Fb. In. Tw.

Menyusuri Sejarah Ledeng

Di Bandung, tak jauh dari kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ada sebuah terminal bernama Ledeng. Terminal Ledeng. Terminal tersebut berada di kampung Ledeng.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ledeng sebagai “leding, saluran air bersih yang terbuat dari bambu, besi, dsb.” Leding sendiri berasal dari istilah Belanda, leiding, yang—sesuai KBBI—artinya pipa saluran air.

Banyak orang percaya bahwa makna Ledeng yang melekat pada terminal itu erat kaitannya dengan ledeng sebagai saluran air. Namun, bila ditanya lebih lanjut—misal, di mana sumber air ledeng yang dimaksud?—tak sedikit yang menggelengkan kepala.

Kegiatan Napak Tilas Ledeng (21/3).

Kegiatan Napak Tilas Ledeng (21/3).

Saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengetahui sasakala (asal muasal) kampung Ledeng. Sabtu (21/3) dalam rangka memperingati Hari Air Se-Dunia yang jatuh pada tanggal 22 Maret, Karang Taruna RW 04 Ledeng dan RW 05 Cidadap bekerja sama dengan Komunitas Celah-celah Langit (CCL) dan Api Bandung mengadakan kegiatan Napak Tilas Air Ledeng, dibarengi aksi pungut sampah dan tanam pohon.

Napak Tilas ini dilakukan dengan menyusuri Jalan Sersan Surip (jalan kecil di belakang terminal Ledeng—red) hingga ke kampung Babakan di sebelah timur. Dari Babakan para peserta kemudian memasuki kawasan semi-hutan yang sebagian lahannya diolah warga untuk berladang. Suasana di tempat ini cukup kontras dengan masih adanya pohon-pohon lebat, ladang berundak-undak, dan jalan setapak yang masih tanah, dibandingkan suasana Ledeng yang padat dan urban.

Di kawasan semi-hutan itulah sejarah Ledeng bermula. Di sana terdapat sebuah mata air yang sudah dipelihara Belanda sejak tahun 1921. “Nama daerah ini Cibadak, tapi kami lebih sering menyebutnya Gedong Cai (Gedung Air, red.),” ungkap Adew Habtsa, ketua Karang Taruna RW 04 Ledeng.

Istilah Gedong Cai muncul karena di mata air itulah Belanda membangun semacam benteng untuk melindungi sumber air. Air di situ kemudian dialirkan ke selatan untuk memenuhi kebutuhan ribuan warga kota Bandung.

“Meski air melimpah dan bersih, warga di sini tidak kebagian airnya. Sejak tahun 90-an, suplai air dialirkan ke perumahan-perumahan elit dan kolam renang di Cipaku,” tambah Harriyana, warga Ledeng, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.

Haris, alumni Jurusan Geografi UPI, turut memberi penjelasan mengenai mata air Cibadak. “Jika melihat topomini, kawasan ini sangat mungkin sekali merupakan habitat badak. Mata air ini muncul dari aliran sungai bawah tanah yang berasal dari Gunung Tangkuban Parahu. Karena tidak bisa melewati Patahan Lembang, sungai bawah tanah tersebut mengalir ke arah Curug Cimahi, baru ke sini. Jadi, alirannya melingkar, tidak lurus langsung dari Tangkuban Parahu,” ujarnya sambil menunjuk Gunung Tangkuban Parahu di belakangnya.

Dari Gedong Cai, Napak Tilas Air Ledeng berlanjut ke utara, masuk ke perumahan Budi Indah di Cidadap. Kegiatan yang diikuti 30-an orang itu ditutup dengan sebuah diskusi ringan yang diselenggarakan di CCL. Tampil sebagai narasumber adalah Drs. Haji Sugandi (budayawan Sunda sekaligus tokoh masyarakat Ledeng), Harriyana Suhendar (tokoh Karang Taruna Ledeng), dan Iman Soleh (aktor, tokoh masyarakat Ledeng).

Pemandangan dari Gedong Cai (21/3).

Pemandangan dari Gedong Cai (21/3).

“Dulu nama kampung ini Nagrak. Dari sini, kota Bandung nagrak (terhampar). Pada tahun 50an, orang-orang dari Bandung yang mau ke Lembang, demikian juga sebaliknya, pasti bilang (pada sopir kendaraan umum atau kusir delman—red) untuk berhenti di tempat yang ada leiding. Di dekat lapang—terminal Ledeng sekarang—memang ada pipa dari Gedong Cai yang mengalirkan air ke PDAM di Jalan Sersan Bajuri. Saat kemarin ada pengecoran jalan Sersan Surip, di kedalaman 1,5 meter ditemukan pipa air, itulah leidingnya” ujar  Abah Sugandi.

Abah pun menganjurkan agar hutan kecil di sekitar Gedong Cai bisa dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kegiatan seperti camping dan pariwisata. “Dipakai camping atuh, atau latihan teater. Intinya, ajak orang-orang main ke sana biar tempatnya terurus. Sekarang saya dengar di sana banyak sampah,” tambah Abah Sugandi—yang kemudian saya tahu merupakan pencipta lagu Dina Amparan Sajadah, sebuah lagu bernada introspeksi yang amat populer di masyarakat Sunda.

Mengikuti kegiatan Napak Tilas Air Ledeng, banyak hal yang saya dapat. Seperti juga Abah Sugandi, saya berharap kegiatan mengunjungi Gedong Cai bisa diikuti orang banyak. Lepas dari manfaat yang secara langsung didapat—kas bertambah, pengetahuan tumbuh, kebersihan alam terjaga—kegiatan napak tilas semacam ini dapat pula menjadi semacam kontrol.

Tak jauh dari Gedong Cai Cibadak, perumahan demi perumahan terus dibangun, lahan-lahan hijau menghilang pelan-pelan. Hal demikian berlangsung tanpa disadari masyarakat lantaran kurangnya pengetahuan mengenai keberadaan sumber air yang penting itu. Melihat kondisi semacam itu, saya pikir aktivitas pariwisata memang mesti ambil peran. Semangat go-green dan Nature-Based Tourism (NBT) yang akhir-akhir ini menjadi isu pariwisata internasional pada dasarnya menghendaki kegiatan pariwisata sebagai kegiatan mendidik yang dapat memberi pencerahan sekaligus menumbuhkan kesadaran. Dua hal itulah kiranya yang begitu sulit kita dapati manakala melihat wajah industri pariwisata di kawasan Bandung Utara, kawasan di mana Ledeng termasuk bagian di dalamnya.[]

Foto: @Zoeoul

KOMENTAR

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register