“Talkshow” Perbukitan Kars Rajamandala
Jantera, perhimpunan pecinta alam jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menggelar talkshow dan pemutaran film dokumenter “Perbukitan Kars Rajamandala”, Kamis (9/04) di Gedung Balai Pertemuan Umum (BPU) UPI, Jalan Dr. Setiabudi 229, Bandung.
Pada acara tersebut tampil sebagai pembicara yakni T. Bachtiar (Penulis buku Bandung Purba), Dr. Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc. (Ahli Kars & Konservasi, Ketua Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung), dan Prof. Dr. Hj. Enok Maryani, M.S. (Guru Besar Geografi Pariwisata UPI). Talkshow dipandu oleh Dr. rer. nat. Nandi, S.Pd. M.Sc. M.T. (Dosen Pendidikan Geografi UPI).
Perbukitan Kars Rajamandala merupakan bekas terumbu karang laut dangkal (yang menyusut puluhan juta tahun lalu), kemudian terangkat dan mengendap menjadi bukit-bukit kapur. Kini, kawasan yang terletak sekitar 20 KM sebelah barat Kota Bandung tersebut diekploitasi habis-habisan oleh para pengusaha batu kapur.
“Aktivitas pemanfaatan batu kapur sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Orang-orang dulu menggunakan batu kapur untuk keperluan kuliner, kosmetik, penghilang bau badan (dengan cara dibakar), dll. Penambangan batu kapur saat itu hanya dilakukan seperlunya,” ungkap T. Bachtiar.
Budi Brahmantyo menceritakan bahwa keberadaan Kars Rajamandala sudah dikabarkan pada dunia internasional sejak tahun 1929. “Pada Kongres Sains Pasifik IV tahun 1929 di Bandung, Harting, seorang Geolog berkebangsaan Belanda, memaparkan makalah mengenai Lapisan Tagogapu yang terbentuk dari terumbu karang puluhan juta tahun lalu.”
Pengerukan batu kapur yang saat ini dilakukan secara membabi-buta tentu berdampak langsung pada rusaknya alam. “Salah satu dampak buruk dari pengerukan batu kapur adalah penyusutan mata air. Banyak orang beranggapan bahwa pucuk bukit kapur adalah bagian yang kering, oleh sebab itu terus dieksploitasi. Padahal, bagian yang tampak kering tersebut punya peran penting sebagai penyerap air hujan, yang kemudian dialirkan ke dalam bumi. Bila pucuk bukit kapur terus dikeruk, ya otomatis mata air di bawahnya terganggu, ” tambah Budi.
Sementara itu, Enok Maryani melihat Kawasan Kars Rajamandala sebagai laboratorium alam yang dapat dimanfaatkan masyarakat melalui kegiatan ekowisata. “Kawasan ini dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi, partisipasi, dan edukasi masyarakat banyak. Khusus bagi masyarakat sekitar, keterlibatan mereka dalam mendukung kegiatan ekowisata akan lebih terasa bermanfaat ketimbang saat mereka menjadi kuli batu kapur. Secara ekonomis, uang yang didapat dari pekerjaan kuli batu kapur itu tidak sebanding dengan resiko yang mereka terima, terutama resiko kesehatan,” ujar Enok.
Peserta talkshow yang berjumlah lebih dari 450 orang tampak sangat antusias mengikuti acara. Banyak fakta membanggakan dan fakta menyedihkan yang diungkap para pembicara terkait Kawasan Kars Rajamandala, di antaranya: keberadaan fosil manusia purba di Goa Pawon, manfaat besar batu kapur untuk kehidupan masyarakat modern, juga lemahnya kekuatan hukum serta dilema masyarakat sekitar dalam menghadapi kekuatan modal.
Di sela talkshow, panitia memutarkan film dokumenter Kawasan Kars Rajamandala, karya anak-anak Jantera bekerja sama dengan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI). Film berdurasi 20 menit tersebut berhasil memperkuat gambaran ironi Kawasan Kars Rajamandala di benak para peserta.
Di akhir talkshow, Budi Brahmantyo—dengan nada bergurau—menyebut bahwa tidak ada cara yang lebih efektif untuk menyelamatkan Kawasan Kars Rajamandala selain masyarakat melakukan udunan (patungan) untuk membelinya. Hal demikian diungkapkan Budi lantaran dalam konteks Kawasan Kars Rajamandala, dua hal yang selama ini dianggap dapat menjaga alam, mitos dan militer, tampak telah kehilangan kekuatannya.
Kegiatan ekowisata dengan tujuan edukasi dapat menjadi salah satu solusi untuk menjaga Kawasan Kars Rajamandala. Dengan banyaknya orang berkunjung ke sana, mudah-mudahan timbul kesadaran sosial—yang kemudian menjelma jadi gerakan—bahwa eksploitasi batu kapur harus segera dihentikan. Hal demikian tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, dengan kampanye yang terus menerus dilakukan, kita masih berhak punya harapan.[]
Foto: Adi Klunkerz & @Jantera_UPI
Sorry, the comment form is closed at this time.
Deis
kars seharusnya dapat dikelola lebih baik lagi dengan bantuan dari pelaku pelaku pariwisata
bojes
Kars Rajamandala harus diselamatkan sebagai laboratorium alam dan peninggalan Bandung Purba
imam
bravos