Ikut Nabi, Raih Kebahagiaan Hakiki (2)
Diriwayatkan dari Abu Yusuf Abdullah bin Salam: Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, orang-orang berlarian ke arahnya. Mereka berteriak, “Rasulullah Saw telah datang… (3 kali).” Lalu aku mendatangi kerumunan itu untuk melihat. Ketika kulihat wajahnya, tahulah aku bahwa wajahnya bukan wajah pendusta. Pesan pertama yang aku dengar diucapkannya adalah beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makan, sambungkan silaturahmi, shalat malamlah saat orang-orang tertidur lelap, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
Kedua, memberi makan (ith‘âmuth-tha‘âm)
Ith‘âmuth-tha‘âm di sini bermakna luas, bukan hanya memberi makan. Dulu, kehidupan mungkin masih sederhana, dan kebutuhan primer satu-satunya saat itu adalah pangan. Bila pangan sudah terpenuhi, orang sudah bisa makan, maka kehidupan sudah bisa disebut sejahtera. Selain tidak banyak kebutuhan, beberapa kebutuhan lainnya mungkin sudah tersedia meski dalam bentuknya yang sederhana. Namun kini zaman berbeda, dan kebutuhan primer bukan hanya pangan semata. Selain makan, orang butuh pendidikan, yang meski sudah ditanggung negara, bukan berarti bisa didapat dengan cuma-cuma. Demikian pula kesehatan, yang meski pusat-pusat kesehatan bertebaran di mana-mana, namun tidak semua orang sakit bisa mendapatkan pelayanan di sana.
Jadi, ith‘âmuth-tha‘âm lebih tepat dimaknai sebagai kepedulian kepada orang-orang tak mampu atau kaum dhu’afa. Kita harus membantu orang-orang lemah atau kaum dhu’afa yang ada di sekeliling kita. Kehadiran mereka adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan kita, karena tidak mungkin hidup ini hanya satu warna. Kalau dalam masyarakat, semua anggotanya adalah orang-orang kaya maka kehidupan menjadi tidak bermakna. Setiap orang hanya akan berurusan dengan dirinya sendiri karena merasa semua kebutuhannya bisa terpenuhi tanpa perlu bantuan orang lain. Orang-orang seperti ini cenderung egois dan individual. Maka masyarakat yang anggota-anggotanya adalah orang-orang seperti ini tidak bisa disebut sebuah masyarakat, karena tidak ada jalinan di antara mereka. Masyarakat seperti itu tak ubahnya seperti kumpulan benda-benda mati.
Demikian pula sebaliknya, jika dalam suatu masyarakat anggota-anggotanya adalah orang-orang miskin maka tatanan akan rusak. Kemiskinan kadang membuat sebagian orang bertindak nekat demi untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya akan muncul tindakan-tindakan kejahatan dan kriminal yang tentu sasarannya adalah orang-orang kaya. Selain itu, kemiskinan akan menjadikan sebagian orang bertindak melawan hukum dan tidak patuh pada aturan yang berlaku. Bagi mereka, yang penting bisa makan dan karenanya aturan-aturan yang ada dianggap sebagai penghalang yang mesti dilawan.
Itulah antara lain pentingnya kita peduli pada kaum lemah. Karena itu pula, dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda: Innamâ turzaqûna bi dhu‘afâ’ikum (kalian diberi rezeki semata-mata karena adanya orang-orang lemah di antara kalian).
Kehadiran orang-orang kaya merupakan wakil yang dipercaya oleh Allah untuk menyampaikan rezeki dari-Nya kepada orang-orang miskin. Itu karena tidak semua orang dapat mengelola rezeki dengan baik, sehingga Allah mempercayakan rezeki untuk semua makhluk-Nya melalui orang-orang yang dipilih-Nya. Allah Swt berfirman, Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki (QS an-Nahl: 71).
Dengan demikian, berbahagialah orang-orang kaya, bukan karena kekayaan yang dimilikinya, tetapi karena mereka adalah orang-orang yang dipercaya oleh Allah untuk menjadi wakil-Nya dalam mengelola rezeki untuk orang-orang miskin. Namun sayang, sebagian orang kaya lupa pada posisi mulianya ini. Mereka hanya menikmati sendiri rezeki titipan Allah itu dan bahkan meremehkan orang-orang tak punya. Jika demikian, maka rezeki yang Allah berikan menjadi ujian bagi mereka.
Saat ini, di negeri kita, kita patut merasa bangga karena ternyata banyak saudara kita seagama yang hidup berkecukupan dan kaya raya. Kita juga bangga dengan kesadaran mereka dalam upaya menjalankan sebagian ajaran agama. Hal ini dapat kita lihat dari pendaftar haji yang jauh melebihi kuota. Bahkan di beberapa daerah, orang yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji harus menunggu giliran berangkat hingga belasan tahun ke depan.
Di samping itu, orang-orang yang berangkat umroh tiap tahunnya terus meningkat, sehingga biro-biro travel haji/umroh pun bermunculan di mana-mana. Bahkan ada orang-orang yang merasa wajib berangkat setiap tahunnya, padahal kita tahu umroh itu adalah ibadah sunnah, sama halnya dengan berangkat haji untuk yang kedua, ketiga, … dan seterusnya.
Namun di sisi lain, kita prihatin karena di berbagai pelosok, dan bahkan di tengah perkotaan, kaum miskin tampaknya terus bertambah. Kian hari kehidupan mereka semakin sulit karena harga berbagai kebutuhan terus meningkat. Meskipun berbagai upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan terus digelorakan, namun kehidupan mereka tampak tidak banyak berubah dan nasib mereka tidak jauh beranjak.
Pertanyaannya, mengapa di satu sisi, umat Islam Indonesia begitu bersemangat untuk menjalankan ibadah sunnah berupa haji kedua, ketiga.. dan berkali-kali umroh, yang setiap tahunnya makin bertambah, sementara di sisi lain, kaum miskin hidupnya semakin susah. Mungkin patut dipertanyakan, apa alasan mereka menunaikan ibadah haji kesekian kali dan umroh berkali-kali. Umumnya mereka menjawab bahwa ada semacam kerinduan untuk beribadah di depan Ka’bah. Kekhusyukan dan kepuasan batin saat beribadah di sana menjadi magnet yang selalu membuat mereka rindu untuk berangkat lagi dan berangkat lagi ke sana.
Meski jawaban seperti ini dapat kita maklumi, namun ini jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka lupa pada nasib saudara-saudara seagama yang hidupnya tidak seberuntung mereka. Mereka egois dan hanya mementingkan kepuasan diri mereka sendiri. Apakah ibadah seperti ini yang dikehendaki oleh Allah Swt? Apakah sunnah seperti ini yang teladankan oleh Nabi Muhammad Saw?
Apakah mereka mengira bahwa tak akan ada sesuatu yang bisa mereka dapatkan bila mereka menyantuni kaum dhu’afa? Apakah mereka menyangka dengan menyantuni mereka, uang mereka akan terbuang sia-sia? Jika mereka mau berbagai dengan kaum papa, memenuhi kebutuhan mereka, membiayai sekolah anak-anak mereka, tidakkah mereka akan merasa bahagia saat melihat kaum miskin itu bersuka-cita? Tidakkah mereka akan merasa bangga saat anak-anak kaum miskin yang mereka biayai sekolahnya akhirnya bisa hidup mandiri dan meraih sukses?
Wallâhu a’lam.[]