggalkan segala aktivitasnya (pekerjaan atau aktivitas akademis) untuk pulang ke kampung halaman, berdoa bersama di kuil, mengunjungi memberi hormat kepada para tetua, yang kemudian ditutup dengan ritual bermain air hingga hari gelap dan diteruskan keesokan harinya.

Penjelasan Wasu tentang hubungan Songkran dan bermain air juga cukup rasional, “Karena April adalah bulan terpanas dari musim panas di Thailand, maka kami bermain air sepanjang hari untuk mengatasi rasa panas yang kami derita.”

Merayakan Songkran dengan bermain air
Jalanan utama di setiap kota biasanya dijadikan arena untuk bermain air, maka pada saat itu jalanan berubah menjadi medan perang air bagi siapapun yang berada atau melintas di sana.

Yussak (kiri) dan wisatawan bermain pistol air dalam perayaan "Songkran" di Chiang Mai, Thailand. (Foto: Lupita)

Yussak (kiri) dan wisatawan bermain pistol air dalam perayaan “Songkran” di Chiang Mai, Thailand. (Foto: Lupita)

Bagi mereka yang rumah atau tokonya di pinggir jalan cukup menyiapkan bak air besar (kadang diisi dengan balok es sehingga airnya menjadi dingin) dengan selang dan ember kecil, dan menunggu orang-orang lewat di depan mereka untuk kemudian mereka siram atau semprot hingga basah kuyup.

Bagi mereka yang rumahnya jauh dari jalan utama bisa berjalan ke arena perang air dengan berjalan sambil membawa senapan air, atau bisa juga menggunakan kendaraan seperti mobil bak dengan membawa gentong atau drum berisi air bersama teman atau keluarga berkeliling kota, menyirami setiap orang yang mereka lewati dengan senapan air atau ember kecil.

Jika persediaan air habis, mereka bisa mengisi ulang air di rumah atau toko di pinggir jalan, tentunya setelah mereka habis disiram oleh pemilik air.

Ritual Songkran
Ritual Songkran seperti berdoa bersama di kuil dan memberi hormat kepada orang tua serta para tetua memang hanya dirayakan oleh warga Thailand yang mayoritas beragama Budha. Tetapi dalam urusan bermain air atau perang air, semua warga terlebih para wisatawan pun diperbolehkan untuk berpartisipasi. Dan sepertinya hanya saat Songkran-lah para wisatawan yang biasanya hanya menonton sebuah ritual, mendapat kesempatan untuk menjadi pelaku dari sebuah ritus dan sirnalah jarak usia, status, dan jarak-jarak lainnya pada saat itu.

Bagi saya, ritual Songkran telah membuat senang semua pihak. Mayoritas masyarakat Thailand senang karena mereka telah membuang segala hal buruk dalam diri mereka dan siap untuk mengisi diri mereka dengan hal baik demi hidup yang lebih baik.

Para wisatawan macam saya merasa senang, karena bisa terlibat aktif dalam sebuah ritus, dan bagi pemerintah tentu ini sebuah keuntungan ketika banyak wisatawan dari berbagai negara memadati kota Chiang Mai (karena saat pembukaan Songkran saya sedang berada di Chiang Mai) dan tempat wisata lainnya sekadar untuk ikut berbasah-basahan.

Tradisi Songkran rupanya dirayakan juga di Myanmar, Laos, dan Kamboja. Waktu dan nama perayaan di tiga negara tersebut pun relatif sama, hanya di Kamboja waktu perayaannya lebih lama dan mereka memakai nama “Jow Cha Num” untuk tradisi tersebut.[]

Foto: Lupita

KOMENTAR

Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Saat ini dia sedang merintis sebuah ruang baca, seni, dan budaya bernama Rumah Baca Manyar di kampung Seuseupan, desa Sindangsari, Ciranjang-Cianjur.

You don't have permission to register