Ikut Nabi, Wajah Berseri
Bagi orang Islam, mengikuti Nabi Muhammad Saw merupakan kebutuhan. Ini karena hanya melalui Nabi Muhammad, seorang muslim dapat mewujudkan keberagamaannya. Tidak mungkin seorang muslim mempraktikkan keislamannya tanpa meneladani Nabi utusan Allah itu. Bahkan, tidak mungkin ia mewujudkan cintanya kepada Allah jika tidak mengikuti Nabi-Nya, dan apalagi mengingkarinya.
Kepada kita, Allah mengenalkan Nabi Muhammad Saw melalui Al-Quran, antara lain seperti yang dapat kita baca dalam surah al-Fath ayat 29:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang pada sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia dan keridhaan Allah. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Muhammad adalah utusan Allah (muhammadun rasûlullâh): Nabi Muhammad dikenalkan kepada kita dalam kapasitasnya sebagai utusan yang membawa risalah dari Allah Swt. Beliau tidak dikenalkan melalui nasab atau keluarga besarnya, sehingga siapa pun dapat bergaul, berguru, dan bermuamalah dengannya tanpa perasaan sungkan atau rendah diri. Beliau sendiri terbuka kepada siapa pun yang ingin belajar, bergaul, dan bersahabat dengannya tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit, dan status sosial.
Orang-orang yang bersamanya (walladzîna ma‘ahu): tidak terbatas pada para sahabat atau orang-orang yang hidup sezaman dan bergaul dengannya. Tetapi yang dimaksud adalah siapa saja yang mengikuti akidahnya, mengimani kenabiannya, dan meneladani perilakunya, sehingga menjadi pengikutnya tanpa memandang dari generasi mana ia berasal dan pada zaman kapan ia hidup.
Bersikap tegas kepada orang-orang kafir (asyiddâ’u ‘alal-kuffâr): mereka teguh dalam mempertahankan keimanan, tidak mudah tergiur dengan godaan dari orang-orang kafir, apa pun bentuknya, yang bisa menggoyahkan iman. Mereka tegas dalam memegang akidah di hadapan orang-orang kafir: lakum dînukum waliya dîni (bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku). Namun dalam hubungan sosial, perbedaan akidah tidak menghalangi mereka dari pergaulan dengan siapa pun. Mereka dapat menjalin persabahatan dengan semua orang tanpa melihat latar belakang agama dengan berpegang pada prinsip saling menghargai dan saling menghormati.
Berkasih-sayang di antara mereka (ruhamaâ’u bainahum): kaum muslim saling membela, saling menolong, saling membahagiakan, dan saling memberi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran atas dasar keimanan. Ini juga merupakan penegasan bahwa sikap tegas terhadap orang kafir hendaklah tidak terbawa ke dalam pergaulan dengan sesama mukmin.
Kadangkala ada kelompok di kalangan umat Islam, yang saking semangatnya dalam beragama, hingga mereka lupa membedakan mana kelompok yang harus disikapi secara tegas dan mana kelompok yang harus dirangkul dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Perlu dicamkan, jangan sampai keyakinan pada suatu mazhab, baik dalam pemikiran teologis maupun fikih, menimbulkan fanatik buta dengan menganggap sesat siapa saja yang tidak semazhab, sealiran, atau sepaham.
Kaum muslim semuanya bersaudara dan satu keluarga. Perbedaan paham di antara kita sebagai satu keluarga hendaklah disikapi dengan arif dan bijaksana sebagai khazanah yang dapat memperkaya wawasan pemikiran dan pemahaman agama. Al-Quran sendiri, yang merupakan pedoman hidup kita, mengandung makna dan pengetahuan yang tak terhingga, yang dapat kita kaji melalui metode dan pendekatan yang berbeda-beda. Maka, tidak boleh ada sikap eksklusif yang menjadikan sekelompok muslim hanya bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan mengabaikan muslim lain yang tidak sepaham. Apalagi memperlakukan orang yang memiliki paham atau menganut mazhab yang berbeda seperti terhadap orang yang berbeda agama.
Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia dan keridhaan Allah (tarâhum rukka‘an sujjadan yabtaghûna fadhlan minallâh wa ridhwâna): mereka rebah dan pasrah di hadapan Allah Swt. Jiwa, raga, hati dan akal mereka tunduk pada kehendak Sang Pencipta. Semua itu mereka lakukan hanya untuk meraih anugerah dan keridhaan-Nya.
Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (sîmâhum fî wujûhihim min atsaris-sujûd): tanda atau ciri orang Islam terletak pada wajah. Ciri itu bukan dahinya hitam akibat bekas sujud. Tanda hitam di dahi mungkin saja menunjukkan bahwa pemiliknya memang rajin bersujud. Namun bila sujud itu hanya bersifat ragawi dan gerakan jasmani semata, itu belum cukup menandakan sebagai pengikut Nabi. Bahkan, tidak sedikit juga orang yang dahinya hitam, tapi hitamnya sampai ke hati, karena hatinya pun tertutup noda hitam akibat kebencian dan permusuhan kepada saudara-sadaranya sesama muslim hanya karena berbeda mazhab dan pemahaman.
Apa yang dimaksud dengan tanda dari bekas sujud di sini adalah wajah yang selalu cerah berseri sebagai efek dari sujud yang bersifat ruhaniah dan qalbiyah. Kita perhatikan orang yang bersujud, ia merebahkan badannya, mendekatkan wajahnya ke lantai, dan menempelkan dahinya di tanah. Ia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya, sehingga tidak tahu apa yang ada di kanan dan kirinya serta di depan dan belakangnya. Perhatiannya hanya tertuju kepada Allah yang kepada-Nya ia bersujud, sehingga kalau ada binatang buas yang akan menerkamnya, misalnya, atau musuh yang akan menikamnya, maka ia akan menjadi sasaran yang tak berdaya. Tapi ia pasrahkan segenap jiwa dan raganya kepada Allah. Ia yakin bahwa Dia akan melindunginya dan menjamin keselamatannya.
Orang yang sudah memasrahkan segala urusannya hanya kepada Allah, tidak akan ada lagi rasa takut dan sedih dalam hatinya, lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn. Ia selalu optimis dalam hidupnya dan tidak pernah merisaukan masa depannya. Atas anugerah yang diberikan Allah kepadanya, ia bersyukur, dan atas cobaan yang ditimpakan-Nya padanya, ia bersabar. Dengan demikian, apa pun yang dihadapinya selalu disambut dengan kebaikan.
Selain itu, ia tidak pernah berburuk sangka kepada orang lain. Apa pun sikap orang kepadanya, ia pasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Kalau ada orang yang berbuat baik kepadanya, ia bersyukur karena ia yakin bahwa itu adalah anugerah Allah. Sebaliknya, kalau ada orang yang bersikap tidak baik padanya, ia bersabar dan mengembalikan itu pada dirinya. Ia melakukan introspeksi, jangan-jangan perilaku buruk orang lain adalah akibat kesalahan dirinya; mungkin ada ucapan atau perbuatannya yang salah sehingga menyinggung dan menyakiti orang lain. Kemudian ia pun memperbaiki dirinya dan lebih berhati-hati dalam menjaga ucapan dan perbuatannya.
Orang yang keadaannya seperti ini sudah pasti wajahnya selalu berseri, dan tidak ada alasan baginya untuk berwajah kusut dan cemberut. Inilah wajah Rasulullah Saw dan para pengikutnya, sehingga menawan dan enak dipandang. Mungkin saja ada orang yang di rumahnya punya masalah sehingga hatinya menjadi galau dan sedih, namun saat melihat wajah seperti ini, hanya dengan memandangnya, menjadi tenang dan sejuklah hatinya. Wallâhu a‘lam.[]
Sumber ilustrasi: konsultasisyariah.com